Melihat Arbitrase dalam Praktik Yurisprudensi
Terbaru

Melihat Arbitrase dalam Praktik Yurisprudensi

Putusan No.56 PK/Pdt.Sus/2011 yang menyatakan putusan arbitrase yang diputus MA adalah final dan mengikat dan tidak dapat diajukan peninjauan kembali (PK).

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit

Menurut Titik, terkait persoalan itu sebelum tahun 2016 putusan MA memiliki 2 pandangan yang berbeda. Pertama, putusan MA No.1 PK/Pdt.Sus/2010 tertanggal 11 Mei 2010 dan beberapa putusan lainnya memandang putusan banding perkara arbitrase dapat dilakukan PK. Kedua, ada pandangan hukum yang menilai putusan banding perkara arbistrase tidak dapat diajukan PK, salah satunya sebagaimana putusan No.56 PK/Pdt.Sus/2011 tertanggal 23 Agustus 2011.

Tapi sejak 2016 perbedaan pandangan terhadap putusan banding MA dalam perkara arbitrase itu tak ada lagi perbedaan. Titik menyebut MA memandang putusan banding arbitrase tidak dapat diajukan PK. Hal itu sejalan putusan No.56 PK/Pdt.Sus/2011. Perubahan pandangan itu dimulai dari putusan No.105 PK/Pdt.Sus-Arbt/2015 tertanggal 1 September 2015.

Pertimbangan hukum dalam perkara itu menyebut putusan PN dapat diajukan permohonan banding ke MA yang memutus dalam tingkat pertama dan terakhir. Dengan demikian terhadap perkara pembatalan putusan arbitrase tidak ada upaya hukum PK. Pandangan hukum MA tersebut diperkuat dalam kesepakatan Kamar Perdata MA melalui SEMA No.4 Tahun 2016.

“Pandangan ini kemudian diterapkan secara konsisten dalam kamar perdata serta berbagai putusan,” ujarnya.

Sebelumnya, Ketua Kamar Pembinaan Mahkamah Agung (MA) Prof Takdir Rahmadi, menilai pelaksanaan arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa di Indonesia menghadapi berbagai tantangan. Prof Takdir menjelaskan, pemerintah Indonesia sejak awal sudah mengadopsi konvensi internasional terkait penyelesaian sengketa sejak awal kemerdekaan. Misalnya, UU No.52 Tahun 1968 tentang Penyelesaian Perselisihan antara Negara dan Warga Negara Asing Mengenai Penanaman Modal, ketentuan itu mengadopsi konvensi PBB tahun 1965. Kemudian ada pula  Perma No.14 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelesaian Perkara Ekonomi Syariah.

Kendati telah ada berbagai aturan terkait arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa yang ada di Indonesia itu, ternyata pelaksanaannya di lapangan masih menghadapi tantangan. Salah satunya tingkat kepatuhan terjadap putusan arbitrase. Prof Takdir melihat pihak yang kalah cenderung mengajukan gugatan ke pengadilan.

Padahal mekanisme arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa salah satu tujuannya untuk memberi kemudahan kepada masyarakat terutama pelaku bisnis untuk menyelesaikan perselisihan secara efektif. Penyelesaian perselisihan di pengadilan relatif lama sehingga dinilai kurang efektif.

Tantangan juga dihadapi dalam praktik mediasi, terutama di pengadilan. Prof Takdir, menghitung dari total perkara yang masuk hanya 5 persen yang ditangani melalui mekanisme mediasi. Presentase itu tergolong kecil dibandingkan negara lain seperti Australia yang mencapai 32 persen.

“Praktik mediasi di pengadilan dalam pelaksanaannya juga mengalami berbagai tantangan,” urainya.

Tags:

Berita Terkait