Melihat Cara Mengajukan Permohonan Dispensasi Kawin di Pengadilan
Utama

Melihat Cara Mengajukan Permohonan Dispensasi Kawin di Pengadilan

Perma ini bentuk dukungan MA agar kepentingan terbaik bagi anak tetap dapat dipastikan dalam permohonan dispensasi kawin yang diajukan anggota masyarakat termasuk yang tidak mampu membayar biaya perkara.

Aida Mardatillah
Bacaan 5 Menit
Gedung MA. Foto: RES
Gedung MA. Foto: RES

Mahkamah Agung (MA) menegaskan komitmennya dalam upaya pencegahan perkawinan anak dengan menerapkan prinsip kepentingan terbaik bagi anak dalam mengadili permohonan dispensasi perkawinan. Sebab, prinsipnya perkawinan hanya diizinkan bagi mereka yang memenuhi usia minimal 19 tahun sesuai UU No. 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan). Namun, dalam keadaan tertentu pengadilan dapat memberikan dispensasi kawin.      

Atas dasar itu, MA telah menerbitkan Peraturan MA (Perma) No. 5 Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Perkara Dispensasi Kawin. Dispensasi izin kawin diberikan oleh pengadian negeri/agama/mahkamah syar’iyah kepada calon suami/istri yang belum berusia 19 tahun untuk melangsungkan perkawinan demi memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak. MA mencatat ada peningkatan jumlah perkara dispensasi kawin yang diputus Pengadilan dari 23.126 perkara (2019) menjadi 35.441 (2020).

Komitmen ini disampaikan Ketua MA M. Syarifuddin dalam acara peluncuran Buku Saku Perma 5/2019 tentang Pedoman Mengadili Perkara Dispensasi Kawin secara daring, Jum’at (4/12/2020) lalu. Kehadiran Perma ini juga bentuk dukungan MA agar kepentingan terbaik bagi anak tetap dapat dipastikan dalam permohonan dispensasi kawin yang diajukan anggota masyarakat termasuk yang tidak mampu membayar biaya perkara.  

Dalam Perma 5/2019 ini, badan peradilan berperan sebagai pintu terakhir bagi pencegahan perkawinan anak. Hakim mengadili permohonan dispensasi kawin harus berdasarkan kepentingan terbaik bagi anak; hak hidup dan tumbuh kembang anak; penghargaan atas pendapat anak; penghargaan atas harkat dan martabat manusia; nondiskriminasi, kesetaraan gender; persamaan di depan hukum; keadilan; kemanfaatan dan kepastian hukum dalam penyelesaian perkara dispensasi kawin.   

Pedoman mengadili dispensasi kawin ini untuk menjamin pelaksanaan sistem peradilan yang melindungi hak anak; meningkatkan tanggung jawab orang tua dalam rangka pencegahan perkawinan anak; mengindentifikasi ada atau tidaknya paksaan yang melatarbelakangi pengajuan permohonan dispensasi kawin; dan mewujudkan standardisasi proses mengadili permohonan dispensasi kawin di Pengadilan.

Lantas, bagaimana bila perkawinan yang masih di bawah umur ini tidak bisa terhindarkan? Perma - yang kemudian menjadi Buku Saku Perma 5/2019 tentang Pedoman Mengadili Perkara Dispensasi Kawin untuk pegangan hakim - mengatur syarat-syarat administrasi yang harus dipersiapkan dalam permohonan pengajuan dispensasi kawin.  

Pasal 5 ayat (1) Perma No. 5 Tahun 2019 disebutkan syarat administrasi pengajuan permohonan dispensasi kawin yakni surat permohonan; fotokopi KTP kedua orang tua/wali; fotokopi kartu keluarga; fotokopi KTP atau kartu identitas anak dan/atau akta kelahiran anak; fotokopi KTP atau kartu identitas anak dan/atau akta kelahiran calon suami/istri; dan fotokopi ijazah pendidikan terakhir anak dan/atau surat keterangan masih sekolah anak.

“Jika syarat-syarat tersebut tidak dapat terpenuhi, dapat digunakan dokumen lain yang menjelaskan tentang identitas dan status pendidikan anak dan identitas orang tua/wali,” demikian bunyi Pasal 5 ayat (2) dalam Perma 5/2019 ini. (Baca Juga: Pesan Ketua MA Saat Peluncuran Buku Saku Mengadili Perkara Dispensasi Kawin)

Pasal 6 Perma No. 5 Tahun 2019, menjelaskan pihak yang berhak mengajukan permohonan dispensasi kawin adalah orang tua; dalam hal orang tua telah bercerai, permohonan dispensasi kawin tetap diajukan oleh kedua orang tua atau oleh salah satu orang tua yang memiliki kuasa asuh terhadap anak berdasarkan putusan pengadilan.

Dalam hal salah satu orang tua telah meninggal dunia atau tidak diketahui keberadaanya permohonan dispensasi kawin diajukan oleh salah satu orang tua. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dicabut kekuasannya atau tidak diketahui keberadaanya, permohonan dispensasi kawin diajukan oleh wali anak. Bila orang tua/wali berhalangan, diajukan oleh kuasa berdasarkan surat kuasa dari orang tua/wali sesuai peraturan perundang-undang.

Bila terdapat perbedaan agama antara anak dan orang tua/wali, permohonan dispensasi kawin diajukan pada pengadilan sesuai agama si anak (pengadian negeri/agama/mahkamah syar’iyah). Dalam hal calon suami dan istri berusia di bawah batas usia kawin, permohonan dispensasi kawin untuk masing-masing calon suami dan calon isteri diajukan ke pengadilan yang sama sesuai domisili salah satu orang tua wali calon suami atau isteri.

Lalu, Pasal 9 Perma ini menyebut permohonan dispensasi kawin diajukan kepada pengadilan yang berwenang, panitera melakukan pemeriksaan syarat-syarat administrasi pengajuan permohonan dispensasi kawin. Dalam hal permohonan dispensasi kawin tidak memenuhi syarat, panitera mengembalikan permohonan dispensasi kawin kepada pemohon untuk dilengkapi.

Bila permohonan dispensasi kawin telah memenuhi syarat, didaftar dalam register, setelah membayar panjar biaya perkara. Pemohon yang tidak mampu membayar panjar biaya perkara dapat mengajukan permohonan dispensasi kawin secara cuma-cuma (prodeo). Setelah diregistrasi masuk dalam pemeriksaan perkara. Dalam Pasal 10 Perma ini, saat hari sidang pertama, pemohon wajib menghadirkan anak yang dimintakan permohonan dispensasi kawin, calon suami/isteri, orang tua/wali calon suami/isteri.

Jika pemohon tidak hadir, hakim menunda persidangan dan memanggil kembali pemohon secara sah. Dalam hal pemohon tidak hadir pada sidang kedua, permohonan dispensasi kawin dinyatakan gugur. Bila pemohon tidak dapat menghadirkan pihak-pihak yang diwajibkan saat sidang pertama dan kedua, hakim menunda persidangan dan memerintahkan pemohon menghadirkan pihak-pihak tersebut. Dalam hal pemohon tidak dapat menghadirkan pihak-pihak dalam sidang ketiga, permohonan dispensasi kawin tidak dapat diterima.

Dalam persidangan, hakim menggunakan bahasa dan metode yang mudah dimengerti, hakim dan panitera pengganti dalam memeriksa anak tidak memakai atribut persidangan. Dalam persidangan, hakim harus memberi nasihat kepada pemohon, anak, calon suami/isteri dan orang tua/wali calon suami/isteri. Nasihat yang disampaikan hakim terkait kemungkinan berhentinya pendidikan bagi anak; keberlanjutan anak dalam menempuh wajib belajar 12 tahun; belum siapnya organ reproduksi anak; dampak ekonomi, sosial dan psikologis bagi anak; dan potensi perselisihan dan kekerasan dalam rumah tangga.

Hakim pun harus mendengar keterangan anak yang dimintakan dispensasi kawin; calon suami/isteri yang dimintakan dispensasi kawin; orang tua/wali anak yang dimohonkan dispensasi kawin; dan orang tua/wali calon suami/isteri. Hakim harus mempertimbangkan keterangan para pihak. “Hakim yang tidak mendengarkan keterangan para pihak mengakibatkan penetapan batal demi hukum,” demikian bunyi Pasal 13 ayat (3) Perma 5/2019 ini.

Dalam pemeriksaan di persidangan, hakim perlu mengidentifikasi anak yang diajukan dalam permohonan mengetahui dan menyetujui rencana perkawinannya; kondisi psikologis, kesehatan dan kesiapan anak melangsungkan perkawinan dan membangun kehidupan rumah tangga; dan paksaan psikis, seksual atau ekonomi terhadap anak dan/atau keluarga untuk kawin atau mengawinkan anak.

Lalu, saat memeriksa anak yang dimohonkan dispensasi kawin, hakim dapat mendengar keterangan anak tanpa kehadiran orang tua; mendengar keterangan anak melalui pemeriksaan komunikasi audiovisual jarak jauh di pengadilan setempat atau ditempat lain; menyarankan agar anak didampingi pendamping; meminta rekomendasi dari psikolog atau dokter/bidan, pekerja sosial profesional, tenaga kesejahteraan sosial, pusat pelayanan terpadu perlindungan perempuan dan anak (P2TP2A), Komisi Perlindungan Anak Indonesia/Daerah (KPAI/KPAD); dan menghadirkan penerjemah/orang yang biasa berkomunikasi dengan anak, dalam hal dibutuhkan.

Pasal 17 Perma No. 5 Tahun 2019 disebutkan hakim dalam penetapan permohonan dispensassi kawin mempertimbangkan perlndungan dan kepentingan terbaik bagi anak dalam peraturan perundang-undangan; hukum tidak tertulis dalam bentuk nilai-nilai hukum, kearifan lokal, dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat; dan konvensi dan/atau perjanjian internasional terkait perlindungan anak.

“Terhadap penetapan dispensasi kawin hanya dapat diajukan upaya hukum kasasi,” begitu bunyi Pasal 19 Perma ini.  

Hakim yang mengadili permohonan dispensasi kawin adalah hakim yang sudah memiliki surat keputusan ketua MA sebagai hakim anak, mengikuti pelatihan dan/atau bimbingan teknis tentang perempuan berhadapan dengan hukum. Atau bersertifikat sistem peradilan pidana anak atau berpengalaman mengadili permohonan dispensasi kawin. Jika tidak ada hakim dengan persyaratan tersebut, setiap hakim dapat mengadili permohonan dispensasi kawin.

Tags:

Berita Terkait