Melihat Independensi Pengadilan Pajak Pasca Putusan MK
Utama

Melihat Independensi Pengadilan Pajak Pasca Putusan MK

Pentingnya menciptakan hakim pajak yang kompeten. Sebab, terdapat kekurangan sumber daya hakim, sementara perkara amat banyak. Transisi satu atap tidak menjamin independensi pengadilan pajak. Karenanya diperlukan tim khusus untuk menjaga proses peralihan berjalan lancar.

Oleh:
Mochamad Januar Rizki
Bacaan 4 Menit
Kiri-kanan: Peneliti senihor LEIP Dian Rositawati, Komisioner KY Binziad Kadafi, dan Founder Danny Darussalam Tax Center (DDTC), Darussalam dalam diskusi  bertema Peran dan Masa Depan Pengadilan Pajak di STH Indonesia Jentera, Rabu (7/6/2023). Foto: RES
Kiri-kanan: Peneliti senihor LEIP Dian Rositawati, Komisioner KY Binziad Kadafi, dan Founder Danny Darussalam Tax Center (DDTC), Darussalam dalam diskusi bertema Peran dan Masa Depan Pengadilan Pajak di STH Indonesia Jentera, Rabu (7/6/2023). Foto: RES

Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan peralihan kelembagaan pengadilan pajak yang semula berada di bawah Kementerian Keuangan (Kemenkeu), kini menjadi di bawah payung Mahkamah Agung (MA) melalui putusan MK Nomor 26/PUU-XXI/2023. Dalam pertimbangannya, mahkamah berpandangan peralihan tersebut dapat menciptakan independensi terhadap lembaga pengadilan pajak sehingga menciptakan keadilan dalam memutus perkara sengketa pajak.

Praktisi pajak dan Founder Danny Darussalam Tax Center (DDTC), Darussalam menjelaskan persoalan independensi pengadilan pajak saat berada di bawah Kemenkeu memang  menjadi persoalan. Penyebabnya, komposisi hakim pengadilan pajak didominasi oleh eks pejabat Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak dan Ditjen Bea Cukai.

“Dari buku dan riset yang saya baca terkait masalah tingkat kepercayaan terhadap lembaga pengadilan pajak kalau di dalam isinya sebagian besar berasal dari otoritas pajak. Jadi turunkan masalah kepercayaan,” ujarnya dalam diskusi  bertema “Peran dan Masa Depan Pengadilan Pajak” di Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Rabu (7/6/2023) kemarin.

Baca juga:

Dia mengusulkan pembatasan komposisi hakim pengadilan pajak secara proporsional. Dengan demikian, hakim pengadilan pajak berasal dari berbagai latar belakang seperti akademisi, perwakilan wajib pajak dan otoritas pajak. Selain itu, Darussalam merekomendasikan hakim pengadilan pajak dapat berasal dari latar belakang pendidikan bukan sarjana hukum.

Sebagai informasi, pelaksanaan putusan MK ini berlangsung secara bertahap hingga Desember 2026. Sehingga, di masa transisi ini, Darussalam menyampaikan penting untuk merumuskan kembali pengadilan pajak termasuk dalam hukum beracara. Menurutnya, terdapat ketentuan pembayaran sanksi 60 persen dari jumlah pajak yang disengketakan saat keberatan atas pajak ditolak pengadilan. Ketentuan tersebut dianggap menyulitkan wajib pajak yang mencari keadilan dalam menyelesaikan sengketa pajak.

“Seharusnya, untuk akses mencari keadilan pajak itu harus dipikirkan yang murah itu seperti apa?. Apakah sanksi 60 persen kalau kalah ini bisa dikategorikan jadi mahal atau tidak?,” ujarnya.

Tags:

Berita Terkait