Melihat Urgensi Revisi UU Perlindungan Konsumen
Terbaru

Melihat Urgensi Revisi UU Perlindungan Konsumen

Selain sudah berusia lebih dari dua dekade, UU Perlindungan Konsumen sudah tertinggal jauh dengan perkembangan masyarakat dan digital. Bahkan tak lagi dapat memenuhi kebutuhan perlindungan konsumen di era digital.

Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit

Inosensi, begitu biasa disapa mengakui adanya kepentingan dari pelaku usaha dan konsumen. Setidaknya bila terdapat UU yang mendorong perlindungan konsumen dipastikan terdapat pihak yang dirugikan  atau terganggu kepentingannya. Nah, pelaku usaha kerap bertolak belakang  dengan perlindungan konsumen. Terlepas adanya dikotomi, tapi sejatinya semua pihak merupakan konsumen.

Karenanya Inosensi mengimbau, agar menyamakan persepsi dalam memperkuat perlindungan konsumen. Perlindungan terhadap konsumen yang dituangkan dalam UU 8/1999 sejatinya wujud dari demokrasi ekonomi, karena tak mudah  melahirkan inisiatif yang merata untuk kemudian memberikan suatu hak yang kuat kepada konsumen. Sementara di sisi pelaku usaha menginginkan mendominasi kegiatan, bahkan mengeksploitasi konsumen dan produk-produk yang bermutu rendah. Bahkan merugikan konsumen, tapi tetap meraih keuntungan.

“Sekarang sudah lebih dari 20 tahun, pertanyaannya urgensinya apa kita sudah ketinggalan kita sudah kalah standar perlindungan dengan Singapura, kita kalah dengan perlindungan standar perlindung Malaysia, kita kalah di kawasan Asean,” katanya.

Padahal, konsumen yang dilindungi di tanah air mencapai 271 juta jiwa. Nah, kondisi tersebut menjadi tantangan bagi anggota parlemen dengan merumuskan norma aturan dalam revisi UU 8/1999. Dia berharap betul, dengan jumlah penduduk yang sedemikian banyak mendapatkan hak perlindungan yang kuat melalui RUU Perlindungan Konsumen

“Mestinya kita juga punya energi dan resources yang kuat untuk memikirkan 271 juta jiwa ini, ini yang kita mau memunculkan dengan perubahan ini,” ujarnya.

Kepala Bidang Pengaduan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sularsi menilai UU 8/1999 memang sudah tak lagi relevan dengan kondisi perkembangan teknologi sedemikian pesat. Selain itu adanya ketidakonsistenan antara satu pasal dengan lainnya. Termasuk soal putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) yang kerap tidak optimal implementasinya di masyarakat. Padahal harapan massyarakat amat besar dengan keberadaan BPSK.

Dia menyampaikan, perlu mengkaji mendalam kasus sengketa perlindungan konsumen apa saja yang paling banyak diadukan ke YLKI. Mengacu data YLKI, setidaknya periode 2022 kasus di sektor jasa keuangan menjadi pertama paling banyak diadukan. Urutan kedua kasus perlindungan konsumen sektor transportasi. Urutan tiga, belanja online melaluui e-commerce. Selanjutnya perlindungan konsumen di sektor property.

“Jadi kalau menurut kami bahwa sisi perlindungan konsumen kita itu masih sangat lemah makanya kami berharap ini bisa disampaikan kepada publik dan juga kepada anggota dewan,” katanya.

Lebih lanjut Sularsi menilai, UU 8/1999 tak lagi memenuhi kebutuhan perlindungan konsumen di era digital. Seperti pelindungan data pribadi belum diatur dalam UU 8/1999. Memang di dalam UU No.27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi, namun batasan data privat  hingga data publik yang belum diatur rinci

“Siapa yang boleh mengakses, ketika melakukan suatu transaksi di e-commerce, kita sudah menyampaikan datanya dan ini banyak sekali terjadi fraud dan hal ini juga akan memberikan kerugian kepada konsumen dampaknya lagi-lagi ada kepada konsumen, banyak bolong-bolong aturan hukumnya di sini yang saling melempar,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait