Pelaku usaha dalam menjalankan usahanya tidak luput dari kemungkinan masalah keuangan yang berujung pada kepailitan. Persoalan keuangan ini semakin kompleks ketika pihak debitur pailit memiliki aset yang tersebar di sejumlah negara.
Kepailitan diatur dalam UU No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaaan Kewajiban Pembayaran Utang yang tertuang dalam Pasal 1 ayat (1) yang menyebutkan, kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang.
Persoalan yang muncul ketika diketahui aset milik debitur pailit ternyata tersebar yang tidak hanya di satu negara tetapi di beberapa negara. Kurator akan kesulitan untuk mengurus dan mengelola aset tersebut jika keberadaan aset milik debitur berada di luar yurisdiksi negara tempat di mana putusan pailit itu dibacakan.
Baca Juga:
- Cara Penyelesaian Sengketa Perdata Umum di Pengadilan Negeri
- Tips Menyelesaikan Sengketa Perdata Secara Efektif dan Efisien
Mengenai hal ini, terjadi persinggungan antara lebih dari satu yurisdiksi hukum negara atau cross border insolvency atau kepailitan lintas negara.
“Cross border insolvency merupakan istilah yang digunakan untuk setiap perkara kepailitan yang di dalamnya terdapat unsur asing atau perkara yang melintasi batas negara. Cross border insolvency ini dapat terjadi apabila seorang debitur yang telah insolven memiliki aset di lebih dari satu negara atau memiliki kreditur yang bukan berasal dari tempat di mana prosedur kepailitan berlangsung,” jelas Immanuel Carlos Yanrichi, Associate Siregar Setiawan Manalu Partnership (SSMP), dalam acara Webinar Hukumonline 2023 “Penyelesaian Sengketa Perkara Litigasi Perdata dan Niaga bagi Korporasi”. Kamis (4/5).
Dalam Pasal 229 UU Kepailitan dan PKPU, diatur bahwa sepanjang tidak ditentukan lain dalam UU Kepailitan dan PKPU, maka hukum acara yang berlaku di kepailitan adalah Hukum Acara Perdata.