Memahami Lagi Aspek Pengaturan dan Implementasi Justice Collaborator
Berita

Memahami Lagi Aspek Pengaturan dan Implementasi Justice Collaborator

Justice Collaborator merupakan instrumen penting untuk meringkus pelaku kelas kakap melalui kerjasama penegak hukum dengan pelaku kelas teri.

CR-25
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Istilah Justice Collaborator kembali populer seiring munculnya keinginan Setya Novanto untuk mengajukan diri sebagai Justice Collaborator. Sebelumnya, publik sempat geram menyaksikan aksi drama “kejar-kejaran” antara mantan Ketua DPR itu dengan KPK. Meski demikian, hingga kini KPK belum memberikan ‘lampu hijau’ kepada mantan Ketua Umum Partai Golkar itu untuk bisa menyandang status Justice Collaborator.

 

Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan KPK masih ingin melihat keseriusan dari Setya Novanto untuk mendapatkan status Justice Collaborator. Belakangan, Febri justru mengatakan bahwa Justice Collaborator sepertinya sulit diberikan kepada Setya Novanto karena yang bersangkutan dinilai masih berkelit tentang penerimaan yang berkaitan dengan kasus e-KTP.  

 

”Sejauh ini informasi yang saya terima belum ada informasi signifikan yang disampaikan oleh terdakwa dan kita tahu di persidangan itu masih berupa sangkalan-sangkalan," kata Febri seperti dikutip Antara, Selasa (30/1).

 

Sebelum Setya Novanto, terdakwa kasus yang sama yakni Andi Narogong juga pernah mengajukan Justice Collaborator. Dia dikenakan pidana selama 8 tahun penjara. Dalam kasus ini Narogong mengungkap peran Mirwan Amir, mantan pimpinan Badan Anggaran DPR dari fraksi Partai Demokrat.

 

Terlepas dari kasus di atas, menarik kiranya kita memahami kembali apa sebenarnya yang dimaksud Justice Collaborator? Sebagaimana dikutip dari klinik hukumonline Justice Collaborator adalah kesediaan yang merupakan inisiatif dari salah satu pelaku tindak pidana tertentu (yang bukan pelaku utama) untuk mengakui kejahatan dan membantu pengungkapan suatu tindak pidana tertentu dengan cara memberikan keterangan sebagai saksi.

 

Tindak pidana tertentu dan bersifat serius sebagaimana dimaksud seperti Tindak Pidana Korupsi, Terorisme, Narkotika, Pencucian Uang, Perdagangan Orang dan Tindak Pidana lain yang terorganisir serta dapat menimbulkan ancaman terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat.

 

(Baca Juga: Ditawari KPK Jadi Justice Collaborator, Pengacara: Setnov Bukan Penyebar Fitnah)

 

Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Abdul Haris Semendawai, mengungkapkan bahwa hingga kini masih banyak perbedaan pendapat terkait siapa yang bisa dijadikan Justice Collaborator karenaaturannya juga banyak,sehingga penerapannya pun masih beragam.

 

Pada dasarnya, Semendawai menyebutkan terdapat tiga bentuk aturan yang mengatur tentang Justice Collaborator yakni, SEMA No.4 Tahun 2011 tentang Perlakuan bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu, Peraturan Bersama antara KPK, LPSK, Kepolisian, Kejaksaan, Menkumham, dan UU No.31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

 

Angka 9 SEMA No.4 Tahun 2011:

Pedoman untuk menentukan seseorang sebagai Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator) adalah sebagai berikut:

a. Yang bersangkutan merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu sebagaimana dimaksud dalam SEMA ini, mengakui kejahatan yang dilakukannya, bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut serta memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan;

b. Jaksa Penuntut Umum di dalam tuntutannya menyatakan bahwa yang bersangkutan telah memberikan keterangan dan bukti-bukti yang sangat signifikan sehingga penyidik dan/atau penuntut umum dapat mengungkap tindak pidana dimaksud secara efektif, mengungkap pelaku- pelaku lainnya yang memiliki peran lebih besar dan/atau mengembalikan aset-aset/hasil suatu tindak pidana;

c. Atas bantuannya tersebut, maka terhadap Saksi Pelaku yang Bekerjasama sebagaimana dimaksud di atas, hakim dalam menentukan pidana yang akan dijatuhkan dapat mempertimbangkan hal hal penjatuhan pidana sebagai berikut:

i. menjatuhkan pidana percobaan bersyarat khusus; dan/atau

ii. menjatuhkan pidana berupa pidana penjara yang paling ringan di antara terdakwa lainnya yang terbukti bersalah dalam perkara yang dimaksud. Dalam pemberian perlakuan khusus dalam bentuk keringanan pidana hakim tetap wajib mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat.

d. Ketua Pengadilan di dalam mendistribusikan perkara memperhatikan hal-hal sebagai berikut: i. Memberikan perkara-perkara terkait yang diungkap Saksi Pelaku yang Bekerjasama kepada majelis yang sama sejauh memungkinkan; dan ii. Mendahulukan perkara-perkara lain yang diungkap oleh Saksi Pelaku yang Bekerjasama.

 

Menurut Semendawai, di Indonesia syarat untuk menjadi Justice Collaboratorluar biasa sulit karena ada banyak hal yang harus dipenuhi. Sekalipun berat, kata Semendawai, tapi sebagian permohonan menjadi Justice Collaborator ada yang dikabulkan. Salah satu syarat yang sulit dipenuhi pelaku untuk mendapatkan status Justice Collaboratoradalahbila si pelaku bukan merupakan pelaku utama.

 

“Pertanyaannya siapa yang menjadi penentu seseorang itu pelaku utama atau bukan? Tentu para penegak hukum, namun penegak hukum juga berbeda-beda dalam melihat kasus,” ujarnya kepada hukumonline.

 

Dia mencontohkan KPK yang menangani kasus dari tingkat penyelidikan, penyidikan, hingga penuntutan. Menurutnya, dalam proses yang panjang tersebut bisa saja KPK melihat bahwa ada orang yang memenuhi syarat untuk menjadi Justice Collaborator, tetapi ketika di tingkat pengadilan kualitas perbuatan pelaku tersebut dinilai tidak bisa dijadikan Justice Collaborator.

 

“Ketika hakim berpendapat bahwa Justice Collaborator tersebut merupakan pelaku utama, hal ini tentu berujung pada dicabutnya status pelaku pidana tersebut sebagai Justice Collaborator,” ujarnya.

 

Adapun konsekuensi ketika pelaku dicabut status Justice Collaborator nya, maka hak-hak yang seharusnya bisa didapatkan sebagai Justice Collaborator tidak dapat dinikmati. “Padahal mungkin informasi tentang pelaku kejahatan tersebut sudah ia laporkan kepada KPK, sehingga ini menjadi tidak fair bagi pelaku pidana,” katanya.  

 

(Baca Juga: Dakwaan Kasus e-KTP Bakal Ungkap Peran ‘Orang-Orang Besar’)

 

Semendawai mengatakan bahwa di Negara asal lahirnya Justice Collaborator, yakni Amerika Serikat tidak terjadi hal yang demikian. Menurutnya, sejak awal sudah ada plea bargain (kesepakatan) antara penuntut, tersangka yang akan menjadi Justice Collaborator dan hakim terkait dengan hukuman yang akan pelaku peroleh sebagai Justice Collaborator sehingga ada konsistensi dan kepastian hukum dalam hal ini.

 

Lantas mengapa pelaku utama tidak dapat dijadikan sebagai Justice Collaborator? “Justru kalau pelaku kelas kakap yang kita seret untuk meringkus pelaku kelas teri, pelaku kelas kakap bisa lolos dengan cepat dari jeratan hukum dan tidak jera untuk dapat mengulangi perbuatannya,” katanya.

 

Semua pihak pastinya berharap kerjasama penegak hukum dengan pelaku kelas teri dapat mengakibatkan tertangkapnya pelaku utama, sehingga organisasi kejahatan dapat berhenti beroperasi. Hal ini juga sesuai dengan tujuan Justice Collaborator itusendiri, yakni untuk menangkap pelaku kelas kakap dengan bekerjasama dengan pelaku kelas teri.

 

Menurut Semendawai, idealnya dalam suatu tindak pidana antara tersangka atau terdakwa dengan saksi atau alat bukti itu seharusnya berbeda. Namun yang jadi masalah adalah bila dalam suatu peristiwa sulit untuk mendapatkan saksi, bahkan tidak ada saksi maka pelaku kejahatan tidak bisa diseret ke pengadilan atau tidak bisa diproses.

 

“Sehingga agar proses hukum masih dimungkinkan berjalan adalah dengan memanfaatkan pelaku kejahatan yang lain,” tuturnya.

 

Dalam praktik berhukum di Indonesia, yang selama ini dilakukan adalah menjadikan tersangka atau terdakwa lain sebagai saksi dalam status sebagai saksi mahkota. Namun, konsep saksi mahkota ini seringkali melanggar HAM karena seringkali mereka memberikan kesaksian karena terpaksa. Sedangkan Justice Collaborator harus atas kemauannya sendiri.

 

Kemudian, jika pelaku ingin memberikan kesaksian secara sukarela maka harus ada take & give atau benefit atas proses tersebut. Di antara benefit yang bisa diperoleh yakni mendapatkan hukuman yang lebih ringan dibanding pelaku lain yang tidak termasuk sebagai Justice Collaborator. “Selain itu, pelaku ingin mendapatkan perlindungan, mendapatkan pengurangan hukuman serta mendapatkan pembebasan bersyarat,” ujar Semendawai.

 

Namun dalam kondisi Justice Collaborator berbohong, Semendawai mengatakan bahwa si pelaku telah melakukan tindak pidana berupa memberikan keterangan palsu. Di samping itu, berbagai bentuk hak yang diterima pelaku sebagai Justice Collaborator harus dicabut.

 

Tags:

Berita Terkait