Memahami Tahapan Penyelesaian Konflik Hubungan Industrial di Perusahaan
Utama

Memahami Tahapan Penyelesaian Konflik Hubungan Industrial di Perusahaan

Mulai penyelesaian tingkat bipartit, mediasi, di PHI, hingga permohonan kasasi di MA.

Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit

Ketiga, di tingkat pengadilan hubungan industrial (PHI). Ketiga mediasi gagal, perselisihan berlanjut ke PHI. Tahap pengadilan menjadi ajang “pertempuran” para pihak beradu argumen dengan menyodorkan bukti-bukti masing-masing untuk meyakinkan hakim PHI. Baginya, tingkat pengadilan bakal jauh lebih rumit ketimbang tahap bipatrit ataupun mediasi.

Misalnya, penggugat, misalnya pekerja harus melampirkan anjuran atau risalah mediasi yang diterbitkan mediator di Dinas Ketenagakerjaan setempat sebagai syarat menggugat ke PHI. Hakim bakal mengkorelasikan surat gugatan dengan anjuran yang diterbitkan mediator. “Untuk memastikan apakah penggugat dan tergugat disebut sebagai pihak berselisih dalam anjuran mediator atau tidak?”

Lazimnya menyusun surat gugatan dilakukan oleh seorang lawyer. Namun pekerja dapat berlatih membuat surat gugatan. Seperti menuliskan identitas, alamat dan jabatan, uraian gugatan secara jelas dan sistematis (posita), serta uraian petitum atau tuntutan. Sementara pihak tergugat membuat jawaban dalam bentuk eksepsi. Dalam eksepsi, tergugat dapat mempersoalkan kewenangan relatif dan absolut pengadilan agar hakim tak memeriksa pokok perkara.

Tahapan selanjutnya tahap pembuktian. Masing-masing pihak bakal beradu bukti seperti surat dan dokumen. Seperti surat peringatan, surat PHK, surat panggilan, slip gaji dan lainnya. Selain itu menyodorkan saksi fakta yang melihat, mendengar dan mengetahui peristiwa. Hingga seorang ahli seperti dosen, peneliti, hingga praktisi yang didengarkan keilmuannya seputar permasalahan yang relevan.

Setelah ada putusan PHI, terdapat pihak kalah dan menang. Bagi pihak yang kalah berhak mengajukan kasasi dan berharap dikabulkan majelis hakim kasasi di Mahkamah Agung (MA). Permohonan kasasi tak hanya keberatan atas substansi putusan pengadilan tingkat pertama, tapi bisa juga karena adanya kesalahan hakim dalam menerapkan hukum.

“Pemohonan kasasi perlu memperlihatkan dimana letak kesalahan hakim dalam menerapkan hukum. Kalau salah dalam pertimbangan alinea kelima, kutip poin kesalahannya dikaitkan dengan hukum yang seharusnya,” lanjutnya.

Juanda menegaskan permohonaan kasasi menjadi upaya hukum terakhir dalam perkara hubungan industrial. Selain UU No.2 Tahun 2004, hal ini ditegaskan dakam SEMA No.3 Tahun 2018 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Pleno Kamar MA Tahun 2018 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan. Kemudian dikuatkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.46/PUU-XVII/2019 dan Putusan MK No. 34/PUU-XVII/2019. Kata lain, PHI tidak mengenal upaya hukum peninjauan kembali.

“Maka pertarungan terakhir ada pada tingkat kasasi. Sehingga baik pemohon maupun termohon harus memaksimalkan pada fase terakhir ini agar bisa memenangkan perkara.”

Tags:

Berita Terkait