Memahami Tugas Dokter Forensik di Balik Kematian
Berita

Memahami Tugas Dokter Forensik di Balik Kematian

Hasil kerja ahli forensik sangat membantu untuk mengungkap jati diri korban kejahatan. Pelaku lebih gampang ditelusuri. Ahli forensik bekerja di lahan yang bagi sebagian orang menjijikkan. Tapi bisa mendapat apresiasi.

Mys
Bacaan 2 Menit
Memahami Tugas Dokter Forensik di Balik Kematian
Hukumonline

Gambar tulang belulang berserakan di meja terpajang di dua layar, kiri dan kanan aula di lantai 15 Gedung Yustinus, kampus Universitas Katholik Atma Jaya Jakarta. Seorang pria tampak mengamati dengan saksama tulang belulang manusia itu.

 

Sang pria tidak sedang mengumpulkan tulang dari kuburan. Melihat latar belakang gambar, si pria tengah bekerja di sebuah ruangan dengan meja panjang yang dipenuhi tulang belulang. Dari siang hingga malam, tulang belulang itu diamati, lalu dicatat. Proses pengenalan memakan waktu berhari-hari. Maklum, ada sekitar 14 ribu korban yang harus dikenali. Tulang belulangnya dikumpulkan dari wilayah Biak, Manokwari dan Jayapura. “Mereka adalah tentara Jepang korban Perang Dunia Kedua,” kata Djaja Surya Atmadja. Dokter Djaja tak lain adalah pria yang tengah memeriksa tulang belulang dalam gambar tadi.

 

Kali lain dokter Djaja tampak berada di tengah tumpukan mayat korban bom Bali. Ratusan orang kehilangan nyawa. Tubuh sebagian korban hancur berantakan. Bersama dokter lain, dosen Fakultas Universitas Indonesia bertugas mengumpulkan serpihan tubuh korban untuk selanjutnya diidentifikasi. Pada setiap mayat dibuat label untuk memudahkan identifikasi.

 

Dari satu gambar berpindah ke gambar lain. Dokter Djaja tengah memperkenalkan kepada seratusan mahasiswa di aula tersebut pekerjaan yang dilakukan seorang ahli antropologi forensik. Dokter Djaja didaulat untuk berbicara dalam acara DE.A.D, singkatan Detective at the Day, di Balik Kematian. Unit Penelitian Mahasiswa Unika Atma Jaya Jakarta mempersembahkan acara itu dalam rangka 50 tahun emas kampus tersebut.

 

Dokter Djaja bukan satu-satunya orang yang mendapat amanah mengidentifikasi korban yang tak mudah dikenali lagi. Pekerjaan mereka tidak gampang. Mengurai satu persatu potongan tubuh, mencocokkan satu potongan dengan potongan lain, lantas melakukan identifikasi. Bisa lewat sidik jari, sidik retina, sidik suara, dan metode terakhir dengan sidik DNA (deoxyribonucleic acid).

 

Berbekal sidik DNA pula korban dan pelaku bom bunuh diri di depan Kedubes Australia bisa diidentifikasi. Melalui metode yang disebut Disaster Perpetrator Identification (DPI), korban akibat ledakan bisa diidentifikasi dengan cepat. Adalah Herawati Sudoyo, dokter penemu metode DPI, di balik kesuksesan mengungkap jati diri korban dan pelaku bom bunuh diri di depan Kedubes Australia. Atas jasanya, perempuan yang pernah menjadi Ketua Tim Unit Identifikasi DNA Forensik Lembaga Biologi Molekul Eijkman, itu memperoleh Habibie Award 2008.

 

Tubuh manusia yang diperiksa para ahli forensik adalah barang bukti terjadinya kejahatan. Meskipun sudah menjadi mayat, dokter, aparat penegak hukum atau siapapun harus memperlakukan mayat tersebut baik. Perlakuan demikian tegas dirumuskan dalam pasal 133 ayat (3) KUHAP. “Mayat yang dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada rumah sakit harus diperlakukan secara baik dengan penuh penghormatan terhadap mayat tersebut dan diberi label yang memuat identitas mayat, dilakukan dengan diberi cap jabatan yang diletakkan pada ibu jari kaki atau bagian lain badan mayat”. Tentu saja, pembuktiannya dilakukan dalam proses persidangan.

 

Ahli forensik bertugas mengidentifikasi korban baik mengenai jenis kelamin, perkiraan usia, penyebab luka, dan kematian. Metode lawas yang biasa dipakai dokter dan para ahli forensik adalah Sisti Bertillon. Metode ini merujuk pada Alphonse Bertillon (1853-1914). Ilmuan Perancis yang mengembangkan antropometrik untuk mengidentifikasi seseorang berdasarkan ciri fisik dan photografi. Dasar pemikiran Bertillon adalah meskipun seseorang bisa berganti identitas berulang kali, ia tidak dapat mengubah elemen-elemen tertentu dalam tubuhnya. Sistim identifikasi penjahat ala Bertillon menggunakan ukuran tubuh, warna mata, rambut, dan kulit. Belakangan sistim yang dikembangkan Bertillon semakin meluas setelah DNA ditemukan. Proses identifikasi oleh ahli forensik semakin mudah. “Tidak ada orang yang sama pola DNA-nya,” jelas dokter Djaja Surya Atmadja.

 

Kalau mayat korban kejahatan masih utuh, tentu saja, lebih gampang diidentifikasi melalui ciri-ciri fisiknya. Kalangan kedokteran menyebutnya sebagai dimorfisme seksual. Apalagi kalau ada peralatan khusus yang menjadi ciri korban. Misalnya cincin, anting, atau tato. Mayat pria yang pernah ditemukan di bus Mayasari Bhakti dua tahun silam terkuak antara lain karena tato macan di tangan korban. Korban diidentifikasi sebagai Hendra. Setelah korban diidentifikasi ahli forensik, polisi lebih mudah melacak pelaku. Dan pelaku mutilasi tubuh Hendra tak lain adalah isterinya sendiri, Sri Rumiyati. Ahli forensik berhasil mengidentifikasi meskipun kepala korban tak berhasil ditemukan.

 

Kalau dibutuhkan untuk proses identifikasi lanjutan, dokter forensik melakukan pembedahan terhadap mayat. Pasal 134 KUHAP memberikan panduan atas pembedahan. Keluarga korban wajib diberitahu rencana pembedahan. Yang wajib memberitahukan bukan dokter forensik, melainkan penyidik. Kalau keluarga keberatan, penyidik wajib menerangkan secara jelas maksud dan tujuan pembedahan. Kalau dalam dua hari tidak ada jawaban dari keluarga korban, atau tak diketahui keluarganya, maka dokter forensik boleh melakukan pembedahan guna mengidentifikasi siapa korban dan apa akibat tindakan pelaku terhadap tubuh korban.

 

Tubuh korban pembunuhan atau mutilasi adalah “saksi diam” yang banyak ‘berbicara’ kepada aparat penegak hukum. Para dokter forensik adalah ahli yang bisa menerjemahkan bahasa saksi diam melalui ilmu pengetahuan yang mereka miliki. Dokter Djaja Surya Atmadja, dokter Mun’iem Idris, dokter Handoko Tjondroputranto, dokter Amar Singh adalah segelintir dari banyak ahli forensik yang menyumbangkan keahliannya untuk membuka tabir kejahatan. Sumbangsih mereka berguna bagi pengembangan ilmu hukum ke depan.

Tags: