Memaknai 99 Tahun Pendidikan Tinggi Hukum di Indonesia - Bagian 1
Kolom

Memaknai 99 Tahun Pendidikan Tinggi Hukum di Indonesia - Bagian 1

Pendidikan tinggi hukum yang sama, dengan kurikulum pendidikan yang sama, dalam kenyataannya melahirkan alumni-alumni dengan orientasi ideologi beragam. Namun, ada titik temu di antara mereka yakni komitmen teguh untuk mempertahankan kemerdekaan Negara Republik Indonesia dan memajukan bangsa dan negara.

Bacaan 6 Menit

Mereka—yang dididik di RHS—ternyata tidaklah menjadi “Orang Barat di Negeri Timur” seperti dibayangkan oleh Snouck Hurgronje dan van Deventer (para perancang politik “asosiasi kebudayaan” antara Nederland dengan negeri jajahannya). Snouck Hurgronje percaya bahwa lama kelamaan anak-anak kaum pribumi akan merasa dirinya menjadi “orang Belanda” dengan menjalankan politik asosiasi melalui pendidikan Barat. Mereka tidak seluruhnya “tersekularkan” dan teralienasi dari agamanya sebagaimana dibayangkan oleh Snouck Hurgronje. Secara ideologis mereka memang beragam. Mr.Amir Sjarifuddin, Mr.Muhammad Jusuf, dan Mr.Luat Siregar memilih menjadi Marxis. Mr.S.Takdir Alisjahbana menjadi Sosialis, Mr.Muhammad Yamin dan Mr.Wilopo menjadi nasionalis, sementara Mr.Kasman Singodimedjo, Mr.Mohamad Roem, dan Mr.Sjafruddin Prawiranegara menjadi eksponen terkemuka dari gerakan modernisme Islam.

Jadi, sebuah lembaga pendidikan yang sama, yang mengajarkan kurikulum

pendidikan yang sama, dalam kenyataannya melahirkan alumni-alumni dengan orientasi ideologi beragam. Namun, di antara semua perbedaan itu, ada titik temu di antara mereka yakni komitmen teguh untuk mempertahankan kemerdekaan Negara Republik Indonesia dan memajukan bangsa dan negara. Fenomena seperti itu nampaknya akan terus terjadi sepanjang sejarah dan akan terus mewarnai perkembangan masyarakat kita, baik di masa lampau, masa sekarang, dan masa yang akan datang.

Pendidikan Tinggi Hukum Era Kemerdekaan

Pada awal tahun 1946, Pemerintah Republik Indonesia berusaha mendirikan Balai Perguruan Tinggi Republik Indonesia di Jakarta. Namun, perguruan tinggi itu tidak dapat menyelenggarakan pendidikan sebagaimana mestinya dalam suasana Perang Kemerdekaan. Pemerintah NICA juga mendirikan pendidikan tinggi yang sama. Setelah konflik Indonesia-Belanda selesai pada akhir tahun 1949, barulah Pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS)—di bawah Menteri Pendidikan RIS Dr.Abu Hanifah— membentuk Universiteit Indonesia pada tanggal 2 Februari 1950. Sejak itu pula Fakultas Hukum Universiteit Indonesia berdiri sebagai kelanjutan dari RHS, sebagaimana Fakultas Kedokteran UI sebagai kelanjutan dari GHS (Geneeskundige Hoogeschool te Batavia) yang didirikan tahun 1927.

Ketika dibentuk kembali, Fakultas Hukum Universitas Indonesia melakukan kegiatannya di Jalan Salemba Raya sampai awal tahun 1970 pindah ke Rawamangun. Terakhir, Fakultas Hukum pindah ke Depok pada tahun 1984 sampai sekarang ini. Fakultas Hukum UI merupakan fakultas hukum tertua di negeri kita. Keberadaannya kemudian disusul dengan berdirinya fakultas yang sama pada Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta dan Universitas Islam Indonesia (UII) di Yogyakarta (sebagai kelanjutan dari Sekolah Tinggi Islam yang dibentuk oleh Pemerintah Pendudukan Jepang di Jakarta pada tahun 1943 dan ikut hijrah ke Yogyakarta di masa perang kemerdekaan). Sampai saat ini, boleh dikatakan semua universitas negeri di negara kita memiliki fakultas hukum, begitu pula dengan perguruan tinggi swasta. Dilihat dari kurikulum pendidikan, semuanya mempunyai kesinambungan dengan kurikulum RHS. Tentu saja semuanya menyesuaikan dengan perkembangan norma hukum yang berlaku di negara kita dan perkembangan akademik di dunia ilmu hukum yang kian beragam.

Sebuah kenyataan sosial dan politik yang tidak dapat kita ingkari adalah pengaruh hukum kolonial memainkan peran sangat penting serta mewarnai corak sistem hukum di negara bekas jajahan. Ini terjadi di negara-negara yang pernah dijajah oleh negara-negara Eropa. Demikianlah kita menyaksikan besarnya pengaruh hukum Inggris di India, Pakistan, Bangladesh, Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam. Demikian pula dengan hukum Spanyol dan Amerika Serikat di FIilipina serta hukum Belanda di tanah air kita.

Kurikulum RHS dengan jelas menggambarkan pengajaran materi hukum Belanda, termasuk pelajaran Hukum Tata Negara Belanda serta Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara di negeri-negeri jajahan (termasuk Hindia Belanda). Meskipun Hukum Islam dan lembaga-lembaga Islam diajarkan di RHS, kedudukan dan tafsir atas keberlakuan Hukum Islam tidak terlepas dari politik kolonial di masa itu.

Demikian pula materi pengajaran dan keberlakuan Hukum Adat tidak terlepas pula dari kebijakan kolonial (dalam mempertahankan kepentingan untuk melanggengkan kekuasaan kolonial di negeri-negeri yang penduduknya beragam). Antusiasme para akademisi hukum Belanda, baik di Universiteit Leiden maupun di RHS, untuk melakukan riset dan mengembangkan berbagai teori terkait hukum adat tidaklah sebesar para ahli hukum Inggris di India dan Malaya. Demikian pula dengan para ahli hukum Spanyol dan Amerika Serikat yang sama sekali tidak tertarik mempelajari dan mengembangkan hukum adat di Filipina. Hal itu karena bukan merupakan bagian dari kebijakan kolonial untuk melanggengkan kekuasaan di negeri-negeri itu.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait