Memaknai 99 Tahun Pendidikan Tinggi Hukum di Indonesia - Bagian 2
Kolom

Memaknai 99 Tahun Pendidikan Tinggi Hukum di Indonesia - Bagian 2

Masalah paling sulit dikerjakan adalah mencapai tujuan pendidikan tinggi hukum. Butuh lingkungan pendidikan tinggi yang religius dan mengedepankan akhlak serta budaya masyarakat kita. Bimbingan dan suri teladan para dosen kepada mahasiswanya juga dibutuhkan.

Bacaan 6 Menit

Di Era Reformasi sebenarnya telah terjadi perubahan kelembagaan penegak hukum yang sangat besar dibanding era-era sebelumnya. Namun, perubahan ini belum sepenuhnya didukung norma-norma hukum baru yang sesuai kebutuhan zaman yang berubah. Sebagai contoh, pengadilan agama masih sangat tertinggal dalam pembangunan hukum materilnya meskipun kewenangannya kini diperluas. Pengadilan Agama di Aceh berwenang memeriksa dan mengadili perkara-perkara jinayat (pidana) yang diatur dalam Qanun Jenayat (Perda Pidana) Pemerintah Aceh. Namun, hukum acaranya masih menggunakan kaidah-kaidah fiqih. Secara umum belum tersedia hukum acara yang baru di pengadilan agama. Pengadilan Agama masih menggunakan HIR Hindia Belanda—dengan beberapa penyesuaian— dalam menangani perkara hukum kekeluargaan Islam.

Pengadilan Agama kini juga diberi kewenangan untuk memutus perkara-perkara bisnis syariah tertentu. Ini sebuah perkembangan yang sangat pesat jika dibandingkan dengan waktu-waktu sebelumnya. Perkembangan-perkembangan baru ini membuat Fakultas Syariah di IAIN dan UIN berubah menjadi Fakultas Syariah dan Hukum untuk menjawab perubahan zaman.

Menyongsong Seabad

Mengingat perkembangan-perkembangan pesat tadi—baik dari sudut pembentukan norma hukum baru maupun kebutuhan akan penegakan hukum yang berintikan keadilan dan kepastian hukum—, tugas utama Fakultas Hukum sebagai lembaga pendidikan tinggi hukum akan terasa makin besar. Para akademisi hukum di Fakultas Hukum berkewajiban untuk mengembangkan filsafat hukum dan teori ilmu hukum berdasarkan nilai-nilai yang hidup dan berkembang dalam masyarakat kita sendiri. Tentu sangat mungkin bagi kita untuk menimba ilmu dari berbagai sumber—sebagai kerangka pemikiran dan kerangka teori untuk mengungkapkan dan memformulasikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat kita—dengan titik tolak falsafah bernegara kita (sebagaimana termaktub dalam Pembukaan

Undang-Undang Dasar 1945).

Sebagai generasi yang hidup di era globalisasi, kita tidak dapat menutup mata atas perkembangan-perkembangan pesat dalam dunia hukum di negara-negara lain. Kita dapat menelaah dan memetik hikmah dari perkembangan-perkembangan itu. Satu dan lain hal bisa kita daya-gunakan untuk kepentingan kemajuan bangsa kita sendiri. Sebagai lembaga pendidikan tinggi yang bertugas mendidik para praktisi hukum dan penyelenggara negara, para akademisi bukan saja sekadar mengajarkan ilmu hukum dan pengetahuan hukum untuk berpraktik. Akademisi juga bertugas menanamkan nilai-nilai dan semangat sebagaimana tertuang dalam Pasal 5 huruf a Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Tujuan penyelenggaraan pendidikan tinggi kita adalah untuk mengembangkan “potensi mahasiswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, terampil, kompeten dan berbudaya untuk kepentingan bangsa”.

Mengajarkan ilmu hukum bukanlah perkara yang sulit di era kemajuan teknologi informasi sekarang ini. Buku online serta berbagai artikel akademik bidang hukum—termasuk kasus-kasus hukum yang setiap saat dapat dicari datanya di internet—secara perlahan telah menggeser peran dominan dosen yang mengajar di depan kelas. Sumber informasi telah demikian menyebar. Masalah yang paling sulit untuk dikerjakan, yang tidak dapat digantikan oleh dunia maya, adalah mencapai tujuan pendidikan tinggi hukum sebagaimana tujuan pendidikan tinggi kita tadi. Tujuan seperti itu hanya dapat dicapai dengan lingkungan pendidikan tinggi yang religius dan mengedepankan akhlak serta budaya masyarakat kita. Bimbingan dan suri teladan para dosen kepada mahasiswanya juga dibutuhkan.

Saya ingin mengajak kita semua sejenak merenung jelang usia satu abad pendidikan tinggi hukum di tanah air kita tahun depan. Selama hampir satu abad ini, generasi demi generasi yang mempelajari hukum di perguruan tinggi ini—sejak RHS sampai sekarang—telah datang dan pergi silih berganti. Semua yang sudah pergi, masing-masing telah memberikan darmabakti dan sumbangsihnya bagi kemajuan masyarakat, bangsa, dan negara kita, sesuai zamannya.

Generasi sekarang masih menghadapi tantangan yang besar. Pertama, kurang sempurnanya norma-norma hukum yang berhasil kita rumuskan. Kedua, lemahnya penegakan hukum yang dapat menjamin keadilan dan kepastian hukum bagi semua lapisan masyarakat. Sebagai produk politik, norma hukum tertulis kita masih mencerminkan kehendak golongan yang kuat dan berkuasa, sehingga mengabaikan keadilan. Penegakan hukum kita masih jauh dari harapan pencari keadilan. Bahkan, intervensi terhadap lembaga-lembaga penegak hukum—baik oleh mereka yang sedang memegang kekuasaan politik maupun mereka yang menguasai sumber-sumber kekayaan ekonomi—terasa semakin menjadi-jadi.

Tags:

Berita Terkait