Memperdebatkan Keberadaan Hakim Ad hoc
RUU Pengadilan Niaga

Memperdebatkan Keberadaan Hakim Ad hoc

Dalam UU Pengadilan Niaga akan diatur mengenai Hakim Pengadilan Niaga yang terdiri dari Hakim Karier dan Hakim Ad hoc. Kewenangan Peradilan Niaga pun akan diperluas. Namun beberapa kalangan menilai keberadaan Hakim Ad hoc sebaiknya disesuaikan dengan kebutuhan, bukan bedasarkan intervensi dari satu pihak.

CR-2
Bacaan 2 Menit
Memperdebatkan Keberadaan Hakim Ad hoc
Hukumonline

 

Ada dua hal yang dianggap penting dalam pembahasan RUU Pengadilan Niaga. Dalam UU ini nantinya akan diatur mengenai Hakim Pengadilan Niaga yang terdiri dari Hakim Karier dan Hakim Ad hoc yang persyaratan pemilihan dan pengangkatannya berbeda dengan hakim pada umumnya. Beberapa kalangan beranggapan, keberadan Hakim Ad hoc diperlukan karena keahliannya sejalan dengan kompleksitas perkara niaga, baik yang menyangkut teknis, pembuktian, maupun luasnya cakupan niaga antaralain di bidang kepailitan, Hak atas Kekayaan Intelektual, perbankan dan keuangan, asuransi, dan pasar modal.

 

Hukum acara yang digunakan dalam pemeriksaan di sidang Pengadilan Niaga pada dasarnya dilakukan sesuai dengan hukum acara perdata yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam UU Pengadilan Niaga nanti dan UU tentang cakupan niaga yang bersangkutan. Kekhususan hukum acara tersebut antaralain mengatur; A) penegasan pembagian tugas dan wewenang antara ketua dan wakil ketua Pengadilan Niaga. B) mengenai susunan majelis Hakim dalam pemeriksaan di sidang pengadilan baik pada tingkat pertama, kasasi maupun peninjauan kembali. C) jangka waktu dimulainya pemeriksaan perkara niaga pada tingkat pertama, dan D) adanya kepaniteraan khusus untuk Pengadilan Niaga.  

 

Agar tidak terjadi kekosongan hukum pada saat UU berlaku, diatur mengenai masa transisi atau peralihan terhadap Pengadilan Niaga yang dibentuk berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dan Pengadilan Niaga yang dibentuk berdasarkan UU ini, antara lain mengenai keberdaan Hakim Ad hoc. Hakim Ad hoc yang telah diangkat berdasarkan undang-undang sebelum UU ini berlaku, tidak perlu diangkat kembali, namun langsung bertugas untuk masa jabatan empat tahun bersamaan dengan masa jabatan Hakim Ad hoc yang diangkat berdasarkan UU ini, kata Soeharto.

 

Kewenangan Peradilan Niaga

Sementara, Hakim Agung Syamsul Maarif mengatakan bahwa kewenangan Peradilan Niaga memang perlu diperluas. Namun dia mengaku belum menemukan referensi untuk memperluas kewenangan lembaga peradilan tersebut, yang ada hanyalah pertimbangan-pertimbangan historical accident bahwa kewenangan itu perlu ditambah. Pendapat Syamsul mengacu pada Pasal 4 dari RUU Pengadilan Niaga.

 

Pasal 4 menyebutkan;

(1)  Pengadilan Niaga merupakan satu-satunya pengadilan yang berwenang mengdili perkara-perkara niaga.

(2)  Perkara niaga sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) meliputi perkara-perkara sebagai berikut;

a. Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), serta hal-hal yang berkaitan dengannya;

b. Hak atas Kekayaan Intelektual;

    1. Desain Industrinya

    2. Desain tata Letak Sirkuit Terpadu

    3. Paten

    4. Merek

    5. Hak Cipta

c. Lembaga Penjamin Simpanan:

    1. Sengketa dalam proses likuidasi

  2. Tuntutan pembatalan segala perbuatan hukum bank yang mengakibatkan berkurangnya aset atau bertambahnya kewajiban bank yang dilakukan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sebelum pencabutan izin usaha.

d. Perkara lain di bidang perniagaan yang penetapannya dilakukan dengan Undang-undang.

 

Syamsul mempertanyakan, apakah dengan masuknya bidang-bidang perkara tersebut, bisa mengefektifkan UU Pengadilan Niaga nantinya. Menurutnya, UU yang ada sekarang saja masih  debatable (diperdebatkan). Untuk itu perlu dikaji lagi secara mendalam, apa perlunya UU ini diperluas dan hal apa saja yang perlu ditambahkan di dalamnya, urai mantan Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) tersebut.   

 

Hakim Ad hoc

Soal adanya Hakim Ad hoc, Syamsul beranggapan perlu dikaji sejauh mana Hakim Ad hoc diperlukan. Paling tidak perlu ada kajian komprehensif yang menunjukkan performance ada dan tidak adanya Hakim Ad hoc. Setelah melakukan pengkajian, lalu perlu dibahas mengenai hal teknis apakah Hakim Ad hoc itu diperlukan hanya ditingkat pertama atau sampai Mahkamah Agung (MA). Hal senada juga dikatakan oleh Eryanto Nugroho dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK). Menurutnya, untuk ke depan keberadaan Hakim Ad hoc lebih didasarkan kepada kebutuhan. 

 

Sementara Hakim Agung Mohammad Saleh mengatakan, sejak tahun 2002 Hakim Ad hoc tidak pernah aktif. Memang, Hakim Ad hoc terkadang digunakan di MA. Tapi dalam UU MA yang baru hanya dikenal Hakim Karier dan Hakim Non Karier, tidak menyebut Hakim Ad hoc. Oleh karena itu Saleh mengusulkan agar Hakim Ad hoc hanya ada di tingkat pertama.

 

Sedangkan Elijana Tansah dari Kantor Advokat Gani Djemat & Partners berpendapat lain. Sebenarnya, yang menjadi kajian adalah apakah adanya Hakim Ad hoc akan merubah putusan. Itu tidak mungkin, kata Elijana. Soalnya, di Pengadilan Niaga posisi Hakim Ad hoc hanya sebagai anggota. Dia berpendapat, UU Kepailitan mengatur bila ada hakim yang berbeda pendapat maka dissenting opinion tersebut akan tertuang di dalam putusan.

 

Adanya dissenting opinion akan membuat semua pihak, termasuk Hakim Agung (bila perkara berlanjut sampai tingkat Kasasi atau PK) menyadari bahwa ada pendapat lain dalam sebuah putusan. Artinya, pihak yang membaca dissenting opinion akan membaca kembali pertimbangan-pertimbangan hukum dan mengambil undang-undang atau literatur yang mendasari keluarnya putusan tersebut. Jadi sebetulnya itu hanya memberi umpan supaya Hakim Agung menyadari bahwa ada pendapat lain dalam sebuah putusan, jelasnya. Elijana juga mengatakan bahwa tidak mungkin di jaman sekarang, seorang hakim dituntut untuk menguasai semua permasalahan hukum.

 

Intervensi

Soeharto mengakui sejak tahun 2002 hingga sekarang belum ada yang namanya Hakim Ad hoc, apalagi di Mahkamah Agung (MA). Namun, kata Soeharto, tidak semua hakim dapat menguasai berbagai bidang. Dahulu saja, lanjut Soeharto, Hakim Ad hoc muncul karena adanya kendala dalam menghitung jumlah nilai gugatan yang mencapai ratusan miliar hingga triliunan. Bahkan saat itu International Monetery Fund (IMF) meminta agar Hakim Ad hoc diadakan supaya hitung-hitungan dalam nilai gugatan bisa lebih fair, katanya. 

 

Syamsul menimpali pernyataan Soeharto tersebut. Menurutnya, bukan hal tabu bila UU di negara ini muncul karena adanya tekanan dari pihak asing. Saya tidak setuju akan hal itu, tegasnya. Dia menyarankan agar penyusunan sistem pembuatan UU disamakan dengan kebutuhan semata, bukan karena adanya tekanan dari IMF.

 

Bila Hakim Ad hoc itu harus ada atas permintaan satu pihak, maka perlu dipertanyakan apa dasarnya kita memaksa pihak lain untuk menerima keberadaan Hakim Ad hoc, kata Syamsul. Dia mengkhawatirkan, bila ada satu pihak yang tidak setuju dengan adanya Hakim Ad hoc maka hal itu akan menimbulkan ketidakobjektifan. Maka dari itu sebaiknya mejelis hakim yang menentukan apakah Hakim Ad hoc diperlukan. Bukankah akan lebih fair bila Hakim Ad hoc ada atas permintan dari majelis, usulnya.

 

Ralat:

 

Ada kekeliruan pada Paragraf 2, tertulis:

 

Hal itu disampaikan Soeharto dari  United States Agency for International Development (USAID), salah satu LSM asal negeri paman Sam yang saat ini tengah menggodok Rancangan Undang-undang Pengadilan Niaga (RUU Pengadilan Niaga) untuk dijadikan Undang-undang.

 

Yang benar adalah:

 

Hal itu disampaikan Soeharto SH, mantan hakim agung yang menjadi ketua tim khusus penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengadilan Niaga. Tim yang mendapat dukungan asistensi dari proyek In-ACCE United States Agency for International Development (USAID) ini diisi oleh sejumlah ahli kepailitan.

 

 

@Redaksi

 

Perkembangan perekonomian dan perdagangan serta pengaruh globalisasi yang melanda dunia usaha dewasa ini, telah menimbulkan banyak permasalahan dalam masyarakat. Hal tersebut mengingat modal yang dimiliki oleh para penguasaha pada umumnya sebagian besar merupakan pinjaman yang berasal dari berbagai sumber, baik dari bank, penanaman modal, penerbitan obligasi maupun cara lain yang diperbolehkan. Untuk kepentingan dunia usaha dalam menyelesaikan masalah perdagangan secara adil, cepat, terbuka, dan efektif, maka sangat diperlukan perangkat hukum yang mendukungnya.

 

Hal itu disampaikan Soeharto dari  United States Agency for International Development (USAID), salah satu LSM asal negeri paman Sam yang saat ini tengah menggodok Rancangan Undang-undang Pengadilan Niaga (RUU Pengadilan Niaga) untuk dijadikan Undang-undang.

 

Secara umum RUU tersebut menjelaskan, pada awalnya Pengadilan Niaga dibentuk bedasarkan UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Mengingat UU No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menentukan bahwa pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan umum yang dibentuk dengan UU, maka dirasa perlu adanya pengaturan mengenai Pengadilan Niaga dalam suatu UU tersendiri. Maklum, hingga kini Pengadilan Niaga masih lengket dengan UU Kepailitan.

 

Pengadilan Niaga merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan Peradilan Umum dan  satu-satunya pengadilan yang memiliki kewenangan untuk mengadili perkara niaga. Pengadilan niaga berkedudukan pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Pengadilan Negeri Ujung Pandang, Pengadilan Negeri Medan, Pengadilan Negeri Surabaya, dan Pengadilan Negeri Semarang.      

Halaman Selanjutnya:
Tags: