Memperkuat Perlindungan Jurnalis Lewat Revisi UU ITE
Utama

Memperkuat Perlindungan Jurnalis Lewat Revisi UU ITE

Seperti merevisi Pasal 27 dan Pasal 28 UU ITE atau menghapus sekalian kedua norma pasal tersebut.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit
Para jurnalis menggelar aksi protes menolak setiap aksi kekerasan. Foto: RES
Para jurnalis menggelar aksi protes menolak setiap aksi kekerasan. Foto: RES

Dalam setahun terakhir, angka kekerasan terhadap jurnalis mengalami peningkatan meskipun di masa pandemi Covid-19. Untuk itu, sejumlah pihak mendorong agar perlindungan jurnalis diperkuat melalui revisi UU No. 11 Tahun 2008 sebagaimana diubah dengan UU 19 Tahun 2016 tentang Informasi Transaksi Elektronik (UU ITE).     

Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers berpandangan Ade Wahyudin menilai salah satu hambatan pekerja pers saat menjalankan tugas adalah kebijakan pemerintah yang berpotensi mengkriminalisasi kerja-kerja pers. Salah satunya, penerapan sejumlah pasal dalam UU No 19/2016 yang kerap digunakan untuk menyerang balik pekerja jurnalis yang kritis. Sebut saja, penggunaan Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (2) UU ITE terkait penghinaan/pencemaran nama baik dan penyebaran informasi yang menimbulkan rasa kebencian/permusuhan di dunia maya.  

“Padahal informasi yang disiarkan karya jurnalistik. Karenanya, revisi terhadap UU ITE merupakan salah satu langkah menguatkan perlindungan terhadao jurnalis,” ujarnya kepada Hukumonline, Senin (3/5/2021) kemarin. (Baca Juga Pandangan 3 Pakar Hukum Terkait Penerapan UU ITE)

Ade menegaskan Pasal 27 dan 28 UU ITE harus direvisi. Bahkan bila perlu rumusan Pasal 27 dan Pasal 28 itu dihapus untuk menghindari kriminalisasi pekerja jurnalis. “Banyak jurnalis yang menyebarkan informasi berdasarkan hasil kerja jurnalistik malah berurusan dengan hukum (dijerat UU ITE, red),” bebernya.

Dia mengingatkan kebebasan pers merupakan amanat konstitusi yang dijamin UUD Tahun 1945. Kendatipun tak diatur secara eksplisit, namun elemen kebebasan pers jelas diatur dalam konstitusi. Seperti kebebasan berpikir, menyampaikan pendapat, berkomunikasi dan hak atas informasi.

Menurutnya, pengakuan atas kebebasan pers dalam konsititusi negara semestinya tercermin dalam pembuatan peraturan perundang-unudangan sebagai turunan dari UUD 1945. Sebab, kebebasan pers menjadi salah satu pilar penting sebuah negara hukum dan demokrasi. Karena itu, perlindungan terhadap pers mesti dituangkan dalam peraturan perundangan yang berlaku.

Faktanya, tak semua ketentuan peraturan perundang-undangan melindungi media pers dan jurnalisnya. Masih terdapat sejumlah ketentuan yang mengancam dan menggerus hak atas kebebasan pers. Salah satu diantaranya UU ITE. “Meskipun UU ITE diklaim tidak menyasar pers, namun nyatanya terdapat banyak kasus wartawan yang dijerat dengan UU kontroversial ini, bahkan hingga divonis bersalah oleh hakim,” katanya.

Senada, Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Bambang Soesatyo meminta pemerintah memperkuat perlindungan terhadap jurnalis melalui revisi UU ITE. Tujuannya, agar pekerja jurnalis mendapatkan kepastian jaminan keamanan dalam menjalankan tugas peliputan di lapangan maupun kegiatan jurnalistik lainnya.

Menurutnya, pemerintah harus memberi perlindungan terhadap media dan pers sebagaimana diatur dalam Pasal 28F UUD Tahun 1945 yang intinya kebebasan pers merupakan hak asasi. Pasal 28F UUD Tahun 1945 tersebut menyebutkan, “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”

Meski begitu, Bamsoet begitu biasa disapa, mengingatkan kebebasan pers tetap harus memperhatikan etika dan keseimbangan isi berita. Dia mengingatkan agar insan pers dalam menyampaikan informasi, terlebih dahulu memverifikasi, mengecek ulang konten informasi sebelum dibagikan ke publik. Hal ini dimaksudkan agar tidak menimbulkan kesalahpahaman informasi maupun pemberitaan bohong di media massa. Sebab informasi masyarakat menjadi barang publik.

“Saya meminta pemerintah memperhatikan dan mendukung peran penting jurnalis yang bebas dan profesional dalam memproduksi dan menyebarkan suatu informasi,” ujarnya dalam peringatan Hari Kebebasan Pers Sedunia, Senin kemarin.

Mantan Ketua DPR periode 2014-2019 berharap pemerintah memberikan edukassi kepada pers agar dapat menangani kesalahpahaman informasi dari konten-konten berbahaya maupun konten hoaks. Sebab pers berperan membantu pemerintah dalah mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Politisi Partai Golkar itu pun tak lupa meminta pers agar dapat mendalami tiga fokus utama. Pertama, menempuh langkah dalam memastikan kelangsungan ekonomi media pemberitaan. Kedua, mekanisme dalam memastikan transparansi perusahaan berbasis internet. Ketiga, peningkatan literasi media dan informasi.

Dalam peluncuran Catatan AJI atas Situasi Kebebasan Pers Indonesia 2021, kekerasan terhadap jurnalis setahun terakhir atau periode Mei 2020 sampai Mei 2021 meningkat hingga mencapai 90 kasus, meningkat jauh dari periode tahun sebelumnya yakni sebanyak 57 kasus. Berdasarkan data yang dimiliki AJI, pelaku kekerasan mulai dari kalangan advokat, jaksa, pejabat, polisi, satuan polisi pamong praja/aparat Pemerintah Daerah (Pemda), hingga pihak tak dikenal.

Ketua Divisi Advokasi AJI, Erick Tanjung dalam “Peluncuran Catatan AJI atas Situasi Kebebasan Pers Indonesia 2021” secara daring, Senin (3/5/2021) kemarin, mengatakan sejumlah kasus kekerasan menjadi perhatian AJI dalam kurun setahun terakhir adalah jurnalis Tempo Nurhadi di Surabaya.

"Beliau dipukuli, penganiayaan, dan mendapatkan intimidasi saat melakukan peliputan untuk konfirmasi kepada salah satu mantan pejabat di Kemenkeu. Saat ini sudah naik ke tahap penyidikan di Polda Jatim, namun belum ada yang ditetapkan sebagai tersangka," ungkap Erick, seperti dilansir Antara.

AJI pun sudah melaporkan kasus penganiyaan terhadap Nurhadi itu kepada Propam Mabes Polri lantaran pelaku penganiayaan itu diduga dari aparat kepolisian terkait pelanggaran kode etik. Kemudian, AJI juga menyoroti vonis terhadap jurnalis Banjarhits.id/Kumparan di Kalimantan Selatan, Diananta Sumedi.

Dalam kesempatan itu, Erick menambahkan, indeks kebebasan pers di Indonesia masih dalam zona merah atau kondisi buruk. Hal itu berdasarkan hasil laporan Reporters Without Borders (RSF) tahun 2021. Disebutkan, indeks kebebasan pers di Indonesia berada di rangking 113 dari 180 negara. "Meski naik enam tingkat, namun RSF masih menempatkan kebebasan pers di Indonesia dalam zona merah atau buruk.” (ANT)

Tags:

Berita Terkait