Mempertanyakan Penerapan Keadilan Restoratif Berhati Nurani
Utama

Mempertanyakan Penerapan Keadilan Restoratif Berhati Nurani

Karena menerapkan keadilan restoratif berhati nurani membutuhkan mekanisme pengawasan termasuk mekanisme pengujian terhadap penggunaan asas oportunitas. Sebab, hati nurani bersifat subyektivitas penegak hukum.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit

Baginya, penerapan restorative justice prinsipnya harus didukung. Tapi, dalam menjalankan kewenangan ini dengan berhati nurani secara benar tanpa adanya konsep pengawasan bakal sulit. Sebab, hati nurani sangat subyektif. Dalam hukum pidana hati nurani boleh dibilang masuk dalam mens rea (niat jahat). “Ini bagaimana menjamin perbuatan dan perilaku jaksa itu profesional. Ini konsep abstrak, mengukurnya bagaimana. Jadi dalam konteks restorative justice, kalau korban tidak terima, bagaimana salurannya. Jadi dalam mediasinya diarahkan,” kata dia.

Dia menilai menerapkan konsep yang digagas Jaksa Agung masih memiliki pekerja rumah yang banyak. Seperti mengubah budaya kerja di Korps Adhiyaksa; bagaimana membentuk perilaku jaksa yang berhati nurani sebagaimana harapan Jaksa Agung guna menerapkan keadilan restoratif secara baik. “Ini dalam orasinya tidak ada. Apa itu hati nurani dan bagaimananya tidak terlihat dan sangat abstrak,” tegasnya.

Direktur Eksekutif Indonesia Judicial Research Society (IJRS) Dio Ashar Wicaksana mengapresiasi Kejaksaan secara institusi yang konsen terhadap penegakan hukum yang memastikan keadilan di masyarakat. Apalagi dengan diterbitkannya Perja 15/2020 agar perkara-perkara yang tidak perlu diproses pidana atau telah rampung masalahnya antara kedua belah pihak dapat dihentikan atas nama hukum.

Dio mengingatkan Kejaksaan memiliki asas oportunitas yakni jaksa agung dapat menentukan sebuah perkara dapat tidaknya untuk diproses lebih lanjut. Bahkan, perkara dapat dihentikan atas nama kepentingan umum. Kepentingan umum tersebut harus berdasarkan keadilan restoratif. Tapi, persoalannya asas oportunitas hanya berlaku terhadap wewenang Jaksa Agung. “Sedangkan di Belanda, asas tersebut dapat digunakan di semua penuntut umum,” ujarnya memberi contoh.

Menurut Dio, orasi ilmiah pengukuhan profesor Jaksa Agung Burhanuddin masih ada kekurangan yang tidak diulas tentang mekanisme uji kelayakan penghentian perkara berdasarkan asas oportunitas secara transparan dan akuntabel. Ini salah satu pekerjaan rumah dalam pembaharuan hukum acara pidana untuk mengaturnya lebih detil.

“Penerapan keadilan restoratif ini berdasarkan asas oportunitas harus dibahas secara proses peradilan menyeluruh. Agar ketika jaksa drop case atas dasar keadilan berhati nurani tersebut tetap dapat diuji, apakah sah atau tidak,” kata dia.

Sebaliknya bila tidak ada mekanisme pengujian penghentian perkara berdasarkan asas oportunitas tersebut, boleh jadi malah berpotensi terjadinya abuse kewenangan yang besar. Dio mengakui secara prinsip, gagasan keadilan restoratif berhati nurani yang digagas Burhanuddin dalam orasi pengukuhan profesornya cukup bagus. “Tetapi menjadi pekerjaan rumah untuk menurunkan aturan secara detail pembaruan hukum acara kita ke depannya, bagaimana?”

Tags:

Berita Terkait