Menakar Efektivitas Pembentukan Peraturan Turunan UU Cipta Kerja
Utama

Menakar Efektivitas Pembentukan Peraturan Turunan UU Cipta Kerja

Membentuk banyaknya peraturan turunan dalam UU Cipta Kerja dalam waktu 3 bulan dinilai sangat tidak realistis. Belum lagi, proses harmonisasi dalam pembentukan aturan turunan eksisting dari 76 UU terdampak. Meski meminta masukan masyarakat dalam pembuatan aturan turunan, tak ada jaminan masukan bakal diakomodir.

Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit

Belum lagi, kata peneliti Senior Pusat Studi Hukum Kebijakan (PSHK) Indonesia ini, proses harmonisasi juga menjadi tantangan besar dalam pembentukan/perubahan aturan turunan eksisting dari 76 UU terdampak. Mulai harmonisasi vertikal ke berbagai undang-undang terkait, maupun horisontal ke PP maupun Perpres yang bersinggungan. Bila prosedur tahapan proses tak dilakukan dengan baik, besar kemungkinan implementasinya di lapangan bakal terhambat

“Kementerian Hukum dan HAM yang memiliki tugas melakukan harmonisasi perlu menyiapkan prosesnya bisa berjalan dengan baik, termasuk melibatkan berbagai pihak dalam proses ini,” saran dia.  

Dia mengungkapkan sering terjadi macetnya proses pembahasan peraturan turunan UU. Salah satunya, tak ada kesepahaman atau masih adanya ego sektoral antar kementerian/lembaga dalam penyusunan aturan turunan UU berupa PP maupun Perpres. Karena itu,jangka waktu 3 bulan untuk membentuk PP dan Perpres UU Cipta Kerja terkesan memaksakan proses pembentukan peraturan. “Alhasil, ketiadaan partisipasi masyarakat bakal menjadi korbannya.”

Menurutnya, meski pemerintah bakal meminta masukan masyarakat dalam pembuatan aturan turunan, menjadi persoalan tak ada jaminan masukan bakal diakomodir. Sebab, keterlibatan atau partisipasi masyarakat dan diakomodirnya masukan masyarakat memang menjadi bagian tak terpisahkan dalam proses pembuatan UU sampai dengan aturan turunan guna memenuhi aspek formalitas semata.

Memungkinkan lebih ramping

Direktur Pusat Kebijakan Publik dan Hukum (Puskapkum) Ferdian Andi pendapat, dalam draf RUU versi 1.035, 905 halaman mengalami perubahan dalam versi 812 yang menjadi draf resmi UU Cipta Kerja. Dalam UU Cipta Kerja banyak menggunakan frasa “diatur dalam peraturan pemerintah” ketimbang “diatur dengan peraturan pemerintah”. Konsekuensi menggunakan frasa “dalam PP” memungkinkan banyak ketentuan diatur dalam satu ataupun Perpres.

“Kalau diatur menggunakan frasa ‘diatur dengan PP’, maka hanya mendelegasikan satu PP atau Perpres. Kalau dicek draf versi 812 lebih banyak menggunakan frasa ‘diatur dalam PP’. (Mungkin, red) Ada benarnya juga pernyataan Moeldoko,” ujarnya.

Dia menilai menggunakan frasa “diatur dalam PP” memungkinkan banyak ketentuan digabungkan dalam satu aturan turunan berupa PP, misalnya. Sehingga memungkinkan aturan turunan dari UU Cipta Kerja menjadi lebih ramping daripada rumusan draf awal RUU Cipta Kerja. Menurutnya, cara tersebut menjadi strategi perumus dan pembuat UU agar bisa mempercepat pembuatan aturan turunan.

Tags:

Berita Terkait