Menakertrans Ajak ASEAN Bentuk Standar K3
Berita

Menakertrans Ajak ASEAN Bentuk Standar K3

Persiapan menghadapi komunitas ASEAN Economic Community (AEC).

ADY
Bacaan 2 Menit

Mengacu hal tersebut Muhaimin meneilai penerapan K3 harus dilihat sebagai investasi SDM yang menentukan keberhasilan perusahaan. Selaras dengan itu mengingat peran pengawas yang penting dalam menjamin berjalannya K3 dengan baik, Muhaimin mengusulkan agar pengawas dikembalikan dalam sistem yang sentralistik. Sehingga seluruh aspek pengawasan di bidang ketenagakerjaan dapat optimal. Pasalnya, otonomi daerah menjadi salah satu kendala lemahnya kinerja pengawas ketenagakerjaan.

Atas dasar itu, Muhaimin berharap jika pengawas ketenagakerjaan menggunakan sistem yang sentralistik, akan mampu menciptakan penegakan hukum ketenagakerjaan yang indpenden dan terpadu. Mulai dari tingkat pusat sampai daerah.

Terpisah, Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI), Timboel Siregar, mengatakan masalah K3 sangat penting bukan hanya untuk pekerja di Indonesia, tapi juga seluruh dunia. Mengacu data lansiran Dewan K3 Nasional (DK3N) tahun 2007, Timboel melihat setiap tahun, terjadi 270 juta kecelakaan kerja di seluruh dunia. Dari jumlah itu sebanyak 160 juta pekerja menderita penyakit akibat kerja, 2,2 juta pekerja meninggal dan kerugian finansial akibat kecelakaan mencapai AS$1,25 triliun.

Sedangkan mengutip data ILO tahun 2008, Timboel mencatat kecelakaan kerja di Indonesia tergolong tinggi. Berdasarkan hasil survey ILO tahun 2008, Indonesia menempati peringkat kedua tertinggi dalam hal terjadinya kecelakaan kerja dari 53 negara di dunia. Sedangkan kecelakaan kerja di Indonesia sepanjang tahun 2007 tercatat lebih dari 65 ribu kasus dan mengakibatkan 1.451 pekerja meninggal, 5.326 cacat tetap, dan 58.697 sembuh tanpa cacat.

Timboel berpendapat tingginya angka kecelakaan kerja di Indonesia salah satunya disebabkan karena pengusaha memandang K3 sebagai beban. Pasalnya, pengusaha perlu mengeluarkan biaya agar kondisi kerja sesuai dengan ketentuan K3. Padahal, K3 perlu dilihat sebagai investasi bagi pengusaha karena hal itu berdampak positif bagi perusahaan. Pasalnya, ketika K3 terpenuhi, pekerja dapat bekerja dengan tenang, keselamatan dan kesehatannya terjamin sehingga meningkatkan produktivitas. Begitu pula dengan kesejahteraan pekerja dan keberlangsungan usaha.

Mengingat K3 sangat penting, Timboel menilai ajakan Menakertrans kepada negara anggota ASEAN untuk membentuk standar K3 cukup tepat. Tapi ajakan itu harus dimulai oleh Kemenakertrans dengan cara melakukan pembenahan dalam pelaksanaan K3 di lapangan. Misalnya, melakukan kampanye dan sosialisasi pentingnya K3 ke setiap perusahaan. Serta memperkuat kuantitas dan kualitas pengawas ketenagakerjaan.

“Pemerintah perlu menerbitkan regulasi yang mengharuskan pengusaha untuk mengalokasikan dana minimal 10 persen dari total anggaran tiap tahunnya untuk pencegahan kecelakaan kerja di tempat kerja,” kata Timboel kepada hukumonline lewat pesan singkat, Kamis (4/7).

Terkait lemahnya pengawas ketenagakerjaan, Timboel menilai hal itu kerap dikeluhkan Menakertrans. Padahal, masalah klasik itu dapat icari jalan keluarnya. Misalnya, Menakertrans dapat menerbitkan Kepmenakertrans yang melikuidasi mediator tingkat provinsi atau pusat. Sehingga, mediator itu dapat dialihkan menjadi pengawas ketenagakerjaan.

Bagi Timboel, hal itu selaras dengan UU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang menyatakan proses mediasi hanya ada di tingkat kabupaten/kota. Soal sentralisasi, Menakertrans dapat mengusulkan kepada Presiden SBY untuk menerbitkan Perppu yang khusus untuk menarik pengawas ketenagakerjaan kembali ke pusat.

Tags:

Berita Terkait