Menakertrans Perpanjang MoU Penempatan TKI ke Korsel
Berita

Menakertrans Perpanjang MoU Penempatan TKI ke Korsel

Perlindungan pekerja migran di Korsel ketimbang Malaysia dan Arab Saudi.

ADY
Bacaan 2 Menit
Menakertrans Perpanjang MoU Penempatan TKI ke Korsel
Hukumonline

Menakertrans Muhaimin Iskandar memperpanjang MoU dengan pemerintah Korea Selatan (Korsel) tentang penempatan pekerja migran Indonesia ke Korsel. Pelaksanaan MoU itu akan menggunakan skema Employment Permit System (EPS) dan G to G.

Lewat skema itu, diharapkan pekerja migran yang bekerja mendapat perlakuan dan hak yang sama sebagaimana pekerja Korsel sesuai peraturan ketenagakerjaan yang berlaku di Korsel. Muhaimin berpendapat MoU itu merupakan komitmen kedua negara untuk meningkatkan kerja sama di bidang ketenagakerjaan.

“Melalui kesepakatan MoU ini, kedua pemeritah berkomitmen untuk memperkuat kerjasama dalam melakukan upaya-upaya dalam meningkatkan perlindungan bagi TKI yang bekerja di Korea Selatan,”kata Muhaimin di Jakarta, Jumat (12/7).

MoU itu ditandatangani secara sirkuler yaitu setelah Menakertrans menandatangani di Jakarta, kemudan Menaker Korsel, Phang Ha Nam, meneken di Seoul, Korsel. Muhaimin mengatakan pemerintah mendesak pemerintah Korsel untuk menjamin perlindungan dan keselamatan pekerja migran Indonesia. Apalagi, kondisi di negara yang dijuluki negeri ginseng itu berpotensi terjadi perang antara Korsel dan Korut. Untungnya, dengan mekanisme EPS, semua pekerja asing yang berdokumen lengkap, punya hak yang setara dengan pekerja Korsel. Baik itu upah minimum, jam kerja, keselamatan dan kesehatan, serta asuransi.

Muhaimin menjelaskan, hubungan ketenagakerjaan Indonesia dan Korsel dimulai sejak 1994 lewat program pelatihan. Kemudian, tahun 2004 lewat MoU, dilakukan pengiriman pekerja migran ke Korsel dengan skema EPS dan G to G. Lalu perpanjangan MoU kedua dilakukan pada tahun 2008 dan yang ketiga tahun 2010. Kemenakertrans mencatat sejak 2007-Juli 2013, jumlah pekerja migran Indonesia yang dikirim ke Korsel mencapai 40,250 orang. Para pekerja bekerja di berbagai sektor seperti manufaktur, konstruksi, pertanian, perikanan dan jasa perbaikan.

Selaras dengan itu Muhaimin mengatakan peluang kerja di Korsel sangat terbuka karena setiap tahun kesempatan kerja yang ada mencapai 50 ribu. Namun, untuk meraih kesempatan itu, calon pekerja migran Indonesia harus mempersiapkan diri karena bakal bersaing dengan 15 negara lainnya. Seperti Vietnam, Filipina, Thailand, Mongolia, Sri Lanka, China, Uzbekistan, Pakistan, Kamboja, Bangladesh dan Timor Leste.

“Kita tetap optimis untuk terus meningkatkan jumlah TKI formal ke Korsel setiap tahun. TKI asal Indonesia memang mendapatkan prioritas kerja dari perusahaan-perusahan dan masyarakat Korsel. Kelebihannya selain rajin, disipilin dan cepat belajar juga terkenal ramah,” ujar Muhaimin.

Namun, Muhaimin mengingatkan kepada masyarakat yang tertarik untuk bekerja ke Korsel agar tidak terjebak pada modus penipuan. Apalagi sampai tidak berdokumen lengkap. Oleh karenanya, Muhaimin menekankan kepada jajarannya agar peluang kerja yang ada di Korsel harus segera ditindaklanjuti informasinya dan segera disebarkan kepada masyarakat. Sehingga, warga yang berminat bekerja di Korsel dapat mempersiapkan diri dengan baik.

Terpisah, Direktur Eksekutif Migrant Care, Anis Hidayah, mengakui kalau perlindungan pekerja migran yang bekerja di Korsel lebih baik ketimbang negara penempatan lain seperti Malaysia dan Arab Saudi. Tapi, hal itu memang disebabkan karena pekerja migran ditempatkan di sektor yang berbeda. Yaitu di bidang manufaktur atau pabrik-pabrik, sedangkan Arab Saudi dan Malaysia sektor domestik atau PRT. Namun, bukan berarti pengelolaan pekerja migran di Korsel bebas dari masalah.

Sebab Anis mencatat kerap terjadi kasus dimana para pekerja migran Indonesia yang berangkat ke Korsel tujuannya hanya pemberangkatan saja. Sesampainya di Korsel, ada pekerja migran yang berpindah majikan dengan usahanya sendiri. Pasalnya, beban kerja yang mereka terima jauh lebih berat ketimbang pekerja migran lain. Sayangnya, persoalan itu tidak pernah dibuka dan diselesaikan pemerintah dengan baik.

Mengingat skema kerja sama penempatan itu menggunakan sistem G to G, dimana pemerintah aktif melayani pengelolaan pekerja migran, bagi Anis hal itu patut dipraktikan di negara penempatan lainnya. Terutama untuk pekerja migran yang bekerja di sektor domestik. Pasalnya, selama ini, Anis menilai salah satu kekisruhan yang kerap terjadi dalam pengelolaan pekerja migran sektor domestik karena diserahkan ke pihak swasta atau PJTKI.

Alih-alih mengutamakan peningkatan kualitas dan keahlian calon pekerja migran, yang ada malah sebaliknya karena PJTKI lebih mengutamakan keuntungan. Atas dasar itu Anis mendesak pemerintah melakukan MoU dan menggunakan skema G to G untuk semua pengiriman pekerja migran Indonesia ke negara penempatan. “Pemerintah tidak boleh alergi sama pekerja migran sektor domestik,” tegasnya kepada hukumonline lewat telepon, Jumat (12/7).

Tags: