Menanti Perlawanan Kembali Direksi Semen Padang
Kolom

Menanti Perlawanan Kembali Direksi Semen Padang

Reformasi memberi banyak perubahan tingkah-polah masyarakat Indonesia. Dari semula pendiam menjadi begitu agresif. Tak terkecuali, sikap direksi yang berani menunjukkan perlawanannya terhadap pemegang saham. Kini, refomasi kembali melahirkan perseteruan, yakni antara Direksi PT Semen Padang (PTSP) dengan PT Semen Gresik (PTSG) selaku pemegang saham PTSP. Pokok sengketanya masalah kekuasaan tampuk kepemimpinan dalam pengelolaan PTSP.

Bacaan 2 Menit

 

Circular ini dimungkinkan dalam rangka untuk mengakomodasi kepraktisan praktek dunia bisnis. Pasalnya, begitu sulit mempertemukan pemegang saham dalam waktu dan tempat secara bersamaan. Namun, penggantian anggota anggota direksi dan/atau komisaris, UUPT tidak mengakomodasinya. Begitu besar UUPT melindungi nama baik direksi dan komisaris perseroan, hingga pemberhentiannya harus melalui RUPS(LB) yang memebrikan kesempatan untuk membela diri.

 

Kembali ke perseteruan antara Direksi PTSP dan PTSG (pemegang saham PTSP). Semestinya, perlawanan Direksi PTSP tidak berhenti setelah keputusan RUPSLB digelar dan berhasil memutuskan penggantian anggota Direksi dan Komisaris PTSP. Sejatinya, direksi dan komisaris lama PTSP mempunyai dua kesempatan untuk mempertahankan argumennya menolak alasan penggantian mereka oleh PTSG selaku pemegang saham yakni karena kinerja keuangan yang menurun.

 

Pertama, Direksi PTSP dapat melakukan pembelaan diri pada RUPSLB. Tentunya, disertai bukti dan alasan yang valid. UUPT memang memberikan wewenang kepada pemegang saham mengganti direksi dan komisaris yang ditunjuknya secara subjektif. Namun alasan kali ini, sesuatu yang dapat diukur secara akuntasi/ekonomi, yakni kinerja keuangan PTSP yang memburuk.

 

Mungkin, di RUPSLB ini Direksi dan Komisaris PTSP mengalami kesulitan untuk menolak alasan pemegang saham mayoritas (PTSG). Sebab, PTSG bertindak dalam dua kapasitas pada saat bersamaan yakni 'penggugat' dan sekaligus hakim. Selaku 'penggugat', menilai kinerja keuangan PTSP memburuk. Selaku hakim, PTSG berhak memutuskan apakah dapat menerima alasan/pembelaan Direksi dan Komisaris PTSP atau tidak. Padahal, PTSG sudah berpraduga yang kurang baik atas kinerja mereka, sehingga penilaiannya relatif tidak objektif.

 

Kedua, melalui pengadilan. Sejatinya, Direksi dan Komisaris lama PTSG lebih efektif melakukan perlawanan secara optimal atas keputusan RUPSLB justru lewat pengadilan. Di sinilah Direksi dan Komisaris PTSG lebih mendapatkan hakim yang relatif independen dan bebas dari subjektivitas, karena di luar pihak yang bersengketa.

 

Direksi dan Komisaris PTSP dapat memberikan bukti dan alasan bahwa tuduhan pemegang saham (PTSG) kepada pihaknya adalah tidak benar. Atau bisa juga beralasan bahwa kinerja keuangan PTSP menurun bukan akibat kesalahan Direksi dan Komisaris PTSP, tapi karena kebijakan pemerintah di sektor semen yang merugikan PTSP. Misalnya, PTSP dijadikan anak perusahaan PTSG. Akibatnya, mau tidak mau PTSP kurang bebas mengambil keputusan bisnis yang mungkin berseberangan atau bahkan merugikan PTSG selaku induk perusahaan.

 

Selanjutnya, pengadilan akan menilai keputusan PTSG mengganti Direksi dan Komisaris PTSP didasarkan alasan yang benar atau tidak. Tentu, putusan hakim ini akan bersejarah bagi dunia hukum perseroan di Indonesia dan bisa dijadikan landmark verdict atau preseden. Yakni, putusan yang dapat digunakan sebagai acuan bagi putusan hakim di masa yang akan datang.

Halaman Selanjutnya:
Tags: