Menata Kewenangan Pengawasan Perbankan
Kolom

Menata Kewenangan Pengawasan Perbankan

Merupakan langkah yang tepat jika kewenangan pengawasan ditata kembali dalam RUU Perubahan Ketiga UU BI dan dalam rancangan rencana penerbitan Perppu reformasi sistem keuangan.

Bacaan 5 Menit

Asas dari LPS yang terkandung dalam UU LPS adalah asas bail out karena secara historikal LPS lahir dari kewenangan pemberian likuiditas oleh BI yang dihapus. Dalam perkembangannya Dalam Putusan MK No 1/PUU-XVI/2018 saat ini LPS dapat melakukan tindakan hapus buku dan hapus tagihan kepada debitur bank selama berkaitan dengan kondisi krisis.

Perluasan kewenangan dan peran LPS tersebut nampak dari kewenangan hapus buku. Kewenangan hapus buku merupakan kewenangan administratif untuk menghapus buku pembiayaan yang mempunyai kualitas macet dari neraca sebesar kewajiban nasabah tanpa menghapus atau menghilangkan hak tagih kreditur kepada nasabah. Kewenangan lainnya yang diberikan Putusan MK No 1/PUU-XVI/2018 adalah kewenangan hapus tagih, yakni tindakan menghapus kewajiban nasabah yang tidak dapat diselesaikan untuk selamanya (dari hak tagih hingga menghapuskan).

Meskipun memberi perluasan kewenangan LPS namun Putusan MK No 1/PUU-XVI/2018 memberi batasan pada pelaksanaan kewenangan tersebut, yaitu hak hapus tagih dan hak hapus buku oleh LPS dapat dilaksanakan sepanjang berkaitan dengan keadaan krisis dengan mengacu pada Pasal 46 ayat (5) Undang-Undang Nomor 9 tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (UU PPKSK).

Berdasarkan perluasan kewenangan yang diberikan oleh Putusan MK No 1/PUU-XVI/2018 maka kewenangan LPS tidak saja bail out, tetapi juga bail in sebagaimana terlihat dalam perluasan kewenangan yang diberikan oleh Putusan MK tersebut. Sebagaimana diuraikan oleh Howard Davies (1994) menyatakan bahwa bail out selalu merugikan negara, “state guarantees the existence of individual bank can create incentives which encourage irresponsible behavior. The prize for taking excessive risk may –if thing go well –be excess return while, if thing turn out badly, the state step in and picks up the tab. This known as a one way bet”.

Berdasarkan perluasan kewenangan yang diberikan MK tersebut secara tidak langsung MK juga memberikan kewenangan pengawasan karena sebagaimana amar putusan MK yakni “…menghapus buku pembiayaan yang mempunyai kualitas macet dari neraca sebesar kewajiban nasabah tanpa menghapus atau menghilangkan hak tagih kreditur kepada nasabah…”diperlukan tindakan pengawasan atas kegiatan operasional perbankan. Selain itu dalam perannya sebagai lembaga penjamin simpanan diperlukan juga aktivitas pengawasan yang melekat pada kewenangannya. Dalam logika pengawasan tentu LPS harus memiliki kewenangan mengawasi bank yang dijamin oleh LPS.

OJK dalam hal ini sesuai UU No 21/2011 selain melakukan fungsi regulasi juga menjalankan fungsi pengawasan sebagaimana diamanatkan perubahan kedua UU BI. Dalam perkembangannya OJK dinilai tidak optimal dalam melakukan fungsi pengawasan, sebagaimana saat ini terjadi bahwa banyak terjadi kasus hukum baik bank, koperasi, fintech maupun asurasi yang saat ini berada dalam pengawasan OJK.

Jadi dalam hal ini merupakan langkah yang tepat jika kewenangan pengawasan ditata kembali dalam RUU Perubahan Ketiga UU BI dan dalam rancangan rencana penerbitan Perppu reformasi sistem keuangan. Jika merujuk Pada UU BI maka pada Pasal 8 huruf (c) UU BI mengandung dua kewenangan yakni kewenangan mengatur (sebagai regulator) dan kewenangan pengawasan. Secara hukum kedua kewenangan tersebut tidak boleh disatukan sebagaimana saat ini kedua kewenangan tersebut dimiliki oleh OJK, yakni sebagai regulator dan pengawas.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait