Mendesak, Dana Stabilisasi BBM Harus Dimuat APBN 2016
Berita

Mendesak, Dana Stabilisasi BBM Harus Dimuat APBN 2016

Pengaturan dana stabilisasi BBM bisa terpisah dari petroleum fund.

Oleh:
KAR
Bacaan 2 Menit
Marwan Batubara (kanan). Foto: SGP
Marwan Batubara (kanan). Foto: SGP

[Versi Bahasa Inggris]

Dalam kondisi perpolitikan Indonesia saat ini, dana stabilisasi harga bahan bakar minyak (BBM) dapat berperan sebagai dana pengganti subsidi Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Sebab, pemerintahan gamang menerapkan kebijakan harga BBM sesuai harga keekonomian yang telah ditetapkan sendiri, sesuai Perpres No.191 Tahun 2014. Hal ini membuat pemerintah memaksa Pertamina menjual BBM dalam kondisi merugi, karena takut menaikkan harga BBM.

Demikian diungkapkan oleh Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS), Marwan Batubara, di Jakarta Jumat (21/8). Oleh karena itu, Marwan menegaskan bahwa pemerintah dan DPR harus segera menerapkan kebijakan dana stabilisasi BBM. Ia pun meminta agar dana itu dialokasikan anggarannya dalam APBN 2016.

Lebih lanjut dirinya mengingatkan bahwa pencabutan subsidi BBM hanya layak diterapkan sepanjang pemerintah telah mampu menciptakan sistem subsidi langsung yang tepat sasaran. Namun, lanjutnya, besarnya subsidi yang dianggarkan di APBN dapat ditetapkan pada angka tertentu yang layak (fixed subsidy). Ia pun menilai, subsidi APBN tetap harus dianggarkan dalam APBN dan mekanismenya dijalankan melalui pemberlakuan dana stabilisasi BBM dalam UU APBN 2016.

“Untuk menjaga wibawa, pemerintah mungkin saja enggan menarik kebijakan Perpres No. 191 Tahun 2014 yang telah dikeluarkan. Akan tetapi, sikap yang tidak konsisten dan tidak ksatria ini dapat mengorbankan rakyat, BUMN dan kepentingan ketahanan energi nasional,” tandasnya.

Dia menambahkan, dana stabilisasi BBM itu bisa diambil dari petroleum fund (PF). Akan tetapi, keduanya dapat dijalankan secara terpisah. Hanya saja, harus ada payung hukum yang mengaturnya. Sebab, PF telah masuk dalam rumusan UU Migas baru yang sedang disusun.

“Makanya sebelum kebijakan diberlakukan, para pengambil kebijakan perlu mempertimbangkan dan menjelaskan ke publik beberapa hal. Misalnya, pemerintah perlu mendefinisikan dan membedakan dengan jelas tentang konsep petroleum fund dengan dana stabilisasi harga BBM, serta tujuan penerapan masing-masing,” tambahnya.

Secara global, PF digunakan untuk menjamin adanya disiplin fiskal, mencari cadangan migas baru, mensimulasi pengembangkan energi baru terbarukan (EBT), mengurangi ketergantungan pada pendapatan migas dan menciptakan mekanisme distribusi pendapatan migas secara adil dengan generasi mendatang. Terkait dengan hal itu, Marwan mengatakan bahwa untuk menerapkan PF, UU Migas baru juga perlu menetapkan lembaga baru sebagai pelaksana dan kuasa pengguna anggarannya.

Sementara itu, menurut Marwan, penerapan dana stabilisasi dapat diakomodasi dalam UU APBN yang dibahas setiap tahun dan kuasa penggunaan anggarannya adalah KESDM dan/atau Pertamina. Sebab, dana stabilisasi BBM diterapkan untuk menstabilisasi harga BBM dalam periode tertentu yang lebih panjang akibat fluktuasi harga minyak, termasuk menerapkan pajak BBM yang tinggi saat harga minyak rendah dan sebaliknya. Sedangkan PF bersifat jangka panjang berfungsi sebagai alat mencapai pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan dan berkeadilan bagi generasi mendatang.

"RUU APBN 2016 telah disampaikan Presiden ke DPR RI dan DPD RI, 14 Agustus 2015 lalu, akan ditetapkan menjadi UU APBN 2016. Sedangkan RUU Migas belum tentu ditetapkan pada 2015 dan harus menunggu lebih lama untuk pemberlakuan PP dan Permen ESDM di bawah UU Migas sebelum kebijakan PF atau dana stabilisasi BBM dijalankan," tuturnya.

Ia menyampaikan, jika harga minyak dunia mendadak naik dan kurs Rupiah terus menurun, rakyat akan menanggung beban kenaikan harga BBM. Selain itu, Pertamina juga akan menanggung kerugian karena belum tersedianya peraturan pelaksanaan PF.

Tags:

Berita Terkait