Mendorong Penguatan Perlindungan Harta Pihak Ketiga Beritikad Baik dalam Perkara Tipikor dan TPPU
Doktor Ilmu Hukum:

Mendorong Penguatan Perlindungan Harta Pihak Ketiga Beritikad Baik dalam Perkara Tipikor dan TPPU

Perlu beberapa regulasi untuk memberi perlindungan hukum terhadap pihak ketiga beritikad baik dalam kasus pidana korupsi dan TPPU, seperti rancangan KUHAP, peraturan MA, peraturan Jaksa Agung, dan peraturan Kepala Polri.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 7 Menit

Dalam sejumlah putusan perkara pidana korupsi, Patra melihat majelis hakim yang memeriksa dan memutus status harta kekayaan/harta benda dan uang yang sejak proses penyidikan disita oleh penyidik, dibekukan atau diblokir, dan baru dikembalikan kepada pemiliknya jika perkara sudah diputuskan (inkracht). Persoalannya, pihak ketiga yang harta kekayaannya disita tidak dapat menggunakan atau memanfaatkannya dalam waktu yang cukup lama.

Patra menghitung penyelesaian perkara pidana korupsi secara normatif memakan waktu 5 bulan di tingkat pertama; 3 bulan tingkat banding. Penyelesaian perkara lebih lama di tingkat kasasi karena butuh waktu sekitar 8 bulan. Belum lagi jika dihitung sejak tahap penyidikan, tentunya harta kekayaan atau uang yang disita akan lebih lama lagi. “Dalam konteks ini, analisis biaya, manfaat dalam teori ekonomi menjadi relevan untuk dipertimbangkan oleh penyidik saat memutuskan untuk melakukan upaya paksa (penyitaan, red) terhadap pihak ketiga,” ujarnya.

Dia mengakui secara normatif, Pasal 194 ayat (1) dan Pasal 46 ayat (2) KUHAP menjamin barang bukti atau benda yang disita dikembalikan kepada pihak yang paling berhak dalam putusan pengadilan. Namun, tidak ada upaya hukum bagi pihak ketiga yang beritikad baik untuk mempertahankan hak atas benda yang dirampas untuk negara dalam putusan pengadilan, kecuali upaya hukum keberatan dalam waktu paling lambat 2 bulan berdasarkan ketentuan Pasal 19 ayat (2) UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).  

“Terhadap penetapan hakim atas surat keberatan ini, sebagaimana diatur Pasal 19 ayat (5) UU Pemberantasan Tipikor dimungkinkan pemohon (pihak ketiga) dan penuntut umum mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA).”

Persoalan juga muncul dalam pemeriksaan di persidangan. Patra melihat ini terjadi karena absennya kewajiban penuntut umum menguraikan alasan dan dasar hukum barang-barang bukti berupa harta kekayaan disita, diblokir, dan/atau dibekukan. Di satu sisi, pengadilan melalui amarnya dapat memutuskan merampas barang bukti terkait dengan tindak pidana. Di sisi lain, pengadilan juga dapat memutus untuk tidak merampas barang bukti milik pihak ketiga yang terkait dengan tindak pidana meskipun UU memerintahkan untuk merampasnya.

Dalam disertasinya, Patra menjelaskan tindak pidana korupsi dan pencucian uang umumnya terkait harta kekayaan seseorang, tidak hanya pelakunya, tapi juga harta kekayaan pihak ketiga. Terdapat irisan hukum pidana korupsi dengan hukum pidana pencucian uang dalam konteks pihak ketiga ini. Dalam perspektif tindak pidana pencucian uang, pihak ketiga yang tidak beritikad baik dapat dituntut dengan Pasal 5 UU No.8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Patra menerangkan jika pihak ketiga terbukti tidak beritikad baik, yang bersangkutan dapat diproses hukum menjadi tersangka. Sebaliknya, jika terbukti ada itikad baik, yang bersangkutan harus dilindungi. Sesuai UU No.8 Tahun 2010, menurut Patra memberlakukan ketentuan sanksi pidana yang sama antara pelaku pembantu (medeplictige) dengan pelaku utama (dader) tindak pidana pencucian uang. Begitu juga pihak ketiga yang menerima hasil tindak pidana pencucian uang, dapat diminta pertanggungjawaban pidana.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait