Mengamandemen Konstitusi demi Menunda Pemilu Bentuk Abuse of Power
Terbaru

Mengamandemen Konstitusi demi Menunda Pemilu Bentuk Abuse of Power

Sebelum mengamandemen konstitusi, harus ditanyakan terlebih dahulu ke rakyat. Mengamandemen konstitusi demi memperpanjang jabatan, secara moral dan etika tidaklah tepat.

Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit
Arsul Sani. Foto: RES
Arsul Sani. Foto: RES

Polemik penundaan Pemilu terus bergulir. Kini, polemik tersebut bergeser ke arah amandemen UUD 1945 (Konstitusi) demi terlaksananya penundaan pemilu. Sebagian kalangan menilai, amandemen Konstitusi demi menunda Pemilu sebagai bentuk abuse of power alias penyalahgunaan kekuasaan.

“Jika hanya mengandalkan kekuasaan formal MPR untuk mengubah UUD 1945 , maka meski syarat Pasal 37 UUD bisa dipenuhi, menurut hemat saya ini kesan abuse of power oleh MPR tidak akan bisa dihindari,” ujar Wakil Ketua MPR Arsul Sani, di Jakarta, Selasa (1/3/2022).

Dia menegaskan, MPR secara kelembagaan secara formal belum membahas wacana penundaan Pemilu 2024. Kendatipun penundaan pemilu dapat dilakukan dengan mengamandemen UUD 1945 oleh MPR, tapi secara moral konstitusi tidaklah tepat. Bagi anggota Komisi III DPR itu, dalam mengamandemen konstitusi mesti didahului dengan bertanya kepada seluruh rakyat soal setuju tidaknya penundaan pemilu 2024 mendatang.

Menurutnya, mengamandemen UUD 1945 sesuai Pasal 37 tidaklah boleh hanya mengandalkan kekuasaan formal MPR. Karenanya menjadi penting berkonsultasi dengan rakyat mendengar masukan dan aspirasi. Sebab pemenang kedaulatan adalah rakyat sebagaimana dalam konstitusi.

“Menunda pemilu itu berarti menunda hak konstitusional pemegang kedaulatan untuk memilih para pengemban mandat yang akan melaksanakan kedaulatan tersebut untuk masa 5 tahun,” katanya.

Terpisah, anggota Komisi X DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP) Andreas Hugo Pareira berpendapat, usulan penundaan pemilu tidak memiliki dasar hukum maupun politik. Sebab secara yuridis, UUD 1945 mengatur pemilihan presiden untuk masa jabatan 5 tahun. Nah bila dilakukan penundaan pemilu memiliki beberapa konsekuensi.

Baca Juga:

Pertama, bakal terjadi kekosongan jabatan di semua jabatan yang dipilih oleh rakyat mulai presiden, gubernur, bupati, walikota se Indonesia maupun legislatif pusat, provinsi dan kabupaten, kota serta DPD. Kedua, harus mengamandemen UUD 1945 untuk menambah jabatan-jabatan yang dipilih oleh rakyat. Ketiga, presiden mengeluarkan dekrit untuk penambahan masa jabatan.

“Tetapi ini akan berakibat presiden melawan konstitusi, karena presiden disumpah untuk taat konstitusi,” katanya.

Keempat, secara politik penambahan masa waktu jabatan menjadi ironi setelah DPR melalui Komisi II bersama pemerintah telah memutuskan agenda tahapan-tahapan pemilu 2024. Menurutnya, di Komisi II berisi wakil-wakil partai. Termasuk partai yang pimpinannya mengusulkan penundaan pemilu.

“Ini kan menjadi aneh, akan menjadi pertanyaan masyarakat apakah ketika Komisi II memutuskan tahapan pemilu tidak diketahui para ketua umumnya?” katanya.

Kelima, alasan ekonomi pun tidak bisa dipertanggungjawabkan. Sebab, kata Andreas, dari tahun-tahun sebelumnya dan ke depan semua kalangan sedang berjuang dalam pemulihan ekonomi. Sementara kunci dari pemulihan ekonomi adalah kepastian regulasi politik. Dengan demikian, wacana penundaan pemilu dipandang berbahaya bagi kepastian regulasi politik yang berdampak terhadap pemulihan ekonomi.

“Presiden sendiri sudah jelas mengatakan taat konstitusi, dan tidak setuju dengan penambahan jabatan atau penundaan pemilu, sehingga janganlah menyandarkan penundaan pada presiden. Sudahlah, kita tutup wacana ini, dan fokus pada agenda pemulihan pandemi dan ekonomi,” katanya.

Baca Juga:

Terpisah, Direktur Solusi dan Advokasi Institut (SA Institut), Suparji Ahmad menilai penundaan pemilu bakal sulit dilakukan. Kendatipun terdapat tiga cara yang dimunculkan seperti amandemen UUD 1945, presiden mengeluarkan dekrit sebagai sebuah tindakan revolusioner, dan menciptakan konvensi ketatanegaraan (constitutional convention) yang dalam pelaksanaannya diterima dalam praktik penyelenggaraan negara, namun kesemuanya mesti menemui jalan berliku dan terjal.

Dia mengakui dari ketiga cara tersebut hanya mengamandemen konstitusi yang paling memungkinkan. Sebab mayoritas partai di parlemen pendukung pemerintah. Namun dia mengingatkan, sebuah aturan tetap harus mendapat legitimasi dari rakyat. “Jika dipaksakan bisa terjadi pro dan kontra melebihi penolakan terhadap UU Cipta Kerja dan RUU KUHP. Ini harus dipertimbangkan secara matang,” pungkasnya.

Sebelumnya, Wakil Ketua DPR Abdul Muhaimin Iskandar menerima pelaku UMKM, para pengusaha dan para analis ekonomi dari berbagai perbankan di ruang Delegasi DPR. Pasca mendengar masukan, Ketua Umum PKB itu mengusulkan penundaan Pemilu 2024 dua sampai tiga tahun secara terbuka. Dia beralasan penundaan agar momentum perbaikan ekonomi tidak hilang untuk mengganti stagnasi selama dua tahun masa pandemi.

Gayung bersambut. Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto masih terkesan malu-malu. Lain halnya dengan Wakil Ketua Umum Partai Golkar, Melchias Markus Mekeng menilai wacana perpanjangan masa jabatan presiden, bukan hal tabu untuk dibahas. Menurut dia, selagi prosesnya dilakukan secara konstitusional, menjadi sah. 

Menyusul sikap politik dari partai besar seperti PKB dan Golkar, Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan sepakat apabila Pemilu 2024 diundur. Dia menjelaskan lima alasan agar pemilu dapat diundur, salah satunya pandemi Covid-19 yang belum berakhir.

Tags:

Berita Terkait