Mengapa Mensos Diduga Korupsi Dana Bansos Tak Diancam Hukuman Mati?
Berita

Mengapa Mensos Diduga Korupsi Dana Bansos Tak Diancam Hukuman Mati?

Bila dilihat dari pasal yang disangkakan tidak ada ancaman hukuman mati.

Aji Prasetyo
Bacaan 5 Menit
Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Foto: RES
Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Foto: RES

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi menetapkan Menteri Sosial RI Juliari Peter Batubara sebaagai tersangka korupsi. Ia diduga menerima uang suap sebesar Rp17 miliar dari dua paket sembako Bantuan Sosial Covid-19 masing-masing sebesar Rp8,2 dan Rp8,8 miliar melalui Adi Wahyono selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) yang berasal dari pemilik PT Rajawali Parama Indonesia (RPI) Matheus Joko Santoso yang juga merupakan PPK.

Wacana hukuman mati pun mengemuka bagi para pelaku korupsi di tengah bencana Covid-19 ini termasuk menteri Juliari. Apalagi Ketua KPK Firli Bahuri pun membuka kemungkinan untuk itu. Menurutnya, KPK akan bekerja keras untuk mengetahui bagaimana mekanisme pengadaan barang dan jasa untuk bantuan sosial dan melihat ketentuan peraturan perundang-undangan khususnya Tipikor mengenai hukuman mati.

“Tentu nanti kita akan bekerja berdasarkan keterang saksi dan bukti apakah bisa masuk ke dalam pasal 2 UU 31 Tahun 1999. Saya kita kita masih memang bekerja keras untuk membuktikan ada-tidaknya tindak pidana yang merugikan uang negara sebagaimana dimaksud pasal 2 itu,” ujarnya dalam konferensi pers di Kantor KPK. (Baca Juga: Analisis KPK Pada Cakada: Dari Harta Rp674 Miliar Hingga Minus Rp3,5 Miliar)

Pertanyaannya apakah bisa para pelaku termasuk Mensos Juliari dijerat hukuman mati?

Jika dilihat dari aturan hukum yang disangkakan kepada menteri Juliari yaitu Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP, maka sulit untuk mengenakan hukuman mati kepada mensos selaku penerima.

Alasannya ancaman hukuman dari Pasal tersebut yaitu pidana penjara maksimal seumur hidup atau 20 tahun dan denda Rp1 miliar dan paling rendah 4 tahun pidana dan denda Rp300 juta. Berikut bunyi pasal dan ancaman hukumannya: (Baca Juga: Cerita Eks Pejabat MA Bertemu Nurhadi Jelang Buron)

Pasal 12 UU Tipikor menyatakan, Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah):

a. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;

b.    pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;

Sementara untuk pemberi suap, justu ancaman hukuman jauh lebih ringan yaitu pidana penjara maksimal selama 5 tahun denda Rp250 juta dan minimal Rp50 serta pidana penjara 1 tahun. Berikut bunyi pasal dan ancaman hukumannya:

Sementara untuk pidana hukuman mati ada pada Pasal 2 UU Pemberantasan Tipikor. Berikut bunyi pasal yang dimaksud:

1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar;

(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

‘Keadaan tertentu’ yang dimaksud adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi.

Selain itu jika dilihat dari Kepres Nomor 12 tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Covid-19 Sebagai Bencana Nasional yang ditetapkan pada 13 April 2020, diktum kesatu menyatakan bencana nonalam yang diakibatkan oleh penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) sebagai bencana nasional. Sementara keadaan tertentu yang tertera dalam pasal 2 ayat (2) UU Pemberantasan Tipikor yaitu penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi.

Firli Bahuri juga menyatakan untuk saat ini pihaknya akan fokus lebih dulu pada kasus suap tersebut. “Malam ini yang kita lakukan OTT ini adalah tindak pidana berupa penerimaan sesuatu oleh penyelenggara negara. Jadi itu dulu,” pungkasnya.

Pasal berbeda

Mantan Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengamini hal ini. Dalam akun twitternya yang telah dikonfirmasi Hukumonline, ia menulis di UU Pemberantasan Tipikor memang ada ancaman hukuman mati kepada para pelaku korupsi, namun hal itu berkaitan dengan kerugian keuangan negara yaitu Pasal 2 UU Pemberantasan Tipikor.

“Di UU, memang ada kondisi tertentu diancam hukuman mati. Tapi hanya korupsi kerugian negara (Pasal 2). Sedangkan OTT kemarin suap Bansos Covid-19. Jenis korupsi dan pasal yang berbeda,” terangnya.

Dan hingga kini, menurutnya, memang tidak ada satupun pelaku korupsi yang terkena hukuman mati walaupun perbuatan itu dilakukan pada saat bencana. Justru terkadang, menurut Febri, ancaman hukuman mati itu hanya slogan belaka yang menunjukkan seolah-olah ada komitmen kuat dalam pemberantasan korupsi.

Hukuman Mati ini sering muncul dalam 2 kondisi; 1. SLOGAN. Hal ini untuk menunjukan seolah-olah komitmen berantas korupsi. Padahal belum ada koruptor dihukum mati. Kalau narkotika banyak. Apakah efektif?; 2. Karena kemarahan dengan pejabat yang korup, yang rasanya tidak berkurang. “Sisanya, dalam perdebatan,” ujarnya.

Korupsi saat bencana

Dalam beberapa perkara, para pelaku korupsi yang berkaitan dengan bencana alam belum mendapat hukuman maksimal, atau lebih berat, sebagaimana dimaksudkan dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Contohnya pada perkara korupsi penyediaan air oleh Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) di daerah bencana yang ketika itu terjadi di wilayah Donggala, Palu, Sulawesi tengah akibat terjadinya tsunami.

Pada Desember 2018, KPK menggelar OTT terhadap delapan pejabat PUPR yang berkaitan dengan dugaan suap proyek pembangunan sistem penyediaan air minum (SPAM). Beberapa proyek pembangunan SPAM diketahui berada daerah bencana di Donggala, Palu, Sulawesi Tengah yang saat itu baru terkena bencana tsunami. 

Dari hasil penyidikan diperoleh sejumlah tersangka yaitu Anggiat Partunggul Nahot Simaremare, Kepala Satker SPAM Strategis/ PPK SPAM Lampung, Meina Woro Kustinah, PPK SPAM Katulampa, Teuku Moch Nazar, Kepala Satker SPAM Darurat, Donny Sofyan Arifin, PPK SPAM Toba-1 sebagai tersangka penerima. 

Ada pula Budi Suharto, Dirut PT WKE, Lily Sundarsih, Direktur PT WKE, Irene Irma, Direktur PT TSP, dan Yuliana Enganita Dibyo, Direktur PT TSP sebagai tersangka pemberi. Total uang suap yang diduga para pejabat Kementerian PUPR itu ialah Rp 5,3 miliar, AS$5 ribu dan Sin$22.100. Uang itu diduga merupakan bagian fee 10 persen dari total nilai proyek Rp429 miliar yang didapat oleh kedua perusahaan itu. 

Dalam proses penuntutan para tersangka tidak ada yang dituntut 10 tahun atau lebih. Anggiat misalnya yang terbukti menerima uang suap dengan total sekitar Rp5 miliar dituntut 8 tahun penjara, denda Rp400 juta subsider 4 bulan kurungan, sementara vonisnya 6 tahun denda Rp250 juta subsider 2 bulan kurungan. Meina dituntut 5,5 tahun penjara, denda Rp300 juta subsider 3 bulan kurungan dan vonisnya 4 tahun denda Rp200 juta subsider 2 bulan kurungan.

Nazar dituntut 8 tahun penjara, denda Rp500 juta subsider 4 bulan kurungan dan divonis 6 tahun penjara, denda Rp250 juta subsider 2 bulan kurungan. Sedangkan Donny dituntut 5,5 tahun denda Rp300 juta subsider 3 bulan kurungan dan divonis 4 tahun denda Rp200 juta subsider 2 bulan kurungan. Hukuman yang dijatuhkan hakim tingkat pertama itu pun masih dapat berubah, kecuali para pihak tidak mengajukan upaya hukum lanjutan.

 

Tags:

Berita Terkait