Mengenal Jenis Oligarki
Terbaru

Mengenal Jenis Oligarki

Berbeda dengan yang ada di negara eropa, di Indonesia layak disebut sebagai oligarki predatoris karena menggunakan berbagai cara. Mulai dari kekuasaan negara, kekerasan, bahkan menyamar sebagai masyarakat sipil.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Dosen HTN Fakultas Hukum UGM, Zainal Arifin Mochtar. Foto: RES
Dosen HTN Fakultas Hukum UGM, Zainal Arifin Mochtar. Foto: RES

Oligarki kerap disebut sebagai salah satu aktor yang terkait dengan berbagai hal seperti kerusakan lingkungan hidup, kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat, dan lainnya. Dosen Hukum Tata Negara (HTN) Fakultas Hukum (FH) Universitas Gadjah Mada (UGM) Zainal Arifin Mochtar, mengatakan banyak pandangan yang memposisikan sama antara elit dan oligarki. Padahal keduanya berbeda. Dia menjelaskan, setiap oligarki dipastikan elit. Sementara elite belum tentu oligarki.

Mengutip pemikiran ilmuwan politik Amerika Serikat (AS), Jeffrey A Winters, Zainal mengatakan oligarki punya tipe sederhana, dia punya industri untuk mempertahankan kekayaan. Mempertahankan penumpukan kekayaan pribadinya. Ada beberapa tipe oligarki misalnya ada yang saling berkompetisi, kolektif, dan sultanistik. Ada juga oligarki tipe sipil seperti di AS dan India.

“Semua tipe oligarki punya pola yang mirip yakni mencoba menguasai pemerintahan,” ujarnya Zainal dalam diskusi bertema ‘Oligarki, Sumber Daya Alam, Dan Ancamannya Terhadap Pemilu 2024’, Kamis (2/2/2023).

Baca juga:

Zainal mengatakan, memiliki kekuasaan oligarki berpotensi digunakan untuk merampas hak orang lain. Tapi ada juga oligarki yang jinak dan liar. Menurutnya, oligarki yang jinak  masih dapat dikendalikan melalui sistem, sepertihalnya di eropa barat. Setidaknya kalangan oligarki eropa biasanya didukung partai konservatif.

Berbedahalnya dengan oligarki yang ada di Indonesia tidaklah sesederhana seperti di eropa barat. Sebab di Indonesia tergolong oligarki predatoris. Dia menjelaskan, oligarki di Indonesia menggunakan berbagai cara. “Mulai dari kekuasaan negara, kekerasan, bahkan menyamar sebagai masyarakat sipil,” ujarnya.

Mantan Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) itu mengatakan, oligarki yang menyamar sebagai masyarakat sipil dapat dilihat dari agenda yang diusung seolah untuk kepentingan masyarakat. Tapi ternyata, memuat kepentingan oligarki. Sementara oligarki predatoris muncul di Indonesia karena demokrasi yang berkembang sejak reformasi belum memiliki pondasi kuat. Pasanya masih berkutat pada demokrasi prosedural.

“Demokrasi di Indonesia cenderung neo primordialisme dimana kandidat pemilu berasal dari lingkaran yang sama misalnya anak pejabat negara, elit, tokoh, dan lainnya,” ujarnya.

Direktur Eksekutif Kemitraan Laode M Syarif, menilai pengelolaan sumber daya alam di Indonesia tidak dilakukan secara berkelanjutan. Sumber daya alam (SDA) dikeruk sampai habis. Terlihat banyak kerusakan lingkungan di berbagai daerah. Ketiadaan langkah serius yang diambil pemerintah untuk mengatasi persoalan dalam pengelolaan SDA yang dampaknya rusaknya lingkungan hidup.

“Jadi 1 persen kelompok orang itu menguasai 50,3 persen seluruh kekayaan di Indonesia,”  imbunya.

Dia menilai, pemerintah melakukan pembiaran terhadap masalah pengelolaan SDA sehingga terjadi bencana. Begitu juga kasus korupsi yang terus berulang dari dulu sampai sekarang. Hasil penelitian KPK menunjuk angka 90 persen pemegang izin tambang tidak pernah melaporkan aktivitas penambangan secara baik. Misalnya, berapa banyak barang tambang yang diperoleh, apakah sesuai antara laporan dengan fakta di lapangan. Selain itu lebih dari 1.850 perusahaan yang mengantongi izin pertambangan tidak punya NPWP.

“Ini bagaimana mereka mau bayar pajak kalau tidak punya NPWP,” paparnya.

Wakil Ketua KPK periode 2015-2019 itu mengingatkan, dalam menjalankan bisnis termasuk di sektor SDA harus mengikuti ketentuan internasional. Misalnya panduan bisnis dan HAM PBB yang tertuang dalam UNGPs. Dalam panduan itu ada tanggungjawab negara untuk melindungi, bukan merusak. Korporasi bertanggungjawab melakukan penghormatan terhadap HAM. Ketika terjadi kesalahan, korban mendapat remedi yang cukup.

Tags:

Berita Terkait