Mengenal Kewajiban Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Perjanjian Bisnis
Utama

Mengenal Kewajiban Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Perjanjian Bisnis

Penggunaan bahasa asing dan/atau bahasa Inggris dapat digunakan dalam perjanjian bisnis dengan kondisi tertentu.

Mochammad Januar Rizki
Bacaan 3 Menit
Webinar Hukumonline Praktik Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Kontrak Komersial. Foto: HOL
Webinar Hukumonline Praktik Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Kontrak Komersial. Foto: HOL

Masyarakat perlu menyadari penggunaan bahasa Indonesia dalam kegiatan pemerintahan hingga bisnis sudah menjadi kewajiban. Ketentuan tersebut diatur dalam Undang Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara dan diperkuat dalam Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2019 tentang Penggunaan Bahasa. Sehingga, posisi bahasa Indonesia lebih diutamakan dibanding bahasa asing lainnya, khususnya dalam perjanjian bisnis.

Ketentuan mengenai kewajiban penggunaan bahasa Indonesia pada perjanjian bisnis tercantum pada pasal 31 UU 24/2009 dan pasal 26 Ayat 1 Perpres 63/2019. Kedua pasal tersebut memuat redaksi serupa dengan bunyi “bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia, atau perseorangan warga negara Indonesia”.

Lantas, apakah perjanjian-perjanjian lintas batas yang melibatkan pihak-pihak asing maupun badan hukum asing atau penanaman modal asing (PMA) saat bertransaksi di Indonesia tetap diwajibkan menggunakan Bahasa Indonesia? Penggunaan bahasa asing dan/atau bahasa Inggris dapat digunakan dalam perjanjian bisnis dengan kondisi tertentu. Hal ini mengacu pada pasal 26 ayat 2 Perpres 63/2019 menyatakan setiap perjanjian bisnis yang melibatkan pihak asing ditulis juga dalam bahasa nasional pihak asing tersebut dan/atau bahasa Inggris.

Kata “juga” dalam pasal tersebut menandakan bahwa perjanjian bisnis yang melibatkan pihak asing dapat menggunakan bahasa nasional pihak asing tersebut dan/atau bahasa Inggris. Penggunaan bahasa nasional pihak asing dan/atau bahasa Inggris pada ayat (2) tersebut sebagai padanan atau terjemahan perjanjian bisnis bahasa Indonesia untuk menyamakan pemahaman nota kesepahaman atau perjanjian dengan pihak asing.

Lalu, saat terjadi perbedaan penafsiran, para pihak mengacu pada perjanjian yang mana? Ayat (4) pasal tersebut menyatakan dalam hal terjadi perbedaan penafsiran terhadap padanan atau terjemahan maka bahasa yang digunakan ialah bahasa yang disepakati dalam nota kesepahaman atau perjanjian. (Baca: Perpres Penggunaan Bahasa Indonesia Dinilai Hambat Investasi)

“Kalau kontrak itu ada pihak asingnya seperti loan agreement dari kreditur luar negeri ke debitur Indonesia tentu saja mereka lebih nyaman untuk menandatangani perjanjian di bahasa yang mereka mengerti. Sehingga, diperbolehkan dengan sangat jelas, perjanjian ini dibuat dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Kalau terjadi inkonsistensi yang berlaku bahasa Inggris,” jelas Partner dari Kantor Hukum Hadiputranto Hadinoto & Partners (HHP Law Firm) dalam webinar Hukumonline dengan topik "Praktik Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Kontrak Komersial", Selasa (22/9).

Indri melanjutkan penggunaan dua bahasa ini ditujukan untuk pihak asing dalam perjanjian bisnis. Sedangkan, bagi badan hukum penanaman modal asing (PMA), Indri menjelaskan aturan penggunaan dua bahasa tidak dijelaskan. Dia menyarankan penggunaan dua bahasa diterapkan namun saat terjadi perbedaan penafsiran mengacu pada perjanjian berbahasa Indonesia.

Selain itu, Indri menjelaskan perjanjian dua bahasa tersebut memiliki posisi sejajar. Sehingga, perlakuan perjanjian dua bahasa tersebut harus sama seperti penandatanganan para pihak dalam waktu bersamaan. Sehingga, pengerjaan perjanjian tersebut dilakukan secara bersamaan.

Dia juga menjelaskan terdapat tantangan dalam perjanjian dua bahasa ini karena terdapat istilah-istilah teknis yang tidak dimiliki salah satu bahasa. Salah satu contoh yang dikatakan Indri yaitu perjanjian bisnis konstruksi. Sehingga, Indri mengatakan para pihak tersebut harus membuat secara detail terjemahan setiap perjanjian tersebut. Dia juga mengimbau agar hati-hati menerjemahkan perjanjian menggunakan penerjemahan di internet karena ada risiko kekeliruan bahasa.

“Kadang istilah teknis pun padanan bahasanya tidak ada. Mau tidak mau tanpa risiko, kami terjemahkan sampai judul pada halaman lampiran meskipun masih belum akurat karena keterbatasan bahasanya. Sehingga, kami lebih konservatif,”jelas Indri.

Meski demikian, tidak terdapat sanksi dan pembatalan perjanjian saat tidak terpenuhinya UU 24/2009 dan Perpres 63/2019. Namun, Partner HHP Law Firm, Andi Kadir mengatakan terdapat kasus hukum penuntutan pembatalan perjanjian atau dokumen dengan alasan tidak terpenuhinya perundang-undangan.

Kasus gugatan tersebut seperti perjanjian kredit, jual beli, sewa-menyewa, keputusan direksi, perjanjian yang diatur hukum luar negeri dan gugatan untuk tidak melaksanakan keputusan arbitrase. “Kami melihat kelalaian dalam UU 24/2009 itu dipergunakan basis untuk mengajukan gugatan yang variatif,” jelas Andi.

Untuk itu, Andi juga mengimbau agar para pihak membuat perjanjian dengan dua bahasa sebagai pencegahan terjadinya persengketaan. Hal ini mempertimbangkan putusan pengadilan yang membatalkan perjanjian dalam bahasa Inggris dan melanggar UU 24/2009. Lalu, dia juga mengatakan terdapat kasus perjanjian yang bertentangan UU 24/2009 membatalkan putusan arbitrase.

Tags:

Berita Terkait