Mengenali Modus ‘Permainan’ Mafia Tanah
Utama

Mengenali Modus ‘Permainan’ Mafia Tanah

Seperti pemalsuan dokumen (alas hak), pendudukan secara ilegal atau tanpa hak (wilde occupatie), mencari legalitas di pengadilan, pemalsuan kuasa pengurusan hak atas tanah, hingga hilangnya warkah tanah.

Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Maraknya sengketa pertanahan di pengadilan biasanya tak luput dari peran mafia tanah. Alhasil, masyarakat yang menjadi korban harus berjuang keras mempertahankan hak atas tanahnya di pengadilan. Untuk itu, penting bagi masyarakat mengetahui dan mengenali beragam aksi modus mafia tanah yang digunakan untuk mengelabui korban.

Direktur Pencegahan dan Penanganan Konflik Pertanahan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Daniel Adityajaya mengatakan ulah mafia tanah di Indonesia memang sangat meresahkan dan merugikan secara materi masyarakat yang menjadi korban.

“Kementerian ATR/BPN sebagai lembaga yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang agraria/pertanahan dan tata ruang, mengimbau agar masyarakat waspada dengan modus yang digunakan oleh mafia tanah,” ujar Daniel Adityajaya melalui keterangan tertulisnya, Rabu (21/7/2021). (Baca Juga: Tips Hukum Menangani Perkara Sengketa Tanah)

Daniel menerangkan teknik dan cara yang digunakan para pelaku mafia tanah terus mengalami perkembangan untuk mengelabui korban. Modus yang paling lazim yang perlu diketahui masyarakat yakni pemalsuan dokumen (alas hak). Kemudian pendudukan (penguasaan fisik, red) secara ilegal atau tanpa hak (wilde occupatie).

“Kasus pemalsuan dokumen terkait tanah, seperti eigendom, girik, Surat Keterangan Tanah (SKT), SK Redistribusi Tanah, serta tanda tangan Surat Ukur.”

Selain itu, modus mencari legalitas di pengadilan. Para mafia tanah tak sedikit menggunakan strategi mencari legalitas di pengadilan. Bila cara mendapat legalitas di pengadilan dikabulkan, sama halnya merampas hak tanah dengan cara legal. Selanjutnya, kejahatan berupa penggelapan dan penipuan, modus pemalsuan kuasa pengurusan hak atas tanah, hilangnya warkah tanah.

Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN No.3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, menyebut warkah adalah dokumen yang merupakan alat pembuktian data fisik dan data yuridis bidang tanah yang telah dipergunakan sebagai dasar pendaftaran bidang tanah tersebut.

Menurutnya, kasus yang terjadi dalam praktik, mafia tanah dengan cara memprovokasi masyarakat. Seperti petani atau penggarap tanah agar mengokupasi atau mengusahakan tanah secara ilegal di atas perkebunan berstatus Hak Guna (HGU) yang bakal berakhir maupun yang masih berlaku.

Lebih lanjut Daniel menilai cara yang digunakan mafia tanah agar terhindar dari persoalan sengketa tanah dan konflik dengan tetap melanggar hukum dilakukan oleh sekelompok orang secara terencana dan sistematis. Para mafia tanah memiliki keahlian tersendiri untuk mengelabui korban. Menurutnya, faktor terjadinya mafia tanah disebabkan beberapa hal yakni tanah tidak dapat diperbaharui, tanah memiliki nilai ekonomis yang tinggi, dan tanah sangat dibutuhkan masyarakat.

“Faktor-faktor itulah memunculkan keinginan pihak lain untuk menguasai secara tidak bertanggung jawab dengan cara melanggar hukum,” lanjutnya.   

Merespon hal tersebut, Kementerian ATR/BPN menggandeng lembaga terkait untuk memberantas mafia tanah, seperti pihak Kepolisian RI dan Kejaksaan Agung melalui nota kesepahamanan. Selain itu Kementerian ATR/BPN membentuk Satuan Tugas (Satgas) Anti Mafia Tanah dalam upaya untuk menumpas mafia tanah yang ada di Indonesia. “Hal ini tentunya menjadi concern utama bagi Kementerian ATR/BPN,” katanya.

Modus lain

Sebelumnya, dalam IG Live Klinik Hukumonline, Jumat (7/5/2021), Founder Wardaniman Larosa & Partners (WLP) Law Firm, Wardaniman Larosa mengatakan sengketa tanah yang berujung kasus pidana biasanya melibatkan mafia tanah. Keberadaan mafia tanah ini bukan hal baru dalam perkara pidana pertanahan. Dalam melakukan kejahatannya, mafia tanah melakukan beragam modus operandi dan melibatkan pihak-pihak yang memiliki kewenangan dalam pengurusan sertifikat tanah.

Dia menyebut sejumlah modus operandi yang dilakukan mafia tanah. Pertama, seolah-olah menjadi pembeli dan meminjam sertifikat tanah dengan alasan pengecekan ke BPN. Saat sertifikat sudah diperoleh, mafia tanah memalsukan sertifikat, menjual tanah tanpa sepengetahuan pemilik dengan melibatkan oknum-oknum yang memang sudah disiapkan. Untuk menghindari hal ini, Wardan mengingatkan untuk tidak memberikan sertifikat kepada pihak lain, terutama pihak-pihak yang tidak dikenal.

Kedua, modus kepemilikan girik. Dalam satu kasus, kata Warda, terdapat kasus yang cukup menarik di mana sertifikat bisa dikalahkan oleh girik. Padahal, pemilik tanah memiliki sertifikat yang dikeluarkan lima tahun lebih awal (1975) daripada klaim kepemilikan girik (1980). Saat proses di pengadilan, PN menolak mengabulkan gugatan pemohon, namun PTUN mengabulkan dan memerintahkan kantor pertanahan untuk membatalkan sertifikat yang diterbitkan tahun 1975. Untungnya, di tingkat kasasi, MA membatalkan putusan PTUN tersebut.

“Ini sertifikat bisa dikalahkan oleh girik. Tapi, putusan MA kemudian memenangkan kita dan putusan cukup bagus seperti ini modus-modus yang coba dilakukan para mafia tanah,” bebernya.

Ketiga, dengan melibatkan broker dan oknum notaris. Pada beberapa kasus, penjualan tanah dilakukan oleh broker. Pihak broker melakukan penipuan dengan memanfaatkan kondisi fisik pemilik sertifikat tanah karena faktor usia untuk memainkan harga jual tanah. Ketidaktelitian dan ketidakpahaman pemilik sertifikat dijadikan alat oleh broker untuk menjalankan modusnya dimana harga penjualan tanah pada AJB tidak sesuai dengan jumlah dana yang diserahkan kepada pemilik sertifikat tanah. Kasus semacam ini biasanya melibatkan oknum notaris.

“Ini terjadi ketika korban rata-rata orang tua. Orang tua yang sudah berumur tidak mungkin memahami harga pasaran, tidak terlalu begitu memperhatikan surat-surat, sering lupa ingat. Dalam satu kasus ada broker yang berhasil menjual tanah seharga Rp32 miliar, tapi yang diserahkan kepada pemilik sertifikat hanya Rp16 miliar. Di sini peran notaris dalam konteks jual beli patut diduga bermain dan ini modus-modus yang sering kami temukan,” bebernya.

Wardan mengingatkan agar menghindari mafia tanah dengan meminta semua pihak memastikan sertifikat tanah yang mereka miliki adalah asli dan real. Hal ini mengingat kerja mafia tanah tersistematik, serta terencana dan berkelompok pada lapisan pejabat yang berwenang menangani sertifikat tanah.

Kemudian, pemilik sertifikat agar tak sembarang memberikan dokumen pribadi seperti KTP, NPWP, dan sertifikat tanah itu sendiri. Sebab, pemalsuan dokumen seperti itu bukanlah hal sulit yang dilakukan oleh mafia tanah. Jika ingin melakukan jual beli tanah, wajib melakukan validasi notaris. Sebaiknya menggunakan notaris yang memiliki rekam jejak dan reputasi baik.

“Saran saya jangan memberikan kesempatan kepada sembarang orang untuk mengakses dokumen legal. Selama ini modus-modus seperti ini bisa lolos karena ada oknum yang bermain,” katanya. 

Tags:

Berita Terkait