Mengenalkan Wajah Hukum Perburuhan
Edisi Lebaran 2011:

Mengenalkan Wajah Hukum Perburuhan

Buku Iman Soepomo dianggap sudah tak update lagi. Buku lain terjebak hanya pada pembahasan peraturan.

IHW
Bacaan 2 Menit

 

“Saya juga menggunakan Pancawarna-nya Iman Soepomo sebagai sistematika buku yang saya buat bersama rekan saya. Tapi saya juga mencantumkan kasus dan komentar atas Pancawarna itu sehingga lebih hidup konteks hukum perburuhannya,” aku Surya yang menyunting buku Makin Terang Bagi Kami Belajar Hukum Perburuhan, yang diterbitkan oleh Pusat Studi dan Advokasi Hak-hak Serikat Buruh (Trade Union Right Centre, TURC) pada 2006. Surya juga adalah Direktur Eksekutif di lembaga itu.  

 

Harus Disesuaikan

Meski pernah mendominasi dan mempengaruhi literatur hukum perburuhan di Indonesia, Surya berharap para akademisi dan penulis lain tak lagi menelan mentah-mentah materi buku Iman Soepomo. Sebab, sudah banyak peraturan yang berubah yang belum dicantumkan oleh Iman Soepomo. Belum lagi banyak isu-isu aktual yang belum tercakup dalam buku itu.

 

“Menurut saya, sah-sah saja jika ingin menjadikan buku Iman Soepomo sebagai studi pengantar hukum perburuhan. Tapi seiring perkembangan, banyak yang berubah dari buku itu. Belum lagi ada beberapa isu yang belum tercover dalam buku itu, seperti tentang isu Jaminan Sosial, Pekerja Rumah Tangga dan perlindungan buruh migran. Jadi kalau mensakralkan buku ini sebagai referensi satu-satunya, saya kira malah menghina Prof Iman Soepomo.”

 

Setelah tahun 2000-an, masih menurut Surya, banyak bermunculan buku teks hukum perburuhan yang dibuat oleh penulis lain. Isinya pun sudah disesuaikan dengan peraturan terbaru seperti UU No 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja, UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan UU No 2 Tahun 2004.

 

Sayang, buku-buku baru itu dinilai terjebak dalam teks karena hanya menguraikan isi pasal demi pasal. Padahal banyak realitas dunia perburuhan yang tak bisa terjawab dengan bunyi pasal-pasal itu.

 

“Ambil contoh soal definisi pekerja. Buku-buku ini hanya membicarakan pekerja formal yang jumlahnya hanya 30 persen dari angkatan kerja. Artinya, 70 persen pekerja informal tidak dilindungi oleh hukum perburuhan. Ini tidak pernah dibahas di buku, tapi ini adalah fakta di masyarakat.”

 

Ironisnya lagi, di kampus, mata kuliah hukum perburuhan semakin terpinggirkan. Sejak sekira tahun 2004 mata kuliah ini tak lagi jadi mata kuliah wajib. Alasannya sepele. Karena pada saat pertemuan para dekan fakultas hukum perguruan tinggi negeri membahas kuruikulum, tidak ada dekan yang peduli dengan mata kuliah hukum perburuhan. “Sebab, tidak ada dekan yang punya latar belakang hukum perburuhan,” tutur Surya.

Halaman Selanjutnya:
Tags: