'Menggugat' Aturan Harus Seagama antara Calon Orang Tua dengan Anak Adopsi
Terbaru

'Menggugat' Aturan Harus Seagama antara Calon Orang Tua dengan Anak Adopsi

Permohonan uji materiil ini teregistrasi dengan perkara No.83/PUU-XX/2022 yang diajukan oleh Leonardo Siahaan. Pemohon merasa hak konstitusionalnya potensial dirugikan oleh ketentuan tersebut jika sudah memiliki keluarga lalu berkeinginan mengadopsi anak.

Oleh:
Ferinda K Fachri
Bacaan 2 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES

Ketentuan calon orang tua angkat seagama dengan calon anak angkat yang tertuang dalam Pasal 39 ayat (3) UU No.35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU Perlindungan Anak) “digugat” ke Mahkamah Konstitusi (MK). Permohonan uji materiil ini teregistrasi dengan perkara No. 83/PUU-XX/2022 yang diajukan oleh Leonardo Siahaan.

“Pemohon merasa hak konstitusionalnya potensial dirugikan oleh ketentuan tersebut. Apabila Pemohon sudah memiliki keluarga lalu berkeinginan mengadopsi anak, Pemohon tidak bisa melakukan adopsi anak karena terbentur permasalahan beda agama yang secara persyaratan formal dilarang,” ujar Leonardo dalam persidangan, Rabu (7/9/2022), sebagaimana dikutip dari situs resmi MK.

Ia memandang ketentuan Pasal 39 ayat (3) UU Perlindungan Anak yang berbunyi, “calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat”, sudah melanggar kaidah hukum ‘setiap orang berhak membentuk dan melanjutkan keturunan’. Untuk itu, pemohon menilai Pasal 39 ayat (3) UU Perlindungan Anak bertentangan dengan Pasal 28B dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Mengingat, pengadopsian anak atau mengangkat anak adalah kebutuhan sejumlah pasangan suami istri yang belum mampu memiliki anak sendiri. Alasan lainnya seperti pengadopsian dari keluarga tidak mampu, keprihatinan atas krisis penelataran anak, hingga pertumbuhan pesat anak yatim piatu.

“Menjadi permasalahan hukum atau dapat dikatakan menjadi suatu hal yang aneh apabila pengangkatan anak diutamakan melihat seagama dengan calon orang tua angkat. Hal ini dapat menjadi hambatan bagi siapapun yang secara mulia peduli terhadap anak-anak terlantar, anak-anak yatim piatu. Sementara calon orang tua angkat tersebut tidak peduli apa agama yang dianut si anak,” lanjutnya.

Menelisik dari tujuannya, pengangkatan anak dilakukan agar memberi kepentingan terbaik mewujudkan kesejahteraan dan perlindungan anak angkat. Karena itu, pemohon menilai seharusnya perbedaan agama antara calon orang tua angkat dengan calon anak angkat tidak dijadikan masalah.

Menurut pemohon, ketentuan ini tidak sesuai bila diukur dengan parameter perlindungan anak terkait pendidikan, kesehatan, hak sosial, perlindungan khusus, perlindungan atas sandang, pemukiman, dan hukum. Semua itu menjadi tidak sesuai jika terdapat syarat ‘harus seagama’. Dengan demikian, dalam petitumnya Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 39 ayat (3) UU Perlindungan Anak bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan mengikat.

“Ini nanti bagian legal standing harus dinyatakan dengan jelas dan dibuktikan dengan bukti. Kalau begitu buktinya adalah KTP karena menyangkut legal standing. Kalau legal standingnya tidak jelas, MK tidak akan mempertimbangkan. Pemohon harus mampu membuktikan letak kerugian konstitusional dengan berlakunya Pasal 39 ayat (3) UU Perlindungan Anak. Hal ini pun harus dicantumkan dalam legal standing,” ujar Hakim Konstitusi Arief Hidayat dalam tanggapannya terhadap permohonan pemohon.

Pasalnya, jika tidak didapati hal yang merujuk pada kerugian pemohon baik kerugian aktual ataupun potensial maka Pemohon tidak memiliki legal standing dalam mengajukan permohonan ini. Senada, Hakim Konstitusi Saldi Isra juga menyampaikan dirinya belum melihat adanya kerugian

Tags:

Berita Terkait