Hakim Rencanakan "Mogok Kerja", IKAHI Tak Larang dengan Catatan
Utama

Hakim Rencanakan "Mogok Kerja", IKAHI Tak Larang dengan Catatan

Digerakkan kalangan hakim muda. Berharap tuntutan kewajiban hakim untuk profesional dan memberikan putusan yang adil diimbangi pemenuhan hak yang pantas.

Normand Edwin Elnizar
Bacaan 4 Menit
Mahkamah Agung. Foto: RES
Mahkamah Agung. Foto: RES

Ribuan hakim di Indonesia akan menggelar Gerakan Cuti Bersama Hakim se-Indonesia pada 7—11 Oktober 2024 bulan depan. Aksi lima hari kerja ini semacam mogok kerja meski prosedurnya menggunakan hak cuti dengan persetujuan pimpinan pengadilan masing-masing. Ketua Umum Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI), Hakim Agung Yasardin mengonfirmasi aksi ini bukan atas prakarsa IKAHI.

“IKAHI tidak melarang karena itu memang aspirasi murni, apalagi menggunakan hak cuti. Silakan pada pimpinan pengadilan masing-masing untuk persoalan cutinya, kewenangan pimpinan mereka,” kata Ketua Kamar Agama Mahkamah Agung Republik Indonesia ini kepada Hukumonline, Kamis (26/09/2024).

Baca juga:

Informasi aksi Gerakan Cuti Bersama Hakim se-Indonesia beredar dalam rilis pers atas nama Solidaritas Hakim Indonesia. Tertera nama tiga orang hakim sebagai kontak informasi juru bicara yaitu Fauzan Arrasyid, Aulia Ali Reza, dan Isna Latifa.

Aulia Ali Reza sebagai salah satu kontak informasi juru bicara mengonfirmasi kebenaran rilis itu. Hakim Pengadilan Negeri Lubuk Sikaping ini memastikannya sebagai inisiatif independen hakim-hakim muda lintas lingkungan peradilan. “Gerakan ini adalah perwujudan komitmen bersama seluruh hakim untuk memperjuangkan kesejahteraan, independensi, dan kehormatan lembaga peradilan di Indonesia,” demikian tertulis dalam pembuka rilis gerakan Solidaritas Hakim Indonesia yang Hukumonline terima.

Latar belakang aksi cuti bersama ini adalah masalah gaji dan tunjangan hakim yang belum ditingkatkan selama 12 tahun belakangan. Penghasilan profesi hakim yang ditetapkan 12 tahun lalu menjadi sangat berbeda nilainya dibandingkan dengan dinamika inflasi serta lonjakan harga kebutuhan hidup.

“Tanpa kesejahteraan yang memadai, hakim bisa saja rentan terhadap praktik korupsi karena penghasilan mereka tidak mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari,” demikian ditegaskan oleh rilis Gerakan Solidaritas Hakim Indonesia.

Tags:

Berita Terkait