Mengkritik Demi Kepentingan Publik dan Kelestarian Lingkungan Dapatkah Dipidana?
Utama

Mengkritik Demi Kepentingan Publik dan Kelestarian Lingkungan Dapatkah Dipidana?

Pasal 310 ayat (3) KUHP yang menyebutkan menista/menghina untuk kepentingan umum tidak dapat dipidana. Sedangkan Pasal 66 UU PPLH menegaskan setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan yang baik dan sehat tidak dapat dituntut pidana atau digugat secara perdata.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi berita bohong
Ilustrasi berita bohong

Setelah Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi (Menko Maves) Luhut Binsar Panjaitan (LBP) melapor ke Polda Metro Jaya, Rabu (22/9/2021) kemarin, nama Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti menjadi sorotan. Luhut dan pengacaranya melaporkan keduanya lantaran diduga telah mencemarkan nama baiknya, fitnah terkait laporan sejumlah organisasi masyarakat sipil termasuk KontraS tentang bisnis para pejabat atau purnawirawan TNI di balik bisnis tambang emas atau rencana eksploitasi di wilayah Intan Jaya, Papua.

Keduanya, potensi disangkakan melanggar UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), pidana umum, dan dugaan berita bohong yang diatur KUHP. Untuk kasus perdata, Haris dan Fatia bakal digugat ke pengadilan dengan nilai ganti kerugian sebesar Rp100 miliar. Bila angka Rp100 miliar dikabulkan hakim, LBP bakal menyumbangkan untuk masyarakat Papua.

Di sisi lain, Haris dan Fatia melontarkan kritik berdasarkan data hasil riset dan kajian ilmiah sejumlah lembaga swadaya masyarakat yang konsen terhadap isu kelestarian lingkungan. Lantas dapatkan mengkritik demi kepentingan umum/publik atau kelestarian lingkungan dapat dipidana?

Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Merah Johansyah menilai kritik yang dilontarkan Direktur Eksekutif Lokataru Haris Azhar dan Koordinator KontraS Fatia Maulidiyanti adanya dugaan konflik kepentingan pejabat negara dalam bisnis pertambangan di Blok Wabu Papua, berdasakan data dan hasil riset memiliki dimensi kepentingan publik dan lingkungan hidup yang sehat.

Dia mengingatkan terdapat aturan yang tak boleh mempidanakan atau mengugat secara perdata terhadap kritikan yang berdimensi kepentingan umum dan kelestarian lingkungan. Merah merujuk Pasal 66 UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH). Pasal 66 UU PPLH menyebutkan, “Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata”.

Dalam Penjelasan Pasal 66 UU No.32 Tahun 2009 menyebutkan ketentuan tersebut dimaksudkan untuk melindungi korban dan/atau pelapor yang menempuh cara hukum akibat pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. Perlindungan ini dimaksudkan untuk mencegah tindakan pembalasan dari terlapor melalui pemidanaan dan/atau gugatan perdata dengan tetap memperhatikan kemandirian peradilan.

“Sesuai Pasal 66 UU 32/2009, setiap orang dan kelompok masyarakat yang memperjuangkan lingkungan hidup yang sehat tidak dapat dituntut secara pidana dan perdata,” ujar Merah Johansyah dalam konferensi pers secara virtual, Rabu (22/9/2021) kemarin. (Baca Juga: Pelaporan Pidana Luhut ke Haris-Fatia Ciri Negara Otoriter)

Dia menegaskan kritikan Haris dan Fatia demi kepentingan publik dan masyarakat Papua terkait kepentingan lingkungan hidup yang sehat agar tidak terjadi konflik kepentingan yang bermuara pada keselamatan rakyat Papua dan investasi yang tidak berkualitas. Selain memburuknya demokrasi akibat kritikan dijawab laporan pidana, menjadi sulit memastikan investasi di sektor pertambangan lantaran ditengarai terjadi konflik kepentingan.

“Kasus ini puncak gunung es dari konlik kepentingan yang terbentang di sektor pertambangan dan harus diperiksa (menjadi perhatian, red) pemerintah agar tidak berdampak terhadap kerusakan lingkungan hidup di Papua,” katanya.

Manager Kampanye Pangan, Air dan Ekosistem Esensial Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Wahyu A Perdana menilai laporan pidana LBP terhadap Haris dan Fatia ke Polda Metro potret gagal pahamnya pejabat publik terkait etika penyelenggara negara. Kritikan seharusnya dijawab dengan bantahan dan klarifikasi, bukan malah dengan menempuh jalur hukum.

Menurutnya, kritikan yang memiliki motif kepentingan masyarakat banyak dan kelestarian lingkungan hidup yang sehat tak boleh dipidana sebagaimana dalam dirumuskan norma Pasal 66 UU 32/2009 itu. Dengan melaporkan secara pidana dan gugatan perdata terhadap kedua aktivis HAM itu dianggap sebagai upaya “membunuh” partisipasi publik. “Kalau proses hukum ini berjalan terus, gagal pahamnya tidak bisa meletakan mana kritik individu dan mana kritik pejabat publik?”

Tak bisa dipidana

Terpisah, Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar menilai sekeras apapun kritikan seseorang terhadap pejabat publik demi kepentingan masyarakat tak boleh dipidana ataupun diperdatakan. Aturan ini sudah tertuang dalam Pasal 66 UU 32/2009. Terlebih, dalam Pasal 310 ayat (3) KUHP yang mengecualikan bagi kritikan yang berdimensi kepentingan publik tak dapat dipidana.

Pasal 310 ayat (3) KUHP menyebutkan, Tidak termasuk menista atau menista dengan tulisan, jika ternyata bahwa si pembuat melakukan hal itu untuk kepentingan umum atau lantaran terpaksa perlu untuk mempertahankan dirinya sendiri”. Menurutnya, pejabat publik semestinya memahami rumusan norma Pasal 66 dan Pasal 310 ayat (3) KUHP. Apalagi yang dikritik terkait kapasitasnya sebagai pejabat publik, bukan sebagai individu.

“Karenanya, apa yang dilakukan seorang pejabat publik dengan menuntut secara hukum terhadap pengkritiknya adalah tindakan yang berlebihan, dan kurang kesadarannya tentang posisinya sebagai pejabat publik,” tegasnya kepada Hukumonline.

Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) Suparji Ahmad berpandangan sistem hukum sudah jelas mengatur kritikan yang memiliki dimensi kepentingan umum, membela diri tak dapat dikategorikan sebagai perbuatan pidana. Begitu pula tidak dapat dikualifikasi sebagai perbuatan pencemaran nama baik seseorang. “Karena yang dilakukan adalah untuk kepentingan umum,” kata dia.

Apalagi bila kritikan dilakukan dengan bersandar pada data dan fakta yang ada, sehingga tidak menjadi satu tuduhan atau fitnah. Namun, persoalan ini menjadi ranah kepolisian untuk menilai dan menindaklanjuti apakah terdapat tidaknya peristiwa pidana. Menurutnya, sepanjang tidak terdapat peristiwa pidana, kepolisian tak perlu meningkatkan statusnya ke tahap penyidikan.

Suparji berharap silang pendapat antara LBP dan Haris-Fatia sebaiknya dapat diselesaikan di luar pengadilan. Tujuannya agar tidak terjadi kontraproduktif dalam proses penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. “Hendaknya semua pihak menahan diri dan bersikap proporsional. gunakan jalur di luar hukum saja lebih tepat,” sarannya.

Tags:

Berita Terkait