Mengurai Benang Kusut Centurygate
Fokus

Mengurai Benang Kusut Centurygate

BPK dalam laporan audit investigasinya menyatakan bahwa bailout kepada Bank Century setelah tanggal 18 Desember 2008 ilegal. Benarkah?

Sut/Ali
Bacaan 2 Menit
Pemerintah tak pernah membuat RUU pencabutan Perpu JPSK. <br> Foto: Sgp
Pemerintah tak pernah membuat RUU pencabutan Perpu JPSK. <br> Foto: Sgp

Bank Century begitu fenomenal. Hampir setiap hari isu Century menghiasi halaman depan media nasional sejak setahun belakangan. Padahal banyak orang yang tadinya tidak mengenai bank gurem ini. Parahnya isu yang berkembang di media tentang Century mayoritas menceritakan hal-hal yang buruk. Jarang yang positif. Sampai-sampai, manajemen Bank Century yang kini 99,996 persen sahamnya dimiliki oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), mengubah nama Century menjadi PT Bank Mutiara Tbk. Tentu perubahan ini demi pencitraan Century yang sudah hancur di mata masyarakat.

 

Century layaknya sebuah misteri. Bank yang pernah dikuasai dinasti Tantular itu menyimpan banyak persoalan. Mulai dari isu merger sampai aliran dana penyertaan modal sementara (PMS) yang diduga disimpangi. Makanya, banyak kalangan terutama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengaudit investigasi Century.

 

Namanya audit investigasi, sudah pasti yang dicari boroknya Century. Hasilnya, memang banyak kejanggalan. Itupun masih banyak yang tidak puas. Ada yang mengatakan, audit BPK tidak lengkap lantaran tidak mencantumkan kemana saja aliran dana sebesar Rp6,76 triliun yang disalurkan LPS ke Bank Century. Padahal aliran dana itulah yang ditunggu-tunggu publik.   

 

LPS sendiri sudah memaparkan aliran dana sebesar tersebut. Kepala LPS Firdaus Djaelani mengatakan biaya penanganan sebesar Rp6,76T merupakan tambahan modal Bank Century, baik yang disetorkan secara tunai melalui rekening giro Bank Century di BI sebesar Rp5,31 triliun dan dalam bentuk penyerahan Surat Utang Negara (SUN) senilai Rp1,45 triliun. Sebanyak Rp4,02 triliun atau 59 persennya digunakan untuk membayar kewajiban bank kepada 8.577 nasabah penyimpan.

 

Kemudian Rp2,25T atau 33 persen masih berupa aset Bank Century dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI), Fasilitas Simpanan Bank Indonesia (Fasbi), SUN dan Giro Wajib Minimum (GWM). Sisanya sebesar Rp490 miliar atau 8 persen,digunakan untuk membayar pinjaman antar bank, Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP), biaya Real Time Gross Settlement (RTGS) dan denda GWM dan pembelian valas.

 

Mengenai aliran dana ke nasabah, dari 8.577 nasabah penyimpan yang menarik simpanannya, sebanyak 7.770 atau 91 persen di antaranya merupakan nasabah perorangan dan sebanyak 807 atau 9 persen merupakan nasabah BUMN/korporat. Jumlah pembayaran kepada nasabah perorangan adalah sebesar Rp3,27 triliun atau 81 persen dari total penarikan simpanan.

 

Penarikan oleh nasabah yang memiliki simpanan kurang dari Rp2 miliar dilakukan oleh 8.249 nasabah (96 persen) dengan total penarikan sebesar Rp2,19 triliun atau 54 persen. Sedangkan penarikan oleh nasabah dengan simpanan di atas Rp2 miliar, dilakukan oleh 328 nasabah (4 persen) dengan total penarikan sebesar Rp1,83T (46 persen), atau jika dihitung, rata-rata penarikan setiap nasabah sebesar Rp5,6 miliar.

 

Yang jelas, cerita PMS ke Bank Century oleh LPS terus menggelinding bak bola liar. Pasca-laporan hasil audit BPK yang menyatakan adanya kesalahan dalam penyelamatan Bank Century, langsung ditanggapi DPR. Para wakil rakyat di Senayan pun segera membentuk panitia angket untuk menyelidiki kasus yang disinyalir merugikan keuangan negara hingga triliunan itu.

 

Kasus Bank Century ini memang penuh tanda tanya. Salah satu temuan BPK yang patut dicurigai adalah pengucuran dana pada tahap ketiga dan keempat. Pada tahap itu, PMS kepada Bank Century dinilai tidak memiliki dasar hukum. Pasalnya, LPS tetap mengucurkan sejumlah uang walau dasar hukumnya, Perpu No. 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK), telah ditolak DPR pada sidang paripurna pertengahan Desember 2008 silam.

 

Sejumlah dokumen yang diperoleh BPK memang menyatakan bahwa Perpu JPSK telah ditolak DPR. Dokumen itu terdiri dari notulensi rapat paripurna DPR tanggal 18 Desember 2008, penjelasan Ketua DPR periode 2004-2009, surat Ketua DPR RI kepada Ketua BPK pada tanggal 1 September 2009 perihal permintaan audit investigasi dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu terhadap Bank Century, serta laporan Komisi XI DPR mengenai pembahasan laporan kemajuan pemeriksaan investigasi kasus Bank Century dalam rapat paripurna DPR tanggal 30 September 2009.

 

Ilegal?

Ketua BPK Hadi Purnomo mengatakan dari total Rp6,76 triliun PMS Bank Century, sebesar Rp2,8 triliun disinyalir ilegal. BPK beralasan penyaluran itu dilakukan setelah tanggal 18 Desember 2008 atau setelah Perpu JPSK ditolak DPR menjadi undang-undang. Sekadar mengingatkan PMS kepada Bank Century oleh LPS dilakukan dalam empat tahap.

 

Tahap pertama pada 23 November 2008 sebesar Rp2,77 triliun. Uang sebesar ini digunakan untuk mencapai nilai kecukupan modal bank atau Capital Adequacy Ratio (CAR) sebesar 10 persen, dimana Bank Century waktu itu CAR-nya minus dua digit. Sebenarnya, Peraturan Bank Indonesia menentukan batasan CAR minimal 8 persen. Jika 8 persen, artinya Bank Century hanya butuh dana sebesar Rp2,655 triliun. Namun Peraturan LPS melegalkan pemberian modal hingga 10 persen oleh LPS. Lalu tahap kedua pada 5 Desember 2008 sebesar Rp2,201 triliun untuk menutup kebutuhan likuiditas bank sampai 31 Desember 2008.

 

Setelah kedua tahap itu, pada 18 Desember 2008 Perpu JPSK gagal disahkan menjadi undang-undang. Namun, penyaluran oleh LPS ke Bank Century tetap berjalan, yakni tahap ketiga pada 3 Februari 2009 sebesar Rp1,155 triliun dan tahap keempat pada 21 Juli 2009 sebesar Rp630 miliar. Kedua tahap yang disebutkan terakhir masing-masing untuk menutup kebutuhan CAR berdasarkan hasil assessment BI atas perhitungan direksi Bank Century dan hasil audit Kantor Akuntan Publik.

 

Di sinilah biang masalahnya. BPK yakin penyaluran di tahap ketiga dan keempat tidak memiliki dasar hukum. Tapi benarkah demikian? Analis hukum di BPK mungkin lupa. Sebab, keberlakuan Perpu JPSK masih menjadi perdebatan. Jika diingat ke belakang, DPR periode 2004-2009 tidak pernah secara tegas menyatakan penolakan terhadap Perpu JPSK yang diajukan dalam bentuk rancangan undang-undang (RUU) untuk disahkan menjadi undang-undang. Saat itu pemerintah malah dianjurkan untuk memperbaiki RUU tersebut, dan mengembalikannya ke DPR.

 

Masalah ini pernah ditegaskan Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa. Bulan lalu Hatta pernah berujar, DPR periode 2004-2009 tidak pernah secara tegas menolak Perpu JPSK. DPR, lanjutnya, hanya tidak cukup waktu untuk membahas RUU tersebut. “Begini, waktu saya sebagai Mensesneg menerima surat, memang pada waktu itu sama sekali tidak ada kata-kata menolak. Kata-katanya hanya meminta dimasukan dalam RUU JPSK yang baru,” papar Hatta.

 

Sikap anggota dewan yang tidak tegas terhadap Perpu JPSK bisa jadi dimanfaatkan oleh pemerintah. Tapi tidak bagi BPK. Auditor negara itu dalam laporan hasil investigasinya, menyatakan dana Rp2,8 triliun yang dikucurkan pada tahap ketiga dan keempat ilegal karena dikucurkan pada saat Perpu JPSK telah ditolak DPR.

 

Namun, bila seandainya Perpu JPSK itu benar-benar telah ditolak oleh DPR, apakah Perpu itu otomatis tidak berlaku lagi? UUD 1945 menyebutkan, perlu ada tindakan lebih lanjut untuk mencabut sebuah Perpu bila Perpu itu ditolak oleh DPR. Hal ini diatur dalam Pasal 22 ayat (3) UUD 1945.

 

Lalu, bagaimana cara mencabut Perpu yang telah ditolak? UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan secara jelas mengatur prosedurnya. Pasal 25 ayat (4) menyatakan 'Dalam hal peraturan pemerintah pengganti undang-undang ditolak Dewan Perwakilan Rakyat, maka Presiden mengajukan rancangan undang-undang tentang pencabutan peraturan pemerintah pengganti undang-undang tersebut yang dapat mengatur pula segala akibat dari penolakan tersebut'.

 

Pengajar ilmu peraturan perundang-undangan Fakultas Hukum Universitas Indonesia Sonny Maulana Sikumbang mengatakan, ketika Perpu tidak disetujui, DPR tidak bisa melakukan apa-apa, misalnya mencabut Perpu secara tertulis. Yang bisa mencabut, kata dia, hanya pihak yang mengeluarkan Perpu yakni Presiden. Ketika DPR menolak RUU, tidak otomatif Perpunya hilang atau tidak berlaku. “Secara hukum Perpu itu masih ada, tapi secara politis atau moral harusnya jangan dipakai lagi,” paparnya kepada hukumonline, Kamis (3/12).

 

Masalahnya, Presiden tidak pernah mencabut atau mengeluarkan RUU tentang pencabutan Perpu JPSK. Direktur Litigasi Departemen Hukum dan HAM, Qomaruddin pernah mengutarakan persoalan ini. Sepanjang sepengetahuannya, pemerintah belum pernah membuat RUU pembatalan Perpu JPSK. Sama dengan Sonny, Qomaruddin mengatakan Perpu tidak otomatis batal begitu ditolak oleh DPR. “Pemerintah harus mengajukan RUU pembatalan Perpu itu,” ujarnya di Gedung Mahkamah Konstitusi, beberapa waktu lalu.

 

Tidak jernih, apakah masalah ini karena kelalaian DPR dalam mengingatkan Presiden untuk membuat RUU pencabutan Perpu JPSK, atau memang sengaja dilakukan pemerintah untuk memanfaatkan kelengahan DPR. Yang jelas, perdebatan keberlakuan Perpu JPSK hanya satu dari rentetan kasus yang masih menjadi misteri ‘bailout’ Bank Century.

 

Bagai benang kusut, persoalan Bank Century harus segera diluruskan. Jangan sampai masalah ini menjadi skandal besar yang bisa menjatuhkan perekonomian nasional. Tentu tugas Pansus Angket DPR kasus Bank Century harus mengungkap ini semua. Semoga.

Tags:

Berita Terkait