Menilik Peraturan BKPM Soal Investasi Minimum & Premium PT PMA
Kolom

Menilik Peraturan BKPM Soal Investasi Minimum & Premium PT PMA

Menggunakan modal minimum untuk PMA atau yang lain sebagai alat untuk melindungi UMKM adalah upaya menyederhanakan permasalahan absennya kebijakan yang lebih berpihak pada UMKM.

Bacaan 2 Menit

Syarat modal minimum dan NIM tersebut awalnya berupa kebijakan tidak tertulis yang kemudian tertuang pada peraturan BKPM sejak tahun 2013. Dalam perjalanannya aturan tersebut mengalami beberapa kali perubahan (kecuali menyangkut jumlah modal dan NIM) menyangkut kapan NIM harus terpenuhi dan apakah NIM dihitung per perusahaan atau per bidang usaha sesuai dengan KBLI (Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia) yang dipilih.

Akhir Maret lalu keluar Peraturan BKPM No.1 tahun 2020 yang juga mengatur modal dan NIM. Sayang sekali berdasarkan ketentuan tersebut modal dan NIM masih tetap tinggi. Untuk modal minimal masih Rp2,5 miliar dan NIM, tergantung bidang usahanya, lebih besar dari Rp10 miliar (diluar nilai tanah dan bangunan) untuk setiap bidang usaha per lima digit KBLI setiap lokasinya atau berdasarkan dua digit KBLI.

Pertanyaannya mengapa BKPM membuat aturan modal dan nilai investasi layaknya seperti tiket masuk bioskop dengan satu tiket berlaku untuk satu pertunjukan saja. Seakan-akan jumlah bidang usaha (berdasarkan KBLI) yang akan dipilih adalah sumberdaya langka dan modal serta nilai investasi masuk langsung ke kas negara. Sehingga semakin banyak bidang usaha yang dipilih, semakin besar jumlah yang harus dibayar dan karenanya negara akan semakin untung.

Sangat jelas bahwa modal serta nilai investasi tidak masuk ke kas negara dan bidang usaha berdasarkan KBLI sama sekali bukan barang langka. Seluruh investasi yang dibawa investor tetap milik investor. Investasi itu baru akan berguna bagi bangsa jika digunakan untuk membangun usaha dan menciptakan lapangan kerja. Jadi yang terpenting adalah bagaimana agar pemerintah dapat membantu para investor untuk dapat segera melaksanakan dan memajukan usahanya.

Mayoritas investor asing memutuskan datang dan berusaha di Indonesia tentu sudah berdasarkan pertimbangan dan rencana yang matang. Sehingga pemerintah harus memberikan pengalaman yang baik untuk mereka sejak mendirikan perusahaan, mengurus izin usaha dan menjalankan perusahaan.

Apabila kita menetapkan modal minimum yang tinggi akan tetapi proses mendapatkan izin usaha membutuhkan waktu yang lama, nilai investasi minimum tersebut tidak dapat segera dimanfaatkan dan menjadi percuma. Di samping itu, Saya tidak melihat adanya korelasi langsung antara modal ataupun NIM dengan peningkatan jumlah investasi asing yang masuk.

Sebagai perbandingan, negara ASEAN lain seperti Singapura, Vietnam dan Malaysia secara umum tidak menetapkan syarat modal minimum. Sedangkan di Thailand, modal minimum sekitar AS$62 ribu untuk bidang-bidang yang tidak ada pembatasan asingnya. Persyaratan NIM kita Rp10 miliar (AS$700 ribu) untuk satu bidang usaha jauh sekali di atas negara-negara tetangga kita. Bagaimana kita bisa bersaing dengan negara-negara tetanga kita seperti Malaysia, Vietnam dan Thailand? Kalau memang benar tujuan NIM tinggi ini untuk melindungi pengusaha UMKM sebagaimana yang disampaikan oleh staf BKPM di atas, mengapa itu hanya berlaku untuk PMA?

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait