Menilik Peraturan BKPM Soal Investasi Minimum & Premium PT PMA
Kolom

Menilik Peraturan BKPM Soal Investasi Minimum & Premium PT PMA

Menggunakan modal minimum untuk PMA atau yang lain sebagai alat untuk melindungi UMKM adalah upaya menyederhanakan permasalahan absennya kebijakan yang lebih berpihak pada UMKM.

Bacaan 2 Menit

Perlu dicatat di sini modal ditempatkan setelah investor masuk hanya naik menjadi Rp110 juta sehingga masih di bawah ketentuan modal minimum Rp2,5 miliar. Padahal uang yang masuk dari investor ke PT Shaiyo Sakato jauh di atas itu yaitu Rp200 miliar. Berdasarkan peraturan BKPM yang ada, modal asing yang secara riil masuk sejumlah Rp200 miliar hanya akan tercatat pada sistim BKPM sejumlah Rp10 juta. Sisanya yang sejumlah lebih dari Rp199 miliar itu akan dicatat dalam buku PT Shaiyo Sakato sebagai premium/agio.

Dengan tidak dicatatnya premium sebagai modal dan juga nilai investasi (dalam kaitan dengan pemenuhan NIM), maka jumlah yang sangat besar itu “hilang” dari statistik modal asing berdasarkan versi BKPM.  Di samping itu, PT Shaiyo Sakato tersebut dianggap tidak memenuhi ketentuan nilai investasi minimum yang Rp10 miliar meskipun investornya membawa masuk uang Rp200 miliar!

Sangat disayangkan permasalahan ini muncul hanya karena BKPM terpaku pada peraturan mengenai modal dalam UUPT yang memang tidak dirancang untuk keperluan pemenuhan persyaratan modal minimum maupun NIM. Padahal untuk BKPM yang terpenting adalah berapa jumlah dana yang dibawa oleh investor.

Penundukan diri ini sebenarnya tidak perlu mengingat BKPM tidak memiliki kewajiban hukum sama sekali untuk hanya mengakui jumlah nilai investasi yang sebagaimana terdaftar pada sistim administrasi badan hukum (SABH) yag dikelola oleh Kementerian Hukum dan HAM.

Walau masalah ini sepertinya sepele, pada kenyataannya dapat menimbulkan risiko besar bagi investor asing. Dengan tidak tercatatnya penyetoran modal investor asing mungkin dapat mempengaruhi perlindungan hukum yang dapat diperoleh berdasarkan UU Penanaman Modal Asing maupun Bilateral Investment Treaty antara Indonesia dengan negara asal investor yang berlaku.

Untuk dapat tetap menjaga hak hukum investor tersebut, sering kali harus diambil jalan berputar dengan menggunakan saham berbeda kelas dengan hak sama. Efeknya proses akan menjadi lebih membingungkan dan semakin panjang yang berakibat meningkatnya biaya yang harus dibayar oleh investor asing.

Saat ini pemerintah tengah berupaya keras untuk memperbaiki iklim investasi. Salah satunya dengan mengambil jalan sulit, berliku dan terjal yaitu perbaikan struktural melalui RUU Cipta Kerja. Upaya perubahan struktural tersebut baik sekali. Namun janganlah kita lupa kalau sekarang kita masih banyak hambatan investasi yang disebabkan oleh peraturan di tingkat pusat, bahkan dalam hal ini dalam peraturan BKPM. Artinya segala hambatan itu bisa dengan mudah dan cepat dibuang guna beri dampak langsung pada upaya menarik investor. Karena itu, untuk menghormati upaya perubahan struktural yang berat tadi, masalah modal minimum dan pencatatan premium ini perlu untuk segera diperbaiki.

*)Ahmad Fikri Assegaf adalah Advokat di Jakarta.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait