Meninjau Ulang Putusan Mahkamah Konstitusi Terkait Remisi
Kolom

Meninjau Ulang Putusan Mahkamah Konstitusi Terkait Remisi

Jangan sampai pendapat MK dalam putusannya terkait remisi dijadikan dalih oleh pembentuk UU untuk memperlonggar pemberian remisi dengan mencabut PP 99/2012.

Bacaan 5 Menit

Untuk mencontohkan betapa longgarnya pengaturan remisi sebelum diberlakukannya PP 99/2012 dapat berkaca pada kejadian baru-baru ini, yaitu pengurangan masa hukuman terpidana korupsi, Joko S Tjandra, saat perayaan hari kemerdekaan. Dapat dibayangkan, Joko yang sebelumnya menjadi buronan selama sebelas tahun malah mendapatkan remisi selama dua bulan dengan menggunakan payung hukum PP 28/2006. Padahal, dalam ketentuan itu, terdapat syarat yang harus dipenuhi berupa berkelakuan baik. Sederhananya, bagaimana mungkin buronan yang telah melakukan berbagai kejahatan selama pelariannya dapat dianggap berkelakuan baik dan layak menerima remisi?

Problematika Putusan MK

Sebagaimana dijelaskan pada bagian awal tulisan, putusan MK sudah menegaskan eksistensi UU Pemasyarakatan, khususnya terkait remisi. Akan tetapi, perdebatannya bukan pada bunyi putusan akhir, melainkan pendapat mahkamah yang dianggap melampaui wewenangnya. Pertama, jika dibaca secara detail, argumentasi yang dibangun oleh Mahkamah dalam pendapatnya seperti sedang menguji konstitusionalitas PP 99/2012. Tentu poin ini mesti dikesampingkan, sebab, kewenangan MK terbatas pada pengujian suatu UU terhadap UUD, bukan malah menilai keabsahan peraturan di bawah UU. Ditambah lagi, Mahkamah Agung melalui Putusan Nomor 51/P/HUM/2013 dan Putusan Nomor 63/P/HUM/2015 sudah menyatakan bahwa PP 99/2012 sah dan konstitusional.

Kedua, MK menggunakan dalih kondisi lembaga pemasyarakatan yang sudah overcrowded untuk menyatakan bahwa pengetatan syarat pemberian remisi perlu ditinjau ulang. Jelas pandangan tersebut berupaya menyederhanakan persoalan. Sebab, mengacu data Kemenkumham per Maret tahun 2020, jumlah terpidana korupsi hanya 0,7 persen (1.906 orang) dari total keseluruhan warga binaan sebanyak 270.445 orang. Kalau pun menggunakan contoh kejahatan lain, misalnya narkoba, permasalahannya bukan pada pengetatan syarat remisi, melainkan pada UU dan implementasi penegak hukum.

Ketiga, MK menyatakan bahwa pemberian remisi sebaiknya dilakukan di tahap persidangan dan dimuat dalam putusan. Dengan kondisi pengadilan saat ini, sulit untuk berharap banyak pada majelis hakim yang menyidangkan perkara korupsi untuk dapat mengakomodir hal tersebut. Riset ICW tahun 2020 menemukan rata-rata hukuman bagi terdakwa korupsi saja hanya 3 tahun 1 bulan penjara. Belum lagi ditambah fenomena pengurangan hukuman yang belakangan waktu terakhir marak terjadi. Maka dari itu, bukan tidak mungkin ke depan akan terjadi obral besar-besaran pemberian remisi di persidangan perkara korupsi.

Keempat, dalam salah satu poin pendapat Mahkamah, turut disebutkan bahwa pengetatan pemberian remisi tidak sejalan dengan konsep restorative justice. Jelas ini merupakan kekeliruan yang mendasar, baik secara historis maupun pemaknaan konsep tersebut. Dari segi historis, pendapat MK bertabrakan dengan putusan MA No 51/P/HUM/2013. Sekali lagi, pengujian substansi PP berada di wilayah MA, bukan MK. Sehingga, yang dapat dijadikan pegangan hukum adalah putusan MA. Selain itu, yang menjadi bagian restorative justice adalah pemberian remisinya, bukan syarat pengetatan. Pemberian remisi sudah menjadi hak setiap terpidana dan telah dijamin dalam UU Pemasyarakatan. Sedangkan syarat pemberian remisi yang diperketat menitikberatkan pada dettern effect bagi terpidana dengan jenis kejahatan khusus, salah satunya korupsi.

Menyoal pada kondisi terkini, RUU Pemasyarakatan yang diinisiasi oleh pemerintah telah disepakati DPR untuk masuk dalam program legislasi nasional tahun 2021. Sebagaimana diketahui, seringkali momentum revisi suatu UU dimanfaatkan oleh segelintir pihak untuk melemahkan agenda pemberantasan korupsi. Maka dari itu, berpijak pada berbagai argumentasi di atas, jangan sampai pendapat MK terkait remisi dijadikan dalih oleh pembentuk UU untuk memperlonggar pemberian remisi dengan mencabut PP 99/2012.

*)Kurnia Ramadhana adalah Peneliti Hukum Indonesia Corruption Watch.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait