Meninjau Ulang Putusan Mahkamah Konstitusi Terkait Remisi
Kolom

Meninjau Ulang Putusan Mahkamah Konstitusi Terkait Remisi

Jangan sampai pendapat MK dalam putusannya terkait remisi dijadikan dalih oleh pembentuk UU untuk memperlonggar pemberian remisi dengan mencabut PP 99/2012.

Bacaan 5 Menit
Kurnia Ramadhana. Foto: Istimewa
Kurnia Ramadhana. Foto: Istimewa

Pertengahan September lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan Nomor 41/PUU-XIX/2021 telah memberikan pandangan hukumnya terkait polemik pemberian remisi bagi pelaku kejahatan khusus (korupsi, terorisme, dan narkotika). Dalam putusannya, mahkamah menolak seluruh permohonan dan argumentasi yang dibangun oleh terpidana korupsi, OC Kaligis. Ini mengartikan bahwa substansi UU Pemasyarakatan sah dan konstitusional serta kewenangan pemerintah untuk melakukan pengetatan pemberian remisi bagi pelaku kejahatan khusus dengan sendirinya tetap berlaku.

Sebelum masuk lebih jauh pada substansi putusan MK, penting untuk lebih dulu mengulas tentang seluk beluk remisi itu sendiri. Dari sudut pandang historis peraturan, remisi sebenarnya sudah ada di Indonesia sejak tahun 1935 melalui kebijakan GouvernementBesluit. Adapun dasar pemberian remisi itu bukan karena hal-hal khusus, seperti pertimbangan sikap warga binaan di lembaga pemasyarakatan atau pun aspek hukum lainnya, melainkan sekadar merayakan hari kelahiran Ratu Belanda. Jadi, kalau mau konsisten, remisi itu pada dasarnya bukan merupakan hak, melainkan pemberian dari pemerintah.

Dalam regulasi, ketentuan remisi selama ini mengacu pada dua peraturan perundang-undangan, yaitu UU Pemasyarakatan dan sejumlah Peraturan Pemerintah (PP). Untuk level undang-undang, remisi disebutkan menjadi satu di antara 13 hak yang didapatkan seorang terpidana (Pasal 14 ayat (1) huruf i UU Pemasyarakatan). Terlepas dari terdapat kekeliruan yang fundamental terkait penyematan “hak” untuk pemberian remisi, namun perubahan paradigma itu lebih tepat dibincangkan dalam perdebatan Rancangan Undang-Undang Pemasyarakatan (RUU Pemasyarakatan).

Kemudian, UU Pemasyarakatan mendelegasikan kewenangan kepada pemerintah untuk mengatur lebih lanjut syarat-syarat yang harus dipenuhi seorang terpidana jika ingin mendapatkan remisi (Pasal 14 ayat (2) UU Pemasyarakatan). Atas dasar itu, pemerintah membuat tiga payung hukum terkait pengaturan teknis pemberian remisi, di antaranya, PP No. 32 Tahun 1999, PP No. 28 Tahun 2006, dan terakhir PP No. 99 Tahun 2012. Untuk kejahatan korupsi, ketentuan spesifik tentang syarat pemberian remisi baru muncul dalam PP 28/2006, yakni mesti berkelakuan baik dan telah menjalani 1/3 masa pidana.

Perdebatan awal pun muncul, pemerintah merevisi PP 28/2006 dengan menerbitkan PP 99/2012. Dalam ketentuan tersebut, kewajiban melunasi denda dan uang pengganti serta menjadi justice collaborator (Pasal 34 A ayat (1) PP 99/2012) menjadi syarat baru bagi terpidana korupsi jika ingin mendapatkan remisi. Akibat dikeluarkannya PP tersebut, sejumlah kalangan melayangkan kritik, satu dari sekian banyak argumentasi yang digunakan adalah PP 99/2012 melanggar HAM karena bersifat diskriminatif.

Kritik dari sebagian pihak itu penting untuk diluruskan. Misalnya, kewajiban untuk melunasi denda dan uang pengganti mesti diletakkan pada filosofi korupsi sebagai kejahatan ekonomi. Sehingga, selain menjalani masa pemidanaan, terpidana juga harus didesak untuk mengembalikan harta kekayaan yang diperoleh dari praktik korupsi. Sedangkan untuk justice collaborator sendiri dimasukkan dalam PP 99/2012 agar rantai kejahatan segera terbongkar sekaligus memaksa keterlibatan dari terpidana untuk mewujudkan hal tersebut.

Untuk alasan pelanggaran HAM, sebenarnya sudah termuat secara jelas dalam Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945 yang menegaskan bahwa pembatasan hak individu dimungkinkan sepanjang diatur dalam UU. Maka dari itu, menjadi tidak relevan lagi jika kemudian argumentasi pelanggaran HAM terus didaur ulang demi memperlonggar pemberian remisi. Apalagi, dalam konteks korupsi, yang notabene merupakan extraordinary crime, membutuhkan perlakuan khusus pada setiap penanganan perkaranya, termasuk ketika berada di lembaga pemasyarakatan.

Untuk mencontohkan betapa longgarnya pengaturan remisi sebelum diberlakukannya PP 99/2012 dapat berkaca pada kejadian baru-baru ini, yaitu pengurangan masa hukuman terpidana korupsi, Joko S Tjandra, saat perayaan hari kemerdekaan. Dapat dibayangkan, Joko yang sebelumnya menjadi buronan selama sebelas tahun malah mendapatkan remisi selama dua bulan dengan menggunakan payung hukum PP 28/2006. Padahal, dalam ketentuan itu, terdapat syarat yang harus dipenuhi berupa berkelakuan baik. Sederhananya, bagaimana mungkin buronan yang telah melakukan berbagai kejahatan selama pelariannya dapat dianggap berkelakuan baik dan layak menerima remisi?

Problematika Putusan MK

Sebagaimana dijelaskan pada bagian awal tulisan, putusan MK sudah menegaskan eksistensi UU Pemasyarakatan, khususnya terkait remisi. Akan tetapi, perdebatannya bukan pada bunyi putusan akhir, melainkan pendapat mahkamah yang dianggap melampaui wewenangnya. Pertama, jika dibaca secara detail, argumentasi yang dibangun oleh Mahkamah dalam pendapatnya seperti sedang menguji konstitusionalitas PP 99/2012. Tentu poin ini mesti dikesampingkan, sebab, kewenangan MK terbatas pada pengujian suatu UU terhadap UUD, bukan malah menilai keabsahan peraturan di bawah UU. Ditambah lagi, Mahkamah Agung melalui Putusan Nomor 51/P/HUM/2013 dan Putusan Nomor 63/P/HUM/2015 sudah menyatakan bahwa PP 99/2012 sah dan konstitusional.

Kedua, MK menggunakan dalih kondisi lembaga pemasyarakatan yang sudah overcrowded untuk menyatakan bahwa pengetatan syarat pemberian remisi perlu ditinjau ulang. Jelas pandangan tersebut berupaya menyederhanakan persoalan. Sebab, mengacu data Kemenkumham per Maret tahun 2020, jumlah terpidana korupsi hanya 0,7 persen (1.906 orang) dari total keseluruhan warga binaan sebanyak 270.445 orang. Kalau pun menggunakan contoh kejahatan lain, misalnya narkoba, permasalahannya bukan pada pengetatan syarat remisi, melainkan pada UU dan implementasi penegak hukum.

Ketiga, MK menyatakan bahwa pemberian remisi sebaiknya dilakukan di tahap persidangan dan dimuat dalam putusan. Dengan kondisi pengadilan saat ini, sulit untuk berharap banyak pada majelis hakim yang menyidangkan perkara korupsi untuk dapat mengakomodir hal tersebut. Riset ICW tahun 2020 menemukan rata-rata hukuman bagi terdakwa korupsi saja hanya 3 tahun 1 bulan penjara. Belum lagi ditambah fenomena pengurangan hukuman yang belakangan waktu terakhir marak terjadi. Maka dari itu, bukan tidak mungkin ke depan akan terjadi obral besar-besaran pemberian remisi di persidangan perkara korupsi.

Keempat, dalam salah satu poin pendapat Mahkamah, turut disebutkan bahwa pengetatan pemberian remisi tidak sejalan dengan konsep restorative justice. Jelas ini merupakan kekeliruan yang mendasar, baik secara historis maupun pemaknaan konsep tersebut. Dari segi historis, pendapat MK bertabrakan dengan putusan MA No 51/P/HUM/2013. Sekali lagi, pengujian substansi PP berada di wilayah MA, bukan MK. Sehingga, yang dapat dijadikan pegangan hukum adalah putusan MA. Selain itu, yang menjadi bagian restorative justice adalah pemberian remisinya, bukan syarat pengetatan. Pemberian remisi sudah menjadi hak setiap terpidana dan telah dijamin dalam UU Pemasyarakatan. Sedangkan syarat pemberian remisi yang diperketat menitikberatkan pada dettern effect bagi terpidana dengan jenis kejahatan khusus, salah satunya korupsi.

Menyoal pada kondisi terkini, RUU Pemasyarakatan yang diinisiasi oleh pemerintah telah disepakati DPR untuk masuk dalam program legislasi nasional tahun 2021. Sebagaimana diketahui, seringkali momentum revisi suatu UU dimanfaatkan oleh segelintir pihak untuk melemahkan agenda pemberantasan korupsi. Maka dari itu, berpijak pada berbagai argumentasi di atas, jangan sampai pendapat MK terkait remisi dijadikan dalih oleh pembentuk UU untuk memperlonggar pemberian remisi dengan mencabut PP 99/2012.

*)Kurnia Ramadhana adalah Peneliti Hukum Indonesia Corruption Watch.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait