Menuju Good Corporate Governance (I)
Kolom

Menuju Good Corporate Governance (I)

Dewasa ini, banyak kalangan yang berbicara tentang perlunya kita menumbuhkan apa yang disebut good governance. Pendapat ini menarik, walaupun ihwal good governance ini bukanlah ihwal baru. Dalam sepuluh tahun terakhir ini, para ilmuwan, pengusaha, dan masyarakat sipil (civil society) telah membahas ihwal good governance ini dalam banyak kesempatan.

Bacaan 2 Menit

Perseroan di Indonesia, seperti juga di Belanda dan Jerman, memiliki dua badan (the dual board structure), yaitu direksi dan komisaris. Struktur ini berbeda dengan struktur perseroan di negara-negara Anglo Saxon yang pada umumnya hanya mengenal satu struktur yaitu Direksi.  Tentu selain kedua badan tersebut ada  pemegang saham yang mempunyai kekuasaan tertinggi dan dapat mengambil keputusan melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dan atau Rapat Umum Luar Biasa Pemegang Saham (RULBPS).

Khusus terhadap pemegang saham minoritas, tersedia pula mekanisme untuk membela haknya dari dominasi pemegang saham mayoritas yang pada zaman dulu praktis tidak mendapat perlindungan sama sekali, sehingga selalu disebut sebagai pelengkap penderita yang nasibnya bergantung kepada kebaikan hati pemegang saham mayoritas.

Kewajiban direksi dan komisaris

Kepengurusan pada perseroan dijalankan oleh direksi (pasal 79-93 UU No 1/1995) yang pada umumnya berupa kekuasaan untuk mengelola perseroan dengan itikad baik dan bertanggung jawab untuk mencapai tujuan perseroan. Rincian dari lingkup kerja dan tanggung jawab direksi ini diatur secara lebih spesifik di dalam akta perseroan, sehingga praktis sebetulnya direksi tidak dapat menyimpang dari semua prinsip-prinsip hukum yang mendasari terjadinya good corporate governance.

Direksi harus mencatat dan melaporkan semua kerjanya kepada pemegang saham, harus mengaudit pembukuan perseroan, harus mendapat persetujuan dari Komisaris dan atau pemegang saham untuk tindakan-tindakan hukum tertentu (meminjam uang, menjaminkan harta kekayan perseroan serta melakukan akuisisi, konsolidasi, dan merger).

Direksi juga wajib mencatat kepemilikan saham dari semua anggota direksi, komisaris maupun anggota keluarganya pada perseroan maupun perseroan lainnya satu dan lain hal untuk mencegah terjadinya benturan kepentingan di kemudian hari. Secara sederhana, kita melihat bahwa prinsip transparansi dan akuntabilitas sudah dianut, sehingga good corporate governance seharusnya bisa dijalankan.

Komisaris bertugas mengawasi pekerjaan direksi, memberi nasehat kepada direksi, dan bilamana perlu memberhentikan sementara direksi yang dianggap menyimpang dari tujuan perseroan (pasal 94-101 UU No 1/1995). Rincian lebih lengkap mengenai lingkup hak dan kewenangan Komisaris diatur dalam akta perseroan, sehingga kita melihat bahwa  pengawasan terhadap direksi itu sesungguhnya dapat dilakukan. Namun, selama ini yang namanya Komisaris itu kebanyakan hanya hadir pada RUPS dan RULBPS.

Komisaris itu banyak yang tidak menjalankan fungsinya karena tampaknya komisaris itu sekadar merupakan jabatan kehormatan yang diberi kartu nama, gaji, dan fasilitas lainnya. Praktik perseroan telah mengkooptasi jabatan komisaris. Tidak heran jika dalam banyak perseroan besar kita melihat jabatan komisaris itu dipegang oleh mantan pejabat tinggi negara, sipil maupun militer, sehingga muncul kesan tambahan bahwa komisaris itu telah pula berperan sebagai corporate security.

Tags: