Menuju Satu Tahun Implementasi Mediasi Secara Elektronik
Kolom

Menuju Satu Tahun Implementasi Mediasi Secara Elektronik

Ragam inovasi dan rekomendasi bagi Mahkamah Agung. Terdapat beberapa langkah strategis untuk menciptakan proses mediasi secara elektronik menjadi lebih kondusif.

Bacaan 5 Menit

Berdasarkan Pasal 6 Perma 3/2022, dalam hal para pihak menyetujui mediasi dilaksanakan secara elektronik, maka Hakim Pemeriksa Perkara menyerahkan formulir persetujuan mediasi secara elektronik. Sampai saat ini format formulir persetujuan mediasi secara elektronik belum tersedia sehingga para pihak masih diharuskan untuk menyerahkan formulir persetujuan yang telah ditandatangani secara langsung ke kantor Pengadilan. Lebih lanjut, para pihak juga diminta untuk menyerahkan dokumen pendukung secara fisik berupa pas foto terbaru serta kartu tanda identitas. Hal ini menyebabkan efektivitas dan efisiensi pelaksanaan mediasi secara elektronik belum sepenuhnya optimal dikarenakan para pihak tetap diminta untuk melaksanakan pengurusan administrasi mediasi secara elektronik ke kantor pengadilan.

Kedua, berdasarkan Pasal 9 ayat (1) Perma 3/2022, mediator yang telah ditunjuk untuk memimpin jalannya mediasi secara elektronik wajib melakukan verifikasi identitas para pihak secara elektronik juga. Dalam hal ini, mediator dapat melakukan verifikasi identitas para pihak menggunakan aplikasi ruang virtual yang disepakati oleh para pihak seperti Whatsapp, Zoom, Google Meet maupun Skype.

Penggunaan aplikasi pihak ketiga dalam proses verifikasi identitas ini berpotensi menimbulkan keamanan data para pihak rentan disalahgunakan serta validitas identitas para pihak menjadi kurang teruji. Sampai saat ini, pelaksanaan verifikasi identitas para pihak dapat dilakukan dengan menggabungkan pemeriksaan identitas secara fisik maupun secara elektronik, namun mediator sebagai fasilitator perlu dibekali dengan kemampuan untuk melaksanakan proses verifikasi identitas para pihak dengan efektif dan efisien agar pelaksanaan mediasi secara elektronik dapat berjalan dengan lancar serta tidak menyimpangi ketentuan hukum acara yang berlaku.

Ketiga, belum terdapat aplikasi yang dapat memudahkan para pihak maupun mediator untuk mengunggah dokumen pendukung yang bertujuan untuk membuat pelaksanaan mediasi secara elektronik menjadi lancar. Dalam hal ini, para pihak masih harus menyampaikan resume perkara kepada mediator secara fisik ke pengadilan. Begitu juga bagi mediator yang masih harus menyampaikan laporan pelaksanaan hasil mediasi secara fisik kepada Hakim Pemeriksa Perkara pasca mediasi secara elektronik selesai dilaksanakan. Ketiadaan aplikasi pendukung yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan dokumen elektronik menyebabkan pelaksanaan mediasi secara elektronik menjadi belum optimal. Begitu juga dalam penyusunan kesepakatan perdamaian yang masih mewajibkan para pihak untuk berunding secara langsung, menandatangani dokumen kesepakatan perdamaian serta menyerahkan dokumen fisik tersebut ke pengadilan.

Keempat, penerapan ruang virtual yang diperkenankan dalam mediasi secara elektronik memerlukan ketentuan teknis yang lebih jelas dan keterlibatan pihak ketiga sebagai mitra MA. Berdasarkan Pasal 11 ayat (1) Perma 3/2022, para pihak menyepakati jenis aplikasi yang akan digunakan sebagai ruang virtual pelaksanaan mediasi secara elektronik. Lebih lanjut, pada ayat (2) dijelaskan bahwa ruang virtual mediasi secara elektronik disediakan oleh mediator. Dalam hal ini belum terdapat ketentuan teknis mengenai tata cara penentuan biaya ruang virtual mediasi secara elektronik yang disediakan oleh mediator. Selain itu, faktor keamanan penggunaan ruang virtual untuk pelaksanaan mediasi secara elektronik perlu ditingkatkan. Sampai saat ini, penggunaan aplikasi pihak ketiga masih memungkinkan para pihak untuk melakukan pengambilan gambar maupun perekaman audio selama proses mediasi secara elektronik.

Kelima, dengan membuka kesempatan bagi para pihak untuk menyepakati mediasi secara elektronik maka dimungkinkan juga bagi mediator non-hakim untuk membantu para pihak menyelesaikan perkaranya. Sampai saat ini, masih terdapat keterbatasan akses bagi mediator non-hakim untuk mengakses aplikasi E-Court dalam hal para pihak menyepakati mediator non-hakim untuk memimpin jalannya mediasi. Keterbatasan akses ini menyebabkan proses pengumpulan resume perkara, pemanggilan serta pelaporan hasil mediasi masih harus dilakukan secara konvensional oleh mediator non-hakim.

Berdasarkan penjelasan di atas, diperlukan langkah-langkah strategis untuk menciptakan proses mediasi secara elektronik menjadi lebih kondusif di masa yang akan datang, di antaranya:

  1. Pada tahap persiapan mediasi secara elektronik, MA perlu menetapkan petunjuk teknis yang berkaitan dengan kemudahan untuk menyampaikan dokumen-dokumen baik dalam rangka persiapan, pelaksanaan hingga tahap paska pelaksanaan mediasi secara e Hal ini dapat dilakukan dengan optimalisasi peran aplikasi E-Court, yakni menambahkan beragam fitur untuk memudahkan para pihak dan mediator dalam melaksanakan mediasi secara elektronik guna mewujudkan asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan bagi para pihak.
  2. Perlunya memberikan pelatihan khusus kepada mediator hakim maupun mediator non-hakim dalam melaksanakan verifikasi identitas para p Caranya dengan kemampuan digital yang mumpuni serta didukung dengan sistem berperkara yang aman akan sangat membantu mediator dalam melaksanakan verifikasi identitas para pihak secara elektronik tanpa harus melakukan verifikasi secara manual di pengadilan. Selain itu, pelatihan penggunaan aplikasi pendukung juga dapat menciptakan efektivitas dan efisiensi dalam pelaksanaan mediasi secara elektronik serta tidak menyimpangi ketentuan hukum acara yang berlaku.
  3. Dibutuhkan petunjuk pelaksanaan mengenai tata cara penentuan biaya mediasi secara elektronik dalam hal ruang virtual tersebut disediakan oleh mediator baik hakim maupun non-h Selain penetapan biaya ruang virtual, penting juga bagi MA untuk menjalin kerja sama dengan pihak ketiga dalam penyediaan ruang virtual yang aman untuk pelaksanaan mediasi secara elektronik di antaranya dengan penyedia aplikasi ruang virtual maupun organisasi bantuan hukum.
  4. MA perlu membuka akses terhadap aplikasi E-Court bagi mediator non-hakim yang hendak memimpin jalannya m Hal ini penting dilakukan agar memberikan kesempatan yang terbuka bagi para pihak menentukan sendiri mekanisme penyelesaian perkaranya di tengah tingginya beban perkara yang harus segera diselesaikan oleh mediator hakim.
  5. Lebih lanjut, seiring dengan penguatan kompetensi terhadap mediator, MA perlu melaksanakan sosialisasi berjenjang ke seluruh lapisan aparat penegak hukum. Dalam hal ini, MA dapat memberikan instruksi umum kepada Pengadilan Tinggi, untuk kemudian dilakukan bimbingan teknis kepada Pengadilan Negeri di Selanjutnya, Pengadilan Negeri dapat melaksanakan penyuluhan kepada pemerintah daerah setempat.

*)William Edward Sibarani, S.H., adalah Analis Perkara Peradilan Mahkamah Agung.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait