Menunda Pengesahan RUU PPRT, Membiarkan Pekerja Rumah Tangga Jadi Korban Kekerasan
Terbaru

Menunda Pengesahan RUU PPRT, Membiarkan Pekerja Rumah Tangga Jadi Korban Kekerasan

Data Jaringan Nasional Advokasi PRT, lebih dari 400 PRT mengalami berbagai kekerasan pada periode 2012-2021. Kekerasan yang dialami antara lain psikis, fisik, ekonomi, pelecehan seksual, bahkan berada dalam situasi perdagangan manusia.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Komitmen Presiden Joko Widodo (Jokowi) mendorong percepatan pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) belum juga mempan. Kendatipun koalisi masyarakat sipil dari berbagai elemen mendorong Ketua DPR Puan Maharani, faktanya RUU PPRT belum juga masuk dalam rapat paripurna. Padahal dorongan yang sama pun datang dari sejumlah anggota dewan maupun beberapa pimpinan DPR.

Sekretaris Nasional (Seknas) Jaringan Buruh Migran (JBM) Savitri Wisnu, mengatakan sudah 19 tahun nasib RUU PPRT tak mendapatkan kepastian, status terombang-ambing di parlemen. Padahal desakan terhadap pemerintah dan DPR tak hentinya dilakukan agar RUU PPRT dapat disahkan menjadi UU.

Savitri mengatakan, pekerja rumah tangga (PRT) berkontribusi terhadap pembangunan. Tanpa PRT, keluarga di Indonesia tidak dapat bekerja optimal di ruang publik. Baginya, menunda sehari pengesahan RUU PPRT menandakan membiarkan 11 PRT menjadi korban kekerasan. “Segera bawa RUU PPRT dalam sidang paripurna DPR,” katanya dikonfirmasi, Senin (27/02/2023).

Baca juga:

Baginya, kerentanan dan ketidakadilan yang dialami PRT terkait pandangan yang melihat PRT bukan sebagai pekerja tapi sekedar aktivitas domestik. Padahal survei International Labour Organization (ILO) dan Universitas Indonesia tahun 2015 menunjukkan PRT berperan penting dalam kelancaran fungsi rumah tangga dan pasar tenaga kerja.

Sampai sekarang PRT masih menghadapi kerentanan tersebut. Mengutip data Jaringan Nasional Advokasi PRT, Savitri menyebut lebih dari 400 PRT mengalami berbagai kekerasan pada periode 2012-2021. Kekerasan yang dialami antara lain psikis, fisik, ekonomi, pelecehan seksual, bahkan berada dalam situasi perdagangan manusia.

Perwakilan  Persatuan Pekerja Rumah Tangga Indonesia Migran (Pertimig) Malaysia Binti Rosidah, mengatakan PRT rentan mengalami kekerasan fisik, upah tak dibayar, tidak mendapat waktu istirahat dan libur. Kemudian rentan mengalami pelecehan seksual. Oleh karena itu, Binti mendesak RUU PPRT untuk segera disahkan dalam menjamin hak setiap PRT.

Selain melindungi PRT dalam negeri, Binti berpendapat disahkannya RUU PPRT bisa meningkatkan posisi tawar pemerintah Indonesia dalam melakukan diplomasi kepada negara penempatan. “Dalam rangka menyelesaikan kasus-kasus kekerasan dan pelanggaran yang dialami PRT migran di luar negeri,” urainya.

Perwakilan Yayasan JPIC Divina Providentia Kupang Suster Laurentina, mengatakan sebagai biarawati Katholik, dirinya sangat diharapkan untuk memperlakukan semua manusia secara manusiawi apapun jenis pekerjaannya. Pekerjaan yang dilakukan manusia tak sekedar masalah upah, hak dan kewajiban tapi juga dimensi sosial.

“Para majikan harus memperhatikan para PRT sebagai manusia yang harus dihargai bukan sebagai budak yang hanya dimanfaatkan tenaga saja. Maka segeralah negara kita untuk mengesahkan RUU PPRT agar mereka terlindung,” usulnya.

Aktivis IPPMI, Novia, mencatat sudah banyak PRT yang mengalami eksploitasi di tempat kerja. Kekerasan fisik, mental, seksual dan verbal serta tidak mendapatkan kondisi kerja yang layak. Hal tersebut akan terus terjadi karena absennya payung hukum yang melindungi PRT. Novia menegaskan, organisasinya mendesak RUU PPRT segera disahkan agar PRT mendapat perlindungan yang memadai.

“Pengesahan RUU PPRT berdampak pada PRT migran yang berjuang menuntut perlindungan atau payung hukum di negara penempatan. PRT adalah pekerja, PRT adalah kita,” katanya.

Tags:

Berita Terkait