Menyimak Kembali Artikel Kolom Pertama Mendiang J Satrio
Terbaru

Menyimak Kembali Artikel Kolom Pertama Mendiang J Satrio

Tulisan kolom pertama Sang Begawan Hukum Perdata di situs Hukumonline tercatat pada tanggal 21 Oktober 2010 dengan judul "Beberapa Segi Hukum tentang Somasi (Bagian I)".

Oleh:
Ferinda K Fachri
Bacaan 4 Menit

Terkait keadaan lalai ialah berkenaan dengan jatuh temponya kewajiban perikatan debitur, namun J Satrio lantas menafsirkan dari Pasal 1270 BW bila belum sampai pada waktunya kewajiban perikatan dilaksanakan maka debitur tak dapat dinyatakan dalam keadaan lalai. Melalui Pasal 1238 BW, ia menggariskan adanya 'keadaan lalai' debitur berhubungan dengan masalah 'perintah' (bevel) yang dituangkan tertulis.

Meski pasal tidak tegas menjelaskan isi perintah kreditur, akan tetapi menurutnya sehubungan kedudukan para pihak dalam perikatan yang bersangkutan dapat dikonklusikan perintah kreditur adalah agar debitur memenuhi kewajiban perikatannya. Jadi debitur berada dalam keadaan lalai setelah ada perintah/peringatan agar debitur melaksanakan kewajiban perikatannya.

“Perintah atau peringatan (surat teguran) itu dalam doktrin dan yurisprudensi disebut “somasi“. Somasi yang tidak dipenuhi –tanpa alasan yang sah– membawa debitur berada dalam keadaan lalai, dan sejak itu semua akibat kelalaian (wanprestasi) berlaku. Jadi, somasi merupakan peringatan atau teguran agar debitur berprestasi pada suatu saat yang ditentukan dalam surat somasi. Dengan demikian, somasi merupakan sarana untuk menetapkan debitur berada dalam keadaan lalai (kalau somasi tidak dipenuhi, red),” terang Satrio dalam tulisan.

Sebagai bentuk implikasi atas hal tersebut, surat yang tidak memuat perintah ataupun teguran untuk debitur berprestasi bukanlah somasi. Bila surat menuturkan kalimat semacam ‘kami menunggu penyerahan pesanan kami’ tidak kemudian berlaku sebagai somasi. “Namun pernyataan dalam gugatan, yang tidak dibantah oleh debitur, bahwa debitur-pemimpin-gudang telah menolak permintaan, yang diajukan berkali-kali, untuk menyerahkan barang yang dititipkan dalam gudangnya, sudah dianggap sebagai suatu somasi,” ujarnya.

Sebab, untuk suatu surat perintah tidak melulu diwajibkan mengenakan nada memerintah. Surat dengan muatan seperti 'kami menunggu kiriman paling lambat tanggal ... yang akan datang' dirasa cukup menjadi peringatan bagi debitur untuk diminta berprestasi selambat-lambatnya. Utamanya, yang penting diperhatikan dalam suatu surat teguran atau somasi adalah jelas ditampakannya tuntutan kreditur terhadap prestasi debitur.

“Mengeluh saja atas tidak adanya penyerahan dari debitur, tidak bisa ditafsirkan sebagai suatu somasi. Sudah bisa diduga akan menjadi masalah, bagaimana menafsirkan suatu surat, apakah merupakan suatu pemberitahuan ataukah sudah merupakan suatu perintah. Semuanya harus dinilai in concreto,” ungkapnya.

Melalui tulisannya itu, almarhum menerangkan peristiwa dimana debitur sudah berada dalam keadaan lalai karena sifat perikatan itu sendiri (atau ‘demi perikatannya sendiri’ sesuai Pasal 1238 BW) tidak memerlukan somasi dan karenanya disana tidak ada masalah somasi. Sebagai contoh, ia memproyeksikan perjanjian jual beli taart penganten yang perlu diberikan pada hari pernikahan. Akan tetapi saat itu taart tidak dikirimkan, maka dalam hal ini pembuat roti telah wanprestasi dengan lewatnya hari yang disepakati tanpa diperlukan adanya somasi.

“Kesimpulannya, kalau karena penyerahan yang terlambat, tidak dapat lagi dicapai apa yang dituju oleh kreditur dengan membuat perjanjian itu, maka dengan lewatnya waktu saja sudah terjadi mora ex re, tanpa perlu ada somasi lagi. Mora ex re artinya dengan lewatnya jangka waktu yang disepakati saja, debitur sudah berada dalam keadaan lalai. Jadi tidak perlu somasi. Orang yang lalai melaksanakan kewajibannya disebut telah wanprestasi.”

Tags:

Berita Terkait