Menyoal Pembentukan Tim Pemburu Koruptor, Efektifkah?
Berita

Menyoal Pembentukan Tim Pemburu Koruptor, Efektifkah?

Pemerintah semestinya belajar dari kegagalan TPK sebelumnya dalam mengejar buron dan pengembalian aset. Kalaupun tetap dibentuk, TPK harus jelas mekanisme, sasaran, dan target yang terukur.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Menkopolhukam M. Mahfud MD saat memberi keterangan pada awak media. Foto: RES
Menkopolhukam M. Mahfud MD saat memberi keterangan pada awak media. Foto: RES

Pemerintah menghidupkan kembali Tim Pemburu Koruptor (TPK) dari “peti mati”. Setelah berhasil menangkap buron pembobol BNI, Maria Pauline Lumowa dan masuknya buron Djoko Djandra ke wilayah yuridiksi Indonesia menjadi salah satu alasan dihidupkan TPK untuk mengejar para buron pembobol keuangan negara di negara lain. Namun, langkah menghidupkan TPK justru menuai kritik.

Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Bambang Soesatyo menilai rencana pembentukan TPK tak boleh gegabah. Sebab, TPK yang pernah dibentuk beberapa tahun silam justru dibubarkan akibat tidak optimalnya mengejar para buron pembobol uang negara. Untuk itu, dia meminta Kementerian Politik Hukum dan Keamanan (Kemenkopolhukam) memikirkan kembali rencana pengaktifan TPK dengan melihat urgensinya.

“Seharusnya pemerintah belajar dari kegagalan TPK pada masa lalu yang terbukti tidak efektif memberi hasil optimal,” ujar Bambang Soesatyo di Komplek Gedung Parlemen, Rabu (15/7/2020). (Baca Juga: Rekam Jejak Tim Pemburu Koruptor yang Akan Dihidupkan Menkompolhukam)

Menurutnya, ketimbang mengaktifkan lagi TPK, Kemenkopolhukam lebih baik meningkatkan sinergisitas dan koordinasi serta supervisi instrumen hukum yang ada dengan Kepolisian, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan Kejaksaan, agar dapat meneguhkan/mengoptimalkan kembali integrated criminal justice system.

Mantan Ketua Komisi III DPR itu mendorong lembaga penegak hukum yang ada terus bekerja secara optimal dan konsekuen dalam memburu koruptor untuk menyelamatkan aset negara yang dirampok dengan cara korupsi atau pencucian uang. “Sehingga pengaktifan TPK tidak diperlukan,” ujar politisi Partai Golkar itu.

Ketua Komite I Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Teras Narang sependapat dengan Bamsoet. Bagi Teras, pemerintah semestinya belajar dari masa lalu saat adanya TPK yang tak berjalan efektif. Itu sebabnya Teras tidak setuju dihidupkan lagi TPK sebagaimana rencana Menkopolhukam Mahfud MD. “Saya berpendapat sebaiknya tidak usah dihidupkan kembali TPK tersebut,” katanya.

Menurutnya, pemburuan koruptor tak perlu membuat tim khusus lagi setelah kegagalan TPK sebelumnya. Namun, pemburuan buron koruptor yang melarikan diri cukup berada di bawah koordinasi Menkopolhukam. Setidaknya, Kemenkopolhukam mendorong mengoptimalkan peran dan sinergi instansi penegak hukum dan lembaga terkait, seperti KPK, Kejaksaan, Kepolisian, agar menjalankan tugasnya dengan lebih baik.

Selain itu, berkolaborasi dengan Kemenkumham di bidang keimigrasian. Sementara Badan Intelijen dapat menyebar personilnya dengan menggunakan jaringan kedutaan besar serta konsulat di negara-negara tertentu yang dapat diminta bantuan. “Terpenting, koordinasi dan semangat yang sama, dengan tenggang waktu,serta gerakan yang terukur, terstruktur dan masif,” ujar senator asal Kalimantan Tengah itu.

Sementara Dosen Hukum Pidana Universitas Al-Azhar Indonesia (UAAI) Suparji Ahmad menilai bila TPK diaktifkan lagi, maka mekanisme dan targetnya kerjanya harus jelas dan terukur. Dia khawatir pola/mekanisme kerja TPK malah tumpang tindih dengan aparat penegak hukum yang ada. Meski mendukung pemerintah terhadap pemberantasan korupsi dan pengejaran buron dengan adanya TPK, tapi Suparji malah balik bertanya.

“Apakah kinerja lembaga penegak hukum dan lembaga terkait yang ada selama ini kurang efektif, sehingga harus membentuk tim baru?”

“Ruang lingkup TPK harus jelas termasuk payung hukumnya. Misalnya apakah yang dikejar buronan yang sudah ada putusan yang berkekuatan hukum tetap atau masih proses hukum. Bila benar TPK diaktifkan lagi, TPK mesti menyelesaikan buron korupsi kelas kakap.”

Dia berharap TPK tak sebatas tim yang hanya gagah-gagahan. “Jangan lupakan memburu kasus korupsi yang selama ini dinilai mangkrak. Seperti kasus Harun Masiku, e-KTP, BLBI, Century,” ujarnya mengingatkan.

Tetap bentuk TPK

Menkopolhukam Mohammad Mahfud MD tak ambil pusing dengan berbagai kritik terhadap pembentukan TPK. Namun, TPK nantinya tetap memperhatikan masukan dari masyarakat. “Saya akan terus mengerjakan secara serius tentang Tim Pemburu Koruptor ini. Tapi tetap memperhatikan saran-saran dari masyarakat,” ujar Mahfud MD sebagaimana dikutip dari  Antara.

Baginya, adanya beragam kritikan hal wajar di alam demokrasi. Keputusan mengaktifkan lagi TPK yang berfungsi memburu koruptor, aset, tersangka, terpidana dalam tindak pidana yang melarikan diri atau bersembunyi atau yang disembunyikan terus berproses. Nantinya, payung hukum pembentukan TPK adalah instruksi presiden (Inpres).

Mahfud mengklaim InpresPembentukan TPK pun sudah dikantonginya. Yang pasti, TPK tak akan mengambil peran dan tugas KPK sebagai lembaga independen yang melaksanakan fungsi pencegahan dan pemberantasan korupsi. “Yang diburu KPK tentu nanti dikoordinasikan tersendiri. KPK mungkin sudah punya langkah-langkah sendiri, tetapi kami koordinasikan,” katanya.

Sebelumnya, Menkopolhukam Mahfud MD ingin menghidupkan lagi Tim Pemburu Koruptor (TPK) yang akan bertugas mengejar pada pelaku tindak pidana korupsi yang hingga kini masih buron. Tim itu akan dipimpin oleh Kemenkopolhukan yang beranggotakan Polri, Kejaksaan Agung, dan Kemenkumham.

Berdasarkan catatan ICW, TPK pernah dibentuk pemerintah pada tahun 2002. Data ICW menunjukkan, pasca delapan tahun dibentuk, faktanya tim ini hanya berhasil menangkap buronan dari 16 target penangkapan. Selain itu, evaluasi terhadap tim ini juga tidak pernah dipublikasikan oleh pemerintah.

Sejak 1996-2018, terdapat 40 buronan kasus korupsi yang belum dapat ditangkap oleh penegak hukum. Artinya, yang harus diperkuat dalam hal ini adalah aparat penegak hukumnya. ICW menilai kebijakan untuk membuat tim baru malah berpotensi tumpang tindih dari segi kewenangan. Karena itu, ICW menilai pengaktifan TPK tidak akan efektif.

Hukumonline mencatat ada sejumlah nama yang pernah dijadikan target perburuan TPK. Diantaranya Samadikun Hartono, buronan dalam kasus penyalahgunaan dana talangan dari Bank Indonesia atau BLBI senilai sekitar Rp2,5 triliun yang digelontorkan ke Bank Modern, menyusul krisis finansial 1998 yang ditangkap pada 2016 lalu.

Kemudian Sudjiono Timan (kasus korupsi Badan Pembinaan Usaha Negara/BPUI); Eko Edi Putranto (adik kandung Hendra Rahardja, terpidana 20 tahun kasus korupsi BLBI Bank Harapan Sentosa/BHS Rp2,6 triliun); Sherny Kojongian (terpidana 20 tahun kasus BLBI BHS); Lesmana Basuki (mantan bos Sejahtera Bank Umum, kasus korupsi promissory notes dan medium term notes/MTN Rp209 miliar dan AS$ 105 juta); dan Tony Suherman (kasus korupsi promissory notes dan medium termnotes/MNT Rp209 miliar dan AS$105 juta).

Selain itu, Bambang Sutrisno (kasus BLBI Bank Surya Rp1,5 triliun); Andrian Kiki Ariawan (kasus BLBI Bank Surya Rp1,5 triliun); Dharmono K Lawi (anggota DPR, kasus korupsi APBD Rp10,5 miliar); David Nusa Wijaya; dan dan Tabrani Ismail (kasus korupsi Balongan). Hingga saat ini yang berhasil ditangkap adalah David Nusa Wijaya, Darmono K. Lawi, Thabrani Ismail, dan Adrian Kiki Ariawan. Selain terpidana, ada 11 tersangka yang kini menjadi incaran kepolisian.

Joko Tjandra, terpidana kasus Cessie Bank Bali yang baru saja membuat heboh masyarakat karena masuk Indonesia tanpa terdeteksi imigrasi dan membuat KTP serta mengajukan sendiri Peninjauan Kembali (PK) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan juga pernah menjadi target TPK. Namun hingga kini Joko masih bebas berkeliaran, bahkan terkesan bebas keluar masuk Indonesia, meskipun menurut Kejaksaan Agung ia merupakan buronan. 

Tags:

Berita Terkait