Menyoal Penghapusan Perizinan Ekspor-Impor dalam RUU Cipta Kerja
Utama

Menyoal Penghapusan Perizinan Ekspor-Impor dalam RUU Cipta Kerja

Penghapusan aturan perizinan ekspor-impor dan sanksi bagi eksportir/importir yang melakukan kegiatan ekspor/impor barang yang tidak sesuai ketentuan pembatasan barang dapat mengancam keberadaan UMKM dalam negeri.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Suasana Rapat Dengar Pendapat Umum dengan Panja RUU Cipta Kerja di Baleg DPR RI Kompleks Parlemen. Foto: RES
Suasana Rapat Dengar Pendapat Umum dengan Panja RUU Cipta Kerja di Baleg DPR RI Kompleks Parlemen. Foto: RES

Badan Legislasi DPR mulai menyerap aspirasi dan masukan dari berbagai pemangku kepentingan terkait draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja. Klaster Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) menjadi bahasan pertama yang diharap Baleg. Namun sayangnya, klaster UMKM terdapat aturan yang mengancam keberlangsungan UMKM dalam dunia usaha karena ada beberapa pasal dalam UU tertentu dihapus.

 

Anggota Baleg DPR Amin AK menilai draf RUU Cipta Kerja menghapus Pasal 49  ayat (1) sampai dengan (5) UU No.7 Tahun 2014 tentang Perdagangan. Pasal 49 ayat (1-5) mengatur soal mekanisme perizinan kegiatan ekspor dan impor. Artinya, jika RUU Cipta Kerja disahkan tidak ada lagi mekanisme perizinan ekspor dan impor, sehingga tidak ada filter masuknya barang impor ke dalam negeri.

 

Amin khawatir penghapusan pasal tersebut dalam draf RUU Cipta Kerja membuka kran impor tanpa batas dan dmpaknya produk lokal terdegradasi. Nantiny jika RUU Kerja disahkan aturan perizinan ekspor dan impor ini tidak ada kewajiban eksportir dan importir mengantongi perizinan berupa persetujuan, pendaftaran, penetapan, dan/atau pengakuan sebagaimana diatur Pasal 49 ayat (1) UU No 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan.

 

“Selain semakin dibanjiri barang impor di Indonesia, penghapusan ketentuan tersebut dapat berpotensi menimbulkan iklim usaha yang tidak sehat karena tidak ada lagi persetujuan atau pengakuan barang impor masuk,” ujar Amin dalam keterangannya, Senin (11/5/2020). (Baca Juga: Tiga Alasan, Presiden Seharusnya Tarik RUU Cipta Kerja)

Pasal 49 UU 7/2014

(1) Untuk kegiatan Ekspor dan Impor, Menteri mewajibkan Eksportir dan Importir untuk memiliki perizinan yang dapat berupa persetujuan, pendaftaran, penetapan, dan/atau pengakuan.

(2) Menteri mewajibkan Eksportir dan Importir untuk memiliki perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam melakukan Ekspor sementara dan Impor sementara.

(3) Menteri dapat melimpahkan atau mendelegasikan pemberian perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Pemerintah Daerah atau instansi teknis tertentu.

(4) Dalam rangka peningkatan daya saing nasional Menteri dapat mengusulkan keringanan atau penambahan pembebanan bea masuk terhadap Barang Impor sementara.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.

 

Aturan lain yang dihapus mengenai keringanan atau penambahan tarif bea masuk barang impor. Dengan adanya ketentuan tersebut, negara dapat memperoleh pendapatan dari kenaikan bea masuk barang impor yang dibebankan ke importir. Tak hanya itu, pemerintah pun dapat mengendalikan jumlah barang impor yang masuk ke Indonesia.

 

Padahal, keringanan tarif bea masuk barang impor sebagaimana diatur Pasal 49 UU 7/2014 dapat dijadikan pemerintah melobi dalam perdagangan internasional agar barang ekspor dari Indonesia ke negara tujuan mendapat keringanan bea masuk ke negara tujuan. Apabila Indonesia pun memberikan keringanan bea masuk barang impor dari negara tersebut.

 

Dengan catatan sepanjang tak mengganggu stabilitas persediaan barang dalam negeri, serta tidak mengancam perkembangan pelaku usaha, khususnya UMKM dalam negeri. Selain itu, dalam draf RUU Cipta Kerja menghapus ketentuan mengenai sanksi bagi eksportir/importir yang melakukan kegiatan ekspor/impor barang yang tidak sesuai dengan pembatasan barang untuk diekspor/diimpor.

 

Bagi politisi Partai Keadilan Sejahtera itu, penghapusan sanksi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 52 ayat (4) dan (5) UU 7/2014 dapat membuat eksportir/importir leluasa melakukan pelanggaran tanpa dikenakan sanksi. Jal tersebut berpotensi besar ketiadaan kendali barang ekspor/impor yang dapat mengganggu stabilitas persediaan barang dalam negeri dan mengancam perkembangan UMKM lokal. “Dihapuskannya aturan perizinan ekspor-impor dan sanksi bagi eksportir/importir barang yang tidak sesuai ketentuan pembatasan barang untuk diekspor/diimpor dapat mengancam UMKM dalam negeri,” ujarnya.

 

Menurutnya, kedua hal tersebut dapat menyebabkan tidak terkendalinya jumlah persediaan barang dalam negeri. Dampaknya dapat memicu kelangkaan persediaan barang ataupun membanjirnya barang impor di dalam negeri yang dapat mempengaruhi kinerja UMKM di Indonesia.

 

Masih samar

Sementara Ketua Umum DPD Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (HIPPI) Provinsi DKI Jakarta Sarman Simanjorang telah menyampaikan masukan ke Baleg DPR dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) pekan lalu. Menurutnya, masukan yang diberikan terkait masa depan UMKM. Dia berpendapat nasib UMKM dalam RUU Cipta Kerja masih samar.

 

Saat memberi masukan di Baleg, Sarman mencatat beberapa kelemahan dalam UU No.20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro Kecil dan Menengah yang seharusnya menjadi pemantik untuk diperkuat dan dipertegas dalam draf RUU Cipta Kerja. Setidaknya tujuan dalam Pasal 3 draf RUU Cipta Kerja dapat tercapai yakni menciptakan lapangan kerja yang seluas-luasnya bagi rakyat Indonesia secara merata di seluruh wilayah NKRI. Serta dapat mewujudkan pemenuhan hak atas penghidupan yang layak melalui kemudahan dan perlindungan UMKM

 

Dia menyoroti klaster UMKM dalam Pasal 6 menyebutkan, “Ruang lingkup Undang-Undang ini meliputi: C. kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan, UMKM serta perkoperasian”. Sayangnya ruang lingkup dimaksud tidak dijabarkan secara gamblang dalam pasal maupun batang tubuh. Dengan kata lain, kata Sarman, klaster UMKM hanya sebagai pelengkap penderita.  Dia berharap klaster UMKM dapat diperkuat serta menjadi target strategis.

 

Sebelumnya, Menteri Koperasi dan UMKM Teten Masduki mengatakan sektor UMKM dan Koperasi dibahas dalam RUU Cipta Kerja untuk menghapus segala regulasi yang menghambat perizinan. Pemerintah menyatakan ingin agar kedua entitas itu mendapat keadilan dan perlindungan kemudahan berusaha. Begitu pula sektor Koperasi dan UMKM tak kalah bersaing dengan sektor usaha skala besar seiring dengan kemudahan berinvesatasi yang juga tercantum dalam RUU Cipta Kerja.

 

Nantinya, dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja ini mengatur agar investasi masuk ke sektor UMKM melalui kemitraan. Sehingga, usaha besar tidak menggilas usaha UMKM, tetapi bersinergi yang saling menguntungkan sekaligus meningkatkan daya saing UMKM. Sedangkan Koperasi diatur agar berkembang lebih cepat, sehingga dipermudah persyaratan pendiriannya sekaligus dimungkinkan untuk menjalankan usaha di berbagai sektor.

 

Standing point saya jelas, memastikan seluruh kepentingan pelaku Koperasi dan UMKM diperlakukan secara adil, diberikan kemudahan berusaha dan dipastikan tidak ada kebijakan yang dipersulit,” jelas Teten saat dijumpai di Gedung SMESCO, Jakarta, Senin (9/3/2020).

Tags:

Berita Terkait