Menyoal Tanggung Jawab Hukum Marketplace Saat Belanja Online Jadi Pilihan
Lipsus Lebaran 2020

Menyoal Tanggung Jawab Hukum Marketplace Saat Belanja Online Jadi Pilihan

Saat PSBB dan menjelang Lebaran, transaksi belanja melalui internet meningkat tajam. Kehati-hatian dari masyarakat menjadi poin utama yang harus diperhatikan dalam belanja secara online.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Penyebaran wabah virus Covid-19 di Indonesia yang kian massif membuat pemerintah mengambil kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Kebijakan ini membatasi mobilisasi manusia atau physical distancing sebagai upaya untuk memutus mata rantai penyebaran Covid-19. Pergerakan masyarakat pun terbatas dengan diminta untuk tetap berada di rumah.

Dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari untuk kebutuhan Lebaran, misalnya, masyarakat lebih memilih belanja secara daring atau online yang membuat jumlah transaksi belanja melalui internet meningkat tajam. Namun perlu diingat ada potensi sengketa yang turut meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penggunaan internet.

Ketua Komunitas Konsumen Indonesia (KKI), David Tobing, menyampaikan bahwa pihaknya mendapatkan banyak laporan terkait pelanggaran konsumen di masa PSBB. Dia mengatakan bahwa semakin banyak pengguna internet, maka potensi penipuan melalui perdagangan online akan turut meningkat. “Terutama di masa Covid-19 orang-orang mendadak online maka penipuan akan berkembang,” kata David kepada Hukumonline.

Jika merujuk kepada laporan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) beberapa waktu lalu, persoalan belanja online masuk ke dalam lima besar sengketa konsumen yang banyak dilaporkan. Urutan pertama masih diduduki oleh perbankan, kedua adalah pinjaman online atau fintech, di tempat ketiga ada perumahan, keempat ada belanja online dan kelima adalah leasing. Adapun jenis laporan yang masuk mulai dari penipuan, barang terlambat atau bahkan tidak sampai, barang tidak sesuai dengan pesanan, hingga penyelewengan data pribadi.

Maka untuk mencegah terjadinya sengketa antara konsumen dan pelapak online di tengah pandemi Covid-19, David mempunyai tips. Kehati-hatian dari masyarakat menjadi poin utama yang harus diperhatikan dan ditingkatkan. Hal ini mengingat tingginya potensi penipuann dan terbatasnya pertemuan fisik dalam penyelesaian sengketa. (Baca: Cerita Lebaran dan Pandemi)

Jika konsumen ingin melakukan transaksi online, David menegaskan konsumen harus melakukan pengecekan produk untuk mencegah penipuan produk. “Sama enggak produk itu dengan asli, kemasan, dari sisi bentuk, wujud, ukuran, sehingga dengan demikian tidak tertipu. Makanan ringan repacking, susu repacking sudah sangat berbahaya, tidak ada kadaluarsa, dan produk harus disesuaikan dengan deskripsi produk di website produsen,” jelas David.

Kemudian konsumen diminta untuk melakukan transaksi online sesuai dengan kebutuhan, terutama di tengah pandemi Covid-19. Dan bagi produk yang memiliki masa kadasularsa, konsumen harus proaktif untuk melakukan pengecekan, pastikan belaja dari situs resmi dan memilih melakukan pembayaran lewat sistem cash on delivery (COD).

“Pastikan belanja dari situs yang resmi, kalau platform belanja  setidaknya masuk 20 besar, kalau di Instagram jangan terkecoh dengah komentar positif, dan kalau produk besar bisa dibayar ditempat, itu tipsnya,” ungkapnya.

Hukumonline.com

Tanggung Jawab Hukum Pelapak

Bocornya data pribadi konsumen di beberapa platform belanja online menjadi perhatian publik beberapa waktu lalu. David menilai, Kebocoran data ini menjadi peristiwa buruk sekaligus membuktikan ketidakandalan sistem pengamanan di beberapa platform terhadap data pribadi. (Baca: Kasus Bocornya Data Pribadi Konsumen Belanja Online Marak)

Perlindungan data pribadi konsumen diatur dalam beberapa regulasi seperti UUD 1945, UU Informasi dan Transaksi Elektronik, PP No.71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik, PP No.80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik, dan (Permenkominfo) No.20 Tahun 2016 tentang Perlindungan Data Pribadi dalam Sistem Elektronik.

Selain kewajiban untuk melindungi data pribadi, David menjelaskan beberapa regulasi tersebut turut mengatur kewajiban dan tanggung jawab dari platform dan merchant (pedagang). Untuk platform wajib menyajikan syarat dan ketentuan penggunaan Platform, menyediakan sarana pelaporan yang dapat digunakan untuk menyampaikan aduan mengenai konten yang dilarang di platform UGC yang dikelolanya, melakukan tindakan terhadap aduan atau pelaporan atas konten, memperhatikan jangka waktu penghapusan dan/atau pemblokiran terhadap pelaporan konten yang dilarang, melakukan evaluasi dan/atau monitoring secara aktif terhadap kegiatan penyelenggaraan Pedagang (Merchant) dalam platform, serta mematuhi kewajiban lain yang ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Di sisi lain, merchant juga bertanggungjawab atas penyelenggaraan sistem elektronik dan pengelolaan konten di dalam Platform secara andal, aman, dan bertanggung jawab. Namun ketentuan di atas tidak berlaku dalam hal dapat dibuktikan terjadinya kesalahan dan/atau kelalaian dari pihak pedagang (merchant) atau pengguna Platform.

Sementara untuk merchant diwajibkan untuk menyediakan informasi yang lengkap dan benar berkaitan dengan syarat kontrak dan produk barang dan/atau jasa yang ditawarkan, memastikan bahwa seluruh materi yang diunggah, termasuk namun tidak terbatas pada barang dan/atau jasa yang dijual tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan,  memastikan bahwa konten yang diunggah bukan termasuk konten yang dilarang, melaksanakan kewajiban sesuai dengan syarat dan ketentuan dari Penyedia Platform, dan mematuhi kewajiban lain yang ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Merchant juga bertanggungjawab atas semua konten atau substansi yang diunggah, bertanggungjawab atas laporan atau pengaduan mengenai konten yang diunggah, bertanggungjawab sesuai dengan syarat dan ketentuan dari Penyedia Platform. (Baca: Duh, Ratusan Produk Repacking Online Ditemukan Tak Penuhi Standar)

Deputi Direktur Akademi SSK, SP dan Pengelolaan Uang Rupiah BI Institute, Iwan Setiawan, mengatakan perkembangan regulasi terkait perlindungan konsumen di Indonesia mengalami pergeseran rezim. Jika dahulu perlindungan konsumen menekankan kehati-hatian konsumen dalam berbelanja, saat ini rezim perlindungan konsumen justru diarahkan kepada pata penjual dan pelapak.

“Kalau dulu, konsumen harus berhati-hati. Kalau sekarang rezim perlindungan konsumen diarahkan kepada para penjual dan pelapak yang bharus berhati-hati, bahwa barang dan jasa yang dijual harus memenuhi hal-hal seharusnya, tidak rusak, tidak ada cacat tersembunyi dan seterusnya,” katanya.

Dalam konteks ini, lanjut Iwan, pelaku usaha maupun regulator harus memandang perlindungan konsumen sebagai hal utama yang harus diperhatikan. Pasalnya, dampak praktik dari perlindungan konsumen yang baik dapat menunjang perekonomian negara, mengingat posisi konsumen sebagai tulang punggung perekonomian negara.

“UU Perlindungan Konsumen tidak hanya melindungi konsumen, konsumen sebagai backbond perkenonimian suatu negara yang membuat perekonomian berputar menjadi pembeli sehingga perputaran ekonomi terjadi. Bila perlindungan konsumen baik, bisa menunjang perekonomian, daya saing meningkat dan pertumbuhan ekonomi. Sehingga perlindungan konsumen harus dipandang oleh semua pihak, baik pelaku usaha bisnis dan regulator untuk bisa diperbaiki dan ditegakkan karena akan membawa kebaikan di negeri ini,” tegasnya.

Maka demi mewujudkan hal tersebut, konsep mengenai pertanggunjawaban, ganti rugi bagi pihak yang bertanggung jawab harus diperkuat dan dipermudah. Hal ini bertujuan agar kepercayaan dan kenyamanan konsumen tidak hilang. “Fraud dipandang sebagai risiko yang pasti muncul sehingga harus disiapkan bumper-nya,” imbuhnya. (Baca: Dampak Covid-19 Terhadap Pembayaran THR)

Perlu Tetap Kritis

Anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Kota Semarang, Gunarto, mengingatkan konsumen untuk tetap kritis dalam melakukan transaksi online. Hal ini bertujuan untuk mempermudah konsumen dalam penyelesaian sengketa di BPSK. Sejauh ini, lanjutnya, BPSK memiliki kendala dalam penyelesaian sengketa konsumen belanja online, terutama untuk belanja online lewat platform.

Jika terjadi dispute, maka syarat utama yang wajib dipenuhi oleh konsumen untuk penyelesaian sengketa adalah alamat pelaku usaha. Alamat diperlukan untuk memanggil pelaku usaha dalam penyelesaian sengketa. Meski terkesan sepele, namun faktanya konsumen kerap mengabaikan hal ini. Akibatnya perkara tidak dapat dilanjutkan. “Konsumen harus lebih kritis. Jangan lupa tanya alamat pelaku usaha kalau belanja online, ini penting sekali,” ungkapnya.

Kesulitan dalam mencari alamat ini membuat penyelesaian sengketa yang muncul dari transaksi marketplace menjadi rumit. Apalagi marketplace tidak pernah melakukan verifikasi alamat merchant sehingga potensi munculnya alamat abal-abal cukup besar. “Sengketa paling rumit itu di bisnis e-commere lewat marketplace. Jika terjadi dispute maka dibutuhkan alamat pelaku usaha, di mana lamat penjual? Tidak ditemukan. Tanya ke marketplace, marketplace cenderung tidak memberitahu konsumen jika ada kasus, kalaupun diberitahua alamat, apakah alamat betul? Juga tentu belum benar. Karena jika memberikan alamat abal-abal itu tidak pernah di verifikasi oleh marketplace. Nama dan alamat pelaku usaha adalah soal yang vital. Termasuk pelaku usaha perseorangan sulit cari identitas beliau padahal ini satu persoalan yang cukup krusial,” pungkasnya.

Nikmati Akses Gratis Koleksi Peraturan Terbaru dan FAQ Terkait Covid-19 di sini.

Tags:

Berita Terkait