Menyoal Telegram Kapolri Soal Izin Tindakan Hukum KPK, Kejaksaan, dan Pengadilan
Berita

Menyoal Telegram Kapolri Soal Izin Tindakan Hukum KPK, Kejaksaan, dan Pengadilan

KPK tetap tunduk pada KUHAP, UU KPK, dan UU Tipikor.

Oleh:
NOV
Bacaan 2 Menit
Foto: RES
Foto: RES
Kapolri Jenderal (Pol) Tito Karnavian melalui Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Mabes Polri Irjen (Pol) Idham Aziz mengirimkan telegram tertanggal 14 Desember 2016 kepada para Kapolda. Isinya, pertama, Kapolri meminta adanya pemberitahuan kepada pimpinan Polri jika ada anggota Polri yang diperiksa oleh aparat penegak hukum lain, seperti KPK, Kejaksaan, dan Pengadilan.

Kedua, "Apabila ada tindakan hukum geledah, sita, dan masuk ruangan di dalam Mako Polri oleh penegak hukum, KPK, Kejaksaan, pengadilan agar melalui izin Kapolri UP Kadivpropam Polri di tingkat mabes Polri dan Kapolda UP Kabidpropam tingkat Polda. Ulangi agar melalui izin Kapolri UP Kadiv Propram Polri dan Kapolda UP Kadibidpropam," demikian isi telegram tersebut.

Terkait telegram ini, Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan bahwa KPK dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya tetap tunduk pada KUHAP dan aturan yang bersifat khusus atau lex specialis, yaitu UU No.30 Tahun 2002 tentang KPK dan UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No.20 Tahun 2001. (Baca Juga: Kekalahan Praperadilan, KPK Mesti Gunakan Upaya Hukum Maksimal)

"Di KUHAP itu diatur, misalnya saat penggeledahan ke ketua pengadilan, bahkan untuk penyitaan KPK tidak membutuhkan izin ketua pengadilan. Kami bersyukur Polri sudah menyampaikan surat itu bersifat internal. Itu yang diharapkan ada kesepahaman bagi sesama aparat penegak hukum di lapangan bahwa kewenangan penegak hukum dilakukan berdasarkan hukum acara yang berlaku," katanya, Senin (19/12).

Namun, menurutnya, dalam rangka hubungan antara sesama lembaga penegak hukum, KPK tentu akan melakukan koordinasi dan komunikasi apabila akan melakukan tindakan hukum, seperti pemeriksaan anggota Polri maupun penyitaan dan penggeledahan di institusi Polri. "Jadi, lebih kepada koordinasi dan komunikasi antar lembaga saja, di lapangan seperti itu," imbuhnya.

Sementara, Kadiv Propam Irjen (Pol) Idham Azis menerangkan, telegram dengan nomor KS/BP-211/XII/2016/Divpropam itu merupakan bagian dari pengamanan internal Polri. Ia mengaku, telegram tersebut bukan semacam Surat Edaran, tetapi lebih kepada telegram arahan kepada seluruh jajaran. "Dan hanya untuk teknis saja," ujarnya. (Baca Juga: Ups, Sobekan Dokumen di Badan Istri Nurhadi Terjatuh Saat Penggeledahan KPK)

Selama ini, sambung Idham, koordinasi antara Polri dengan KPK, Kejaksaan, maupun institusi penegak hukum lainnya sudah berjalan baik. Polri pun pasti melakukan koordinasi apabila ada tindakan hukum yang berkaitan dengan institusi penegak hukum lain. Oleh karena itu, telegram ini hanya arahan yang bersifat internal untuk jajaran Kepolisian.

Walau begitu, Peneliti Hukum Indonesia Corruption Watch (ICW), Laloa Easter khawatir telegram semacam ini akan menimbulkan ketegangan di antara aparat penegak hukum. "Karena kalau yang kami tangkap sendiri dari telegram ini memosisikan seolah-seolah Polri itu berada levelnya di atas aparat penegak hukum lain," terangnya.

Padahal, kata dia, dalam konteks penegakan hukum sifatnya adalah koordinatif. Kalau sifatnya koordinatif, asumsinya posisi Kepolisian setara dengan KPK dan Kejaksaan. Tidak ada yang lebih tinggi dari Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK. Jadi, apabila ada kewajiban untuk memperoleh izin Kapolri dalam melakukan pemeriksaan anggota Polri, ia merasa patut dipertanyakan motivasinya.

"Ketika ada peraturan yang dikeluarkan kepolisian atau Kapolri yang mengatur bahwa lembaga-lembaga penegak hukum harus minta izin kepada Kapolri, ini mengandaikan suatu hubungan yang sub-ordinat seolah-olah polisi dalam hal ini berada di posisi yang lebih tinggi dibandingkan aparat penegak hukum lain," ucapnya.

Selain itu, Laola menyatakan, beredarnya surat telegram itu akan berdampak pada turunnya citra Polri di mata publik. Padahal, beberapa waktu lalu, citra Polri sempat meningkat setelah berhasil menindaklanjuti dugaan korupsi yang dilakukan oleh salah satu anggota Polri, AKBP Brotoseno. Brotoseno ditangkap Tim Saber Pungli karena diduga menerima suap Rp2,9 miliar terkait penanganan kasus di Kepolisian.

Untuk diketahui, KPK dalam melaksanakan tugas dan kewenangan mengikuti KUHAP dan aturan yang bersifat khsuus atau lex specialis di UU KPK dan UU Tipikor. Pasal 11 UU KPK memberikan KPK kewenangan untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang antara lain  melibatkan aparat penegak hukum.

Dalam rangka melakukan pemeriksaan terhadap saksi maupun tersangka, KPK mengacu pada KUHAP. Dan, terhadap saksi, KUHAP pun tidak mewajibkan untuk didampingi penasihat hukum. Sementara, terkait dengan penyitaan, KPK memiliki kekhususan di antara penegak hukum lain karena tidak harus memperoleh izin dari Ketua Pengadilan.

Pasal 47 UU KPK
(1) Atas dasar dugaan yang kuat adanya bukti permulaan yang cukup, penyidik dapat melakukan penyitaan tanpa izin Ketua Pengadilan Negeri berkaitan dengan tugas penyidikannya.
(2) Ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang mengatur mengenai tindakan penyitaan, tidak berlaku berdasarkan Undang-Undang ini.
Tags:

Berita Terkait