Menyoal UU Cipta Kerja yang Dinilai Menegasikan Kekhususan Papua
Terbaru

Menyoal UU Cipta Kerja yang Dinilai Menegasikan Kekhususan Papua

Karena UU Cipta Kerja memangkas kewenangan Pemda tingkat provinsi dan kabupaten/kota di Papua/Papua Barat, dalam hal penataan ruang dan pengelolaan sumber daya alam.

Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit

Dia meniai beleid itu bermakna semua komitmen pemerintah pusat berkaitan hal tersebut harus diselesaikan secara bermartabat demi masyarakat adat Papua. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 42. Tapi, malah diperparah dengan materi muatan Pasal 22 UU 11/2020 yang mengubah UU No.32 Tahun 2009 Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang membatasi  peran Pemda dalam hal pemberian izin lingkungan berupa analisa dampak lingkungan (Amdal) untuk pengusaha.  

Padahal, kata Filep, Papua Barat sudah memiliki Perdasus Nomor 10 Tahun 2019 tentang Rencana Pembangunan Berkelanjutan sebagai Perwujudan dari Komitmen Pemda Provinsi atas Deklarasi menjadi Provinsi Konservasi sejak 29 November 2019 lalu. Perdasus 10/2019 ditujukan untuk melindungi 70 persen hutan dan 90 persen habitat laut.

“Sekarang yang menjadi pertanyaan serius, dapatkah Pemda Provinsi Papua/Papua Barat, atas nama kekhususan, mampu memperjuangkan hak-hak atas pengelolaan SDA?”

Senator asal Papua itu menilai seharusnya atas nama kekhususan dan lex specialis derogat legi generalis, pengelolaan SDA di Papua/Papua Barat mengikuti pengaturan UU 2/2021, bukan UU Cipta Kerja. Atas nama Otsus seharusnya peran pemerintah pusat yang harus dibatasi. Sedangkan peran Pemda Papua/Papua Barat bersama masyarakat lokal diangkat dan dimajukan.

Baginya, beberapa prinsip umum pengelolaan SDA, seperti keselamatan lingkungan tetap mengikuti pemerintah pusat. Namun pengaturan soal prosedur perizinan, bagi hasil, hingga pajak daerah seharusnya memberikan peran yang seluasnya bagi Pemda dan masyarakat (adat) Papua/Papua Barat. “Di sini dibutuhkan energi yang lebih besar dari Pemda untuk sedikit ‘memaksakan’ label kekhususan Papua/Papua Barat dalam hal pengelolaan SDA,” ujarnya.

Sebelumnya, Kepala Pusat Analis Kebijakan dan Kinerja Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas, Velix Vernando Wanggai menilai UU 2/2021 menjadi arah dan harapan baru dalam mengelola pembangunan di Papua. Dinamika perjalanan Otsus Papua selama 20 tahun telah terdapat banyak regulasi sebagai aturan turunan dari UU 21/2001. Mulai peraturan pemerintah, hingga instruksi presiden (inpres) yang bersifat keberpihakan terhadap Orang Asli Papua (OAP). Termasuk sejumlah paket kebijakan afirmatif.

Bapennas mendorong strategi percepatan pembangunan terpadu yang lebih substansial di Papua. Ditjen Otda Kemendagri harus mengawal pelaksanaan UU 2/2021 ini. Mulai pelaksanaan implementasi sejumlah pasal yang mengatur tentang penataan daerah, proses rekrutmen politik, dan strategi bagi OAP dalam kebijakan pemekaran, serta peran perempuan dan masyarakat dalam pembangunan di Papua.

Termasuk mengedepankan pendekatan hak asasi manusia (HAM) dan human security terhadap OAP. Tentu saja melalui pendekatan yang soft dan menyentuh kebutuhan dasar manusia di Papua. Tak kalah penting, mewujudkan kehidupan sosial dan budaya yang harmonis di Papua, serta peran agama di era Otsus Papua Jilid II ini. “Ini komitmen besar negara dengan kehadiran OAP dalam pengambilan keputusan atau kebijakan pembangunan melalui anggaran dana di Papua,” kata dia.

Bapennas pun diamanatkan mengawal melalui skema pendanaan sebagaimana diatur Pasal 34 UU Otsus Papua. Kemudian hadirnya badan khusus yang dipimpin Wakil Presiden dengan sekretariat berkantor di Papua menjadi bagian memudahkan pengawasan dan pengawalan jalannya pembangunan di bumi cenderawasih itu.

Tags:

Berita Terkait