Menyongsong Bursa Karbon Indonesia
Kolom

Menyongsong Bursa Karbon Indonesia

Terdapat tiga tantangan dalam membentuk Bursa Karbon di Indonesia.

Pentingnya Bursa

Dengan melihat potensi ekonomi yang sangat besar maka setelah terbitnya Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 Tentang Nilai Ekonomi Karbon (Perpres NEK) dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 21 Tahun 2022 (Permen LHK) Tentang Tata Laksana Perdagangan Karbon, dalam perspektif economic analysis of law merupakan hal yang positif. Tujuannya guna memberikan stimulus bagi perdagangan karbon khususnya bagi pihak swasta maupun pemerintah itu sendiri demikian juga merupakan stimulus bagi perdagangan karbon baik dalam pasar mandatory maupun voluntary.

Dengan demikian maka pihak yang telah mendapatkan PBPH (Perizinan berusaha penguasaan hutan) di bidang restorasi dan peruntukan perdagangan karbon dapat memperkirakan besaran volume karbon yang akan diperdagangkan di pasar voluntary. Pasal 7 Permen LHK 21/2022 tersebut telah memberi batasan yang jelas mengenai volume karbon yang dapat diperdagangkan beserta besaran bagi NDC Indonesia dan cadangannya. Demikian juga Pasal 4 ayat (2) Permen LHK 21/2022 juga memberikan petunjuk yang jelas bagi penyisihan unit karbon bagi pencapaian NDC terkait komitmen NDC Indonesia pada 2030.

Dengan diterbitkannya Permen LHK 21/2022 maka menjadi jelas bahwa praktik perdagangan karbon dapat segera direalisasikan di tahun 2023. Artinya pasca terbitnya aturan Permen LHK 21/2022 khususnya pada Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 7 Permen tersebut maka perusahaan telah dapat memperhitungkan jumlah volume perdagangan karbonnya beserta nilai perdagangannya sehingga dalam hal ini lahirnya aturan bursa karbon melalui UU PPSK dipandang sebagai momentum yang tepat untuk segera direalisasikan.

Bursa karbon yang akan dibentuk tersebut setidaknya memiliki tiga tantangan. Pertama, mekanisme penetapan harga acuan unit karbon yang akan diperdagangkan. Saat ini harga acuan dunia untuk karbon menggunakan index harga OPIS atau NGEO, penetapan index harga bursa karbon Indonesia yang tepat dan kompetitif penting karena salah satu dari esensi Perpres NEK adalah penetapan harga acuan (carbon pricing). Jika karbon ditetapkan sebagai komoditi yang diperdagangkan dalam bursa maka penting juga untuk melibatkan BAPEBTI untuk penyusunan harga. Penetapan harga yang akurat menjadi penting, mengingat harga bursa karbon akan menjadi acuan bagi perdagangan karbon non bursa (baik pasar mandatory dan pasar voluntary).

Tantangan kedua adalah mempercepat perizinan PBPH di bidang restorasi dan peruntukan perdagangan karbon sehingga ketika bursa karbon dibuka nantinya akan lebih didominasi oleh perdagangan karbon Indonesia yang dikelola baik oleh pemerintah maupun oleh swasta pemegang PBPH dengan buyer domestic maupun Indonesia. Sebaliknya jika proses PBPH, registrasi dan otorisasi ‘berbelit-belit’ maka dikhawatirkan bursa karbon nantinya akan sepi perdagangan atau didominasi perusahaan asing yang menjual karbon yang bukan berasal dari Indonesia. Jika hal ini terjadi maka bursa karbon di Indonesia hanya menempatkan Indonesia sebagai pembeli (buyer) atau sebagai perantara (broker/ trader), bukan sebagai penjual karbon secara langsung melalui mekanisme bursa.

Tantangan ketiga adalah segera menyelesaikan pembuatan aturan turunan dan aturan teknis mengenai bursa karbon di Indonesia, mengingat perdagangan karbon melalui bursa ini melibatkan berbagai otorisasi misalnya KLHK berkaitan dengan otorisasi perdagangan karbon sebagaimana dijelaskan dalam Permen LHK 21/2022, kemudian mengingat bursa karbon disebut dalam UU PPSK maka perlu aturan teknis OJK dan BAPEBTI dan juga perlu regulasi turunan yang jelas mengenai institusi yang berhak atas pengawasan dan institusi yang berhak menyelenggarakan perdagangan karbon itu sendiri, saat ini di Indonesia terdapat dua bursa yakni BEI (IDX) dan bursa berjangka komoditi Indonesia (ICDX).

*)Dr. Rio Christiawan, S.H.,M.Hum.,M.Kn., adalah Associate Professor dan Pemerhati Hukum Investasi dan Perdagangan Karbon.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline. Artikel ini merupakan kerja sama Hukumonline dengan Universitas Prasetiya Mulya dalam program Hukumonline University Solution.

Tags:

Berita Terkait