Mereduksi Celah Penyiksaan di Ruang Tahanan
Kolom

Mereduksi Celah Penyiksaan di Ruang Tahanan

Indonesia harus mengambil langkah efektif serta ekstra konkret guna memutus rantai penyiksaan, utamanya yang sering terjadi di ruang-ruang detensi.

Bacaan 5 Menit

Sementara Indonesia belum memiliki regulasi dan kewajiban yang mengatur petugas untuk dapat menggunakan alat-alat tersebut. Tidak didukungnya alat-alat ini juga yang menyebabkan pelanggaran kerap kali dilakukan oleh aparat, utamanya di daerah terpencil dan pelosok Indonesia.

Penambahan CCTV dan body camera tentu harus segera dianggarkan oleh pemerintah. Alat-alat tersebut tentu dapat membantu publik untuk dapat meminta pertanggungjawaban aparat terutama Kepolisian dalam tahap penyidikan atau interogasi. Dengan begitu, jika terjadi masalah serupa seperti halnya dugaan kekerasan atau penyiksaan terhadap tahanan, publik memiliki bukti yang kuat untuk digunakan.

Selain itu dengan alat penunjang tersebut kita dapat mengukur apakah aparat dalam melakukan tindakannya telah sesuai prosedur, bersifat proporsional atau justru merupakan bagian dari penggunaan kekuatan secara berlebihan (excessive use of force).

Perbaikan Struktural

Lebih jauh langkah lebih besar yang dapat dilakukan pemegang otoritas adalah reformasi tata kelola mulai dari aspek regulasi, kebijakan, kultur aparat hingga langkah teknis di lapangan. Kita masih menggunakan KUHAP yang problematis hingga hari ini sebab paradigmanya masih menganut crime control model. Hal tersebut yang membuat berbagai celah penyiksaan dapat dilakukan oleh aparat. Ke depan norma-norma yang tertuang dalam KUHAP harus disesuaikan dengan nilai-nilai hak asasi manusia yang berlaku secara universal.

Sebagai contoh Pasal 9 ayat (3) Konvensi Hak Sipil dan Politik memandatkan agar setiap orang yang ditahan atau ditahan berdasarkan tuduhan pidana, wajib segera dihadapkan ke depan pengadilan atau pejabat lain yang diberi kewenangan oleh hukum untuk menjalankan kekuasaan peradilan, dan berhak untuk diadili dalam jangka waktu yang wajar, atau dibebaskan. Artinya pembangunan hukum ke depan mengenai sistem peradilan pidana harus diarahkan menuju pemenuhan norma internasional tersebut. Saat ini kita sudah memiliki draf KUHAP yang baru, muatannya pun sudah jauh lebih baik. Sehingga perlu untuk didorong segera pengesahan draf rancangan revisi KUHAP tersebut.

Selain dalam tataran regulasi, pemerintah juga harus menyusun langkah-langkah yang tidak menoleransi sama sekali tindakan penyiksaan. Semua kasus-kasus penyiksaan harus dipastikan mendapatkan penyelesaian secara tuntas dan berkeadilan. Para pelaku penyiksaan tidak dapat lagi dilindungi, melainkan harus diseret bertanggung jawab di muka hukum tanpa pandang bulu.

Pengusutan secara transparan pun harus dilakukan, sebagai contoh anggota kepolisian yang terbukti melakukan penyiksaan harus dibawa ke mekanisme sidang peradilan pidana. Sebab selama ini, kasus-kasus yang ada cukup dan berhenti pada mekanisme internal belaka seperti etik dan disiplin. Hal tersebut tentu tak akan membuat jera pelaku penyiksaan.

Berbagai langkah memang harus serius dijalankan dalam upaya mendorong reformasi tata kelola dan sistem pengawasan ruang tahanan atau serupa tahanan. Butuh kerja kolektif dan ekstra untuk memutus pekerjaan yang satu ini. Tanpa langkah-langkah tersebut, kita hanya akan melihat kejadian serupa kembali, nyawa manusia harus lenyap karena tindakan penyiksaan di ruang-ruang rawan. 

*)Rozy Brilian, Peneliti KontraS.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait