Merek Hingga Barang KW, Ini Persoalan Hukum yang Harus Dipahami Pelapak E-Commerce
Berita

Merek Hingga Barang KW, Ini Persoalan Hukum yang Harus Dipahami Pelapak E-Commerce

Pelapak e-commerce harus memahami hak dan kewajibannya berdagang secara online dan menyadari ada hukum yang menyertainya.

Mochammad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
Acara webinar bertema Bangkit di Era Pemulihan. Tips Aman Hukum bagi Pelapak yang diselenggarakan Justika.com dan Bukalapak, Kamis (18/6). Foto: JAN
Acara webinar bertema Bangkit di Era Pemulihan. Tips Aman Hukum bagi Pelapak yang diselenggarakan Justika.com dan Bukalapak, Kamis (18/6). Foto: JAN

Perkembangan belanja online atau e-commerce Indonesia berkembang sangat pesat terlebih lagi saat pandemi corona virus disease 2019 (Covid-19). Berbagai produk seperti elektronik, makanan, pakaian, produk kecantikan hingga farmasi dijual melalui e-commerce. Sayangnya, masih terdapat berbagai persoalan hukum yang masih saja diabaikan dalam e-commerce seperti penjualan barang palsu (KW), produk ilegal hingga retur barang serta refund.

Mitra Advokat Justika.com, Lolita Citta Nirmala menyampaikan penting bagi penjual e-commerce mengetahui ilmu hukum dalam berdagang. Dia mengatakan terdapat berbagai aspek hukum yang umum pada e-commerce. Pertama, merek, Lolita menjelaskan merek adalah tanda yang bisa ditampilkan dalam grafis untuk suatu produk. Pelapak e-commerce harus mendaftarkan merek produknya agar tidak terjadi sengketa dengan pedagang lainnya. Dia menjelaskan masa berlaku merek tersebut selama 10 tahun dan dapat diperpanjang. Kemudian, merek tersebut juga dapat dialihkan dengan jual beli, wasiat, wakaf atau hibah.

Kedua, pelapak e-commerce harus memahami hukum ketenagakerjaan. Khususnya, bagi pelapak e-commerce yang sudah memiliki karyawan, harus mengenal jenis-jenis hubungan kerja seperti perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) atau kontrak dan pekerja waktu tidak tertentu (PKWTT) atau tetap. “Biasanya ada pegawai seperti admin atau karyawan Gudang itu penting dipikirkan hubungan kerjanya. Ada tiga hal penting soal ketenagakerjaan seperti upah, pekerjaan, dan perintah. Ada dua jenis hubungan kerja PKWT dan PKWTT. Kalau kontrak itu temporer, musiman, harian, pekerjaan baru dan sementara. Kalau PKWTT harus tertulis enggak boleh lisan,” jelas Lolita dalam Webinar bertema “Bangkit di Era Pemulihan. Tips Aman Hukum bagi Pelapak” yang diselenggarakan Justika.com dan Bukalapak, Kamis (18/6).

Kemudian, terdapat kewajiban dan hak pelapak e-commerce yang harus dipatuhi saat berjualan online. Pelapak e-commerce harus mengantongi izin usaha sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE). Dalam aturan tersebut mewajibkan pelapak e-commerce harus mendaftarkan usahanya dapat melalui sistem one single submission (OSS).

Hal lain yang harus dilakukan pelapak e-commerce yaitu memberikan kenyamanan, keamanan dan keselamatan mengkonsumsi barang. “Jangan sampai jual pelangsing malah bikin gendut, jual pemutih bikin stretchmark. Kalau enggak, ada kompensasi ganti rugi ada juga larangan lain. Ada sanksi pidana penjara dan denda,” jelas Lolita. Kemudian, dia juga mengingatkan agar pelapak e-commerce memberikan barang dan jaminan sesuai yang dijanjikan. Pelapak e-commerce juga harus memberi informasi yang benar mengenai kondisi dan jaminan, penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan serta syarat kontrak, produsen dan produk yang ditawarkan. (Baca: Mengenal Kewajiban Penyelenggara Sistem Elektronik dalam Melindungi Data Pribadi)

Kemudian, pelapak e-commerce juga dilarang memproduksi atau menjual barang tidak sesuai, menawarkan obat-obatan tradisional, suplemen makanan, alat kesehatan dan jasa pelayanan kesehatan dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang serta jasa lain. Pelapak juga dilarang menjanjikan hadiah cuma-cuma dengan maksud tidak memberikannya atau tidak seperti yang dijanjikan. Pelapak juga dilarang mengelabui atau menyesatkan dan menaikan harga barang terlebih dahulu saat memberi potongan harga.

Lolita mengingatkan tanggung jawab pelapak e-commerce memberi ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, serta kerugian konsumen mengkonsumsi barang yang dihasilkan atau diperdagangkan berupa pengembalian uang atau penggantian barang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan serta pemberian santunan. Tanggung jawab tersebut dikecualikan apabila kerusakan terjadi atas kesalahan konsumen. Lolita juga mengingatkan ganti rugi tersebut tidak menghilangkan tuntutan pidana pada penjual.

Sengketa antara penjual dan konsumen dapat diselesaikan di Badan Peradilan Sengketa Konsumen (BPSK) atau badan peradilan lain. Di sisi lain, pelapak e-commerce juga berhak mendapat perlindungan hukum, melakukan pembelaan diri dan rehabilitasi nama baik.

Saat pandemi Covid-19, Lolita menambahkan berbagai permasalahan hukum yang muncul umumnya ketenagakerjaan. Atas hal tersebut, dia mengingatkan agar para pelapak e-commerce menyelesaikan permasalahan ketenagakerjaan tersebut secara kekeluargaan atau bipartite. Pelaku usaha tidak menjadikan alasan Covid-19 untuk memutuskan hubungan kerja (PHK). Di sisi lain, para pekerja juga harus memahami kondisi sulit para pelaku usaha tersebut.

Pelanggaran Konsumen E-Commerce Meningkat

Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) mencatat terjadi peningkatan signifikan pelanggaran konsumen pada awal tahun ini dibandingkan sebelumnya. Tercatat pengaduan konsumen terus bertambah sepanjang tahun mulai dari 5 pengaduan pada 2018, 18 pengaduan pada 2019 hingga jadi 70 pengaduan pada Januari-Mei 2020. “Baru sampai Mei saja total pengaduan yang kami terima sudah 582 pengaduan dan 70 di antaranya itu e-commerce. Ini bukti minat konsumen belanja online meningkat tapi di sisi lain pengaduan banyak,” kata Komisioner BPKN, Frida Adiati, Rabu (10/6) lalu.

Dia menjelaskan pengaduan tersebut karena pelaku usaha tidak transparan dan benar saat menjual produknya kepada konsumen. Hal ini menyebabkan konsumen merugi karena barang yang dibeli tidak sesuai dengan produk yang ditawarkan. Kemudian, Frida juga mengatakan permasalahan keamanan data pribadi juga masih rawan bocor sehingga disalahgunakan pihak tertentu yang merugikan konsumen. Dia menyoroti mulai bermunculannya kasus-kasus kebocoran data pribadi pada marketplace. “Pokok masalah yang diadukan mayoritas mengenai phising dan penyalahgunaan akun melalui OTP (one time password),” jelas Frida. 

Perlu diketahui, phising merupakan pemaksaan pengambilan data konsumen melalui berbagai cara seperti pemalsuan website dan registrasi online. Sedangkan penyalahgunaan akun melalui OTP dilakukan dengan membajak akun konsumen sehingga pelaku kejahatan tersebut menggunakannya untuk berbelanja. (Baca: Ragam Pelanggaran terhadap Konsumen E-Commerce di Masa Pandemi)

Maraknya pelanggaran konsumen saat pandemi Covid-19 juga disampaikan Direktur Pengawasan Barang Beredar dan Jasa Kementerian Perdagangan, Ojak Simon Manurung. Dia menyatakan terdapat pihak-pihak yang memanfaatkan kondisi Covid-19 untuk menipu masyarakat khususnya pada produk-produk alat kesehatan dan farmasi. Selain itu, dia juga menyampaikan terdapat kasus tinggi juga terjadi pada penjualan tiket secara online.

“Kami melihat ada barang yang tidak sesuai yang dipesan dantidak dalam kondisi baik. Lalu pengembalian dananya juga bermasalah. Kami juga lakukan pengawasan untuk alat kesehatan seperti masker dan hand sanitizer yang harganya tinggi dijual merchant sampai 3 kali lipat, tidak masuk akal. Mereka memanfaatkan kondisi sehingga naikan harga sesukanya. Lalu, produk-produk tersebut belum ada izin Kementerian Kesehatan tentu kualitass mutunya tidak dipenuhi,” jelas Ojak.

Tags:

Berita Terkait