MK: Pengujian Perppu MK Kehilangan Objek
Aktual

MK: Pengujian Perppu MK Kehilangan Objek

ANT
Bacaan 2 Menit
MK: Pengujian Perppu MK Kehilangan Objek
Hukumonline
Mahkamah Konstitusi menyatakan empat permohonan pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Perppu MK) telah kehilangan objek.

"Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima," kata Ketua Majelis Hakim Hamdan Zoelva, saat membacakan amar putusan di Jakarta, Kamis.

Dalam pertimbangannya, DPR dalam Rapat Paripurna 19 Desember 2013 telah menyetujui Perppu MK menjadi Undang-Undang yaitu Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014, sehingga yang menjadi objek permohonan Pemohon sudah tidak ada.

"Menimbang bahwa oleh karena objek permohonan telah tidak ada maka kedudukan hukum (legal standing) dan pokok permohonan Pemohon tidak dipertimbangkan," kata Hakim Konstitusi Patrialis Akbar, saat membacakan pertimbangan hukum.

Keempat permohonan Perppu MK ini terdiri dari perkara nomor 91/PUU-XI/2013 yang diajukan Habiburokhman, perkara nomor 92/PUU-XI/2013 yang diajukan Muhammad Asrun, Heru Widodo, Dorel Almir, Daniel Tonapa Masiku, Supriadi Adi, Syamsuddin, Dhimas Pradana, Robikin Emhas, Nurul Anifah, Samsul Huda, Hartanto, dan Syarif Hidayatullah.

Selanjutnya perkara nomor 93/PUU-XI/2013 diajukan oleh dr Salim Akatiri, perkara nomor yang diajukan oleh Muhammad Joni, Khairul Alwan Nasution, Fakhrurrozi, Mukhlis Ahmad, Zulhaina Tanamas, Triono Priyo Santoso, Hadi Ismanto, dan Baginda Dipamora Siregar.

Menanggapi putusan MK ini, salah satu pemohon Andi Asrun menyatakan wajar karena objek permohonan sudah ada.

Untuk itu, pihaknya saat ini kembali mengajukan permohonan pengujian UU Nomor 4 tahun 2014 yang saat ini sudah memasuki sidang kedua perbaikan permohonan.

"Kami sudah mengajukan permohonan pengujian UU nomor 4 tahun 2014," kata Asrun.

Asrun dkk menguji Perppu MK ini karena syarat menjadi hakim konstitusi tidak boleh terlibat dalam parpol adalah bentuk diskriminasi, padahal sebagai politikus tentunya timbul hasrat negarawan.

Selain itu, jika hakim konstitusi, selaku negarawan, diawasi oleh lembaga yang bukan dari negarawan, maka akan terjadi ketidakseimbangan.

Menurut pemohon, ketentuan tersebut akan mengancam independensi hakim konstitusi, dan pihaknya sebagai advokat tidak ingin sistem independensi di peradilan hilang.
Tags: