MK: Perjanjian Internasional Ini Harus Libatkan DPR
Berita

MK: Perjanjian Internasional Ini Harus Libatkan DPR

Menurut Mahkamah keterlibatan dan persetujuan DPR atas perjanjian internasional bukan hanya karena syarat teknis administratif, tetapi juga amanat konstitusi.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit

 

Sementara Pasal 10 bertentangan dengan Pasal 11 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai “menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat terkait beban keuangan negara hanya terbatas pada: a) masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara; b) perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia; c) kedaulatan atau hak berdaulat negara; d) hak asasi manusia dan lingkungan hidup; e) pembentukan kaidah hukum baru; f) pinjaman dan/atau hibah luar negeri.”

 

Dalam pertimbangannya, Mahkamah menegaskan tidak terdapat frasa “menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat terkait dengan beban keuangan negara dan atau mengharuskan perubahan atau pembentukan UU” dalam rumusan Pasal 10. Mahkamah memahami norma Pasal 10 berkait dengan frasa “menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan UU” seperti dimaksud Pasal 11 ayat (1) UUD 1945.

 

Menurut Mahkamah sesuai semangat pembukaan UUD 1945, hakikat kekuasaan eksekutif, dan memperhatikan praktik negara-negara berdaulat, keterlibatan parlemen atau lembaga perwakilan rakyat dalam proses pemberian persetujuan pembuatan perjanjian internasional umumnya tidaklah diberlakukan pada semua perjanjian internasional, melainkan hanya terhadap perjanjian international yang dianggap penting saja.

 

“Untuk perjanjian internasional lain, misalnya perjanjian-perjanjian yang bersifat teknik atau administratif, persetujuan parlemen atau lembaga perwakilan rakyat tidak dibutuhkan,” demikian salah satu pertimbangan Mahkamah dalam putusannya.

 

Mahkamah menerangkan perihal mana perjanjian internasional yang dianggap penting, di negara-negara yang menganut konstitusi tidak tertulis ditentukan berdasarkan hukum kebiasaan di negara tersebut. Namun, di negara yang menganut konstitusi tertulis ditentukan dalam konstitusinya dan/atau pengaturan lebih lanjut dalam hukum positifnya (UU).

 

Bagi Mahkamah, persoalan apakah perjanjian internasional tergolong ke dalam perjanjian internasional yang membutuhkan persetujuan DPR atau tidak, baru dapat diketahui dalam mekanisme konsultasi pemerintah dengan DPR sesuai Pasal 2. Karenanya, menurut Mahkamah Pasal 10 telah menimbulkan penafsiran bahwa hanya perjanjian-perjanjian internasional yang disebutkan dalam pasal itulah yang tergolong dalam perjanjian internasional.

 

“Perkembangan dalam pergaulan internasional semakin intens, sehingga membuat sesama anggota masyarakat internasional semakin saling bergantung satu sama lain sesuai dalam pemenuhan kebutuhannya, yang dalam batas penalaran yang wajar akan sangat berpengaruh terhadap kepentingan nasional Indonesia.” (Baca Juga: Ahli Tekankan Pentingnya Persetujuan DPR dalam Perjanjian Internasional)

Tags:

Berita Terkait