MK Hanya Kabulkan 4 Pengujian UU Sepanjang 2019
Utama

MK Hanya Kabulkan 4 Pengujian UU Sepanjang 2019

Mulai dari perubahan prosedur pencoblosan Pemilu 2019, pemecatan PNS berkaitan dengan tindak pidana jabatan, syarat pemenangan pilpres, hingga syarat jeda 5 tahun jika mantan narapidana ikut pilkada.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES

Sepanjang tahun 2019, Mahkamah Konstitusi (MK) hanya mengabulkan 4 permohonan pengujian undang-undang (PUU) dari 93 PUU. Rinciannya, 3 permohonan PUU dikabulkan sebagian dan 1 permohonan PUU dikabulkan seluruhnya. Sisanya, 33 permohonan PUU tidak dapat diterima; 43 permohonan ditolak untuk seluruhnya; dan 8 permohonan ditarik kembali; 2 permohonan gugur; dan 3 permohonan ditolak sebagian.

 

Sebagian besar putusan yang dikabulkan itu berkaitan dengan aturan penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) dan Pilkada. Mengingat pada 2019, Pemilu Serentak 2019 digelar untuk memilih presiden dan wakil presiden, anggota DPR, DPD, DPRD kab/kota, DPRD provinsi dan bakal digelarnya Pilkada 2020. Berikut keempat putusan yang dikabulkan:

 

  1. Perubahan Tiga Prosedur Pencoblosan Pemilu 2019

Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan uji materi Pasal 210 ayat (1); Pasal 348 ayat (4), ayat (9); Pasal 350 ayat (2); Pasal 383 ayat (2) UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terkait prosedur administratif keikusertaan masyarakat dalam Pemilu pada 17 April 2019. Namun, MK hanya mengabulkan pengujian Pasal 210 ayat (1), Pasal 348 ayat (9), Pasal 383 ayat (2) UU Pemilu yang diputus inkonstitusional bersyarat. Baca Juga: MK Ubah Tiga Prosedur Pencoblosan dalam Pemilu 2019

 

Ada tiga norma yang termuat dalam amar putusan bernomor 20/PUU-XVII/2019 yang dibacakan, Rabu (28/3) di ruang sidang MK. Pertama, frasa “kartu tanda penduduk elektronik” dalam Pasal 348 ayat (9) UU Pemilu inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai “termasuk pula surat keterangan perekaman kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) yang dikeluarkan dinas kependudukan dan catatan sipil atau instansi lain. Artinya, selain e-KTP, surat keterangan (suket) perekaman e-KTP boleh jadi syarat ikut pemilu.   

 

Kedua, frasa “paling lambat 30 (tiga puluh) hari” dalam Pasal 210 ayat (1) UU Pemilu inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai paling lambat 30 hari sebelum hari pemungutan suara, kecuali bagi pemilih karena kondisi tidak terduga di luar kemampuan dan kemauan pemilih karena sakit, tertimpa bencana alam, menjadi tahanan, serta karena menjalankan tugas pada saat pemungutan suara ditentukan paling lambat 7 hari sebelum hari pemungutan suara. Artinya, penyusunan DPT Tambahan (DPTb) bisa dilengkapi 7 hari sebelum pemungutan suara ketika pemilih dalam kondisi tertentu.     

 

Ketiga, frasa “hanya dilakukan dan selesai di TPS/TPSLN yang bersangkutan pada hari pemungutan suara” dalam Pasal 383 ayat (2) UU Pemilu inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai “hanya dilakukan dan selesai di TPS/TPSLN yang bersangkutan pada hari pemungutan suara dan dalam hal penghitungan suara belum selesai dapat diperpanjang tanpa jeda paling lama 12 jam sejak berakhirnya hari pemungutan suara”. Artinya, penghitungan suara di TPS/TPSLN bisa diperpanjang maksimal 12 jam sejak berakhirnya hari pemungutan suara.

 

  1. Pemberhentian Terpidana PNS Berkaitan Tindak Pidana Jabatan

Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian uji materi Pasal 87 ayat (2) dan Pasal 87 ayat (4) UU huruf b UU No. 5 Tahun 2014 tentang ASN terkait pemberhentian ASN. Dalam putusannya, MK menghapus frasa “dan/atau pidana umum” dalam Pasal 87 ayat (4) huruf b UU ASN karena bertentangan dengan UUD 1945. Karena itu, pemberhentian atau pemecatan ASN bisa dilakukan jika berhubungan dengan tindak pidana jabatan, seperti korupsi, suap. Permohonan ini diajukan seorang PNS asal Kepulauan Riau, Hendrik yang pernah menjadi terpidana.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait