MK Kembali Buat Putusan Penting
Utama

MK Kembali Buat Putusan Penting

Cabut pembatasan waktu pengajuan grasi, MK memberikan ‘keuntungan’ kepada terpidana.

Oleh:
AGUS SAHBANI
Bacaan 2 Menit
Ekspresi pemohon Suud Rusli usai mengikuti sidang putusan uji materi Undang-Undang tentang Grasi pada Rabu (15/6) di Ruang Sidang Pleno MK. Foto: Humas MK
Ekspresi pemohon Suud Rusli usai mengikuti sidang putusan uji materi Undang-Undang tentang Grasi pada Rabu (15/6) di Ruang Sidang Pleno MK. Foto: Humas MK
Setelah sebelumnya mencabut hak jaksa mengajukan PK dalam perkara pidana, kini Mahkamah Konstitusi kembali membuat putusan penting. Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya menghapus berlakunya Pasal 7 ayat (2) UU No. 5 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi terkait pembatasan waktu pengajuan grasi ke presiden. Artinya, MK “membebaskan” terpidana mengajukan permohonan grasi kapan saja. Putusan ini penting karena mengubah aturan sebelumnya, pengajuan grasi dilakukan paling lambat setahun sejak putusan berkekuatan hukum tetap.

Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya. Pasal  7 ayat  (2) UU Grasi bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” ucap Ketua Majelis MK, Arief Hidayat saat membacakan amar putusan No. 107/PUU-XIII/2015 yang dimohonkan Su’ud Rusli dkk di gedung MK, Rabu (15/6).

Su’ud Rusli, terpidana mati kasus pembunuhan Dirut PT Asaba Budyharto Angsono, menganggap Pasal 7 ayat (2) UU Grasi menciderai rasa keadilan karena pengajuan grasi lebih dari setahun sejak putusan inkracht dianggap daluwarsa. Pasalnya, pengajuan grasi Su’ud pada 2014 pernah ditolak Presiden Joko Widodo pada 31 Agustus 2015 yang baru diterima pada 8 Oktober 2015.

Pemohon menilai hak pengajuan grasi merupakan hak setiap warga negara yang dijamin konstitusi. Karena itu, hak pengajuan grasi kepada presiden sebagai kepala negara ini seharusnya tidak boleh dibatasi jangka waktunya karena bertentangan dengan prinsip keadilan (sense of justice) yang dijamin UUD 1945.

Menurut pemohon, grasi tidak termasuk kebijakan terbuka pembentuk Undang-Undang (open legal policy) yang diserahkan kepada pembuat Undang-Undang untuk mengatur lebih lanjut dengan cara membatasinya. Karena itu, pemohon minta Pasal 7 ayat (2) UU Grasi dihapus karena bertentangan dengan UUD 1945.

Mahkamah menganggap hak memberi grasi adalah Hak Konstitusional Presiden yang lazim disebut hak prerogatif yang atas kebaikan hatinya memberikan pengampunan kepada warganya. Mengingat sifatnya yang demikian, pemberian grasi tergantung Presiden mengabulkan atau tidak mengabulkan permohonan itu.

“Grasi ini sangat penting tidak hanya kepentingan terpidana, bisa juga untuk kepentingan negara terhadap besarnya beban politik yang ditanggung atas penghukuman terpidana yang mungkin ada kaitannya dengan tekanan rezim kekuasaan,” ujar Hakim Konstitusi Suhartoyo saat membacakan pertimbangan putusan.

Kepentingan lain, tutur Suhartoyo, terpidana sangat dibutuhkan negara baik keahlian atau perannya dalam mengangkat nama baik bangsa di luar negeri atas prestasi tertentu. Terlebih, adanya rencana kebijakan Presiden antara lain mengurangi kelebihan kapasitas lembaga pemasyarakatan sehingga sudah tidak manusiawi lagi bagi narapidana.

Grasi juga dapat digunakan sebagai jalan keluar ketika seorang narapidana mengalami keadaan sangat memilukan. Seperti, sakit keras, sakit tua, penyakit menular yang tidak mungkin dapat bertahan hidup dalam lembaga pemasyarakatan, atau terpidana menjadi gila, sehingga secara akal sehat dan pertimbangan kemanusiaan haruslah diberi kesempatan secara hukum melalui pemberian grasi.

Menurut Mahkamah pembatasan jangka waktu pengajuan permohonan grasi dalam Pasal  7  ayat  (2)  UU Grasi potensial menghilangkan hak konstitusional terpidana, khususnya terpidana mati mengajukan permohonan grasi. “Pembatasan ini juga menghilangkan hak Pemohon jika hendak mengajukan peninjauan kembali (PK) yang salah satu syaratnya ada novum, sedangkan ditemukannya novum itu sendiri tidak dapat dipastikan jangka waktunya,” dalih Mahkamah.

Meski begitu, lanjut Mahkamah, guna mencegah terpidana atau keluarganya menunda eksekusi seharusnya jaksa sebagai eksekutor tidak terikat pada tidak adanya jangka waktu tersebut. Apabila nyata-nyata terpidana atau keluarganya tidak menggunakan hak pengajuan grasi, atau setelah jaksa demi kepentingan kemanusiaan telah menanyakan kepada terpidana apakah terpidana atau keluarganya akan menggunakan hak mengajukan permohonan grasi.

“Tindakan demikian secara doktriner tetap dibenarkan meski tidak diatur secara eksplisit dalam UU Grasi, sehingga demi kepastian hukum tidak ada larangan bagi jaksa menanyakan kepada terpidana atau keluarganya perihal akan digunakan atau tidaknya hak untuk mengajukan grasi tersebut?”

Kemungkinan ajukan grasi
Usai persidangan, Su’ud tampak tak bisa menyembunyikan rasa senang dan bersyukur atas dikabulkannya permohonannya. “Alhamdulillah, semua tentu punya harapan terbaik. Hari ini ada satu jalan yang mungkin kami akan ambil langkah berikutnya lagi,” kata Su’ud usai mengikuti sidang pembacaan putusan di Gedung MK.

Meski begitu, dirinya belum bisa memastikan kapan akan kembali mengajukan permohonan grasi kepada Presiden Jokowi. “Tidak tertutup kemungkinkan kita ajukan grasi lagi, tetapi  belum tahu kapan ajukan grasi. Nantilah, kita konsultasikan dengan kuasa hukum saya,” kata dia.

Kuasa Hukum Su’ud, Kurniawan Adi Nugroho menambahkan dengan putusan ini ambatan pemohon gara-gara  jangka waktu pengajuan grasi sudah dihapuskan, sehingga dimungkinkan pemohon dapat kembali mengajukan grasi. Namun, terpenting di negara manapun grasi itu hak dan urusan presiden mau ditolak atau diterima tergantung presiden.

Menurutnya, dengan putusan ini akan banyak warga negara yang berstatus terpidana yang diuntungkan. Salah satunya, mantan Ketua KPK Antasari Azhar yang juga pernah mengajukan grasi, tetapi ditolak presiden karena melewati satu tahun sejak putusan inkracht. “Di permohonan ini, dia (Antasari) support menganalisa permohonan. Nanti kami diskusikan kembali kemungkinan Antasari mengajukan grasi kembali”.

Untuk diketahui, Su’ud sudah menjalani hukuman selama kurang lebih 12 tahun. Kini ia masih mendekam di Lapas Porong Sidoarjo sejak 2008. Sebelumnya, eks Marinir berpangkat Kopral Dua ini dijatuhi pidana mati oleh Pengadilan Militer II-08 Jakarta pada Februari 2005 lantaran dianggap terbukti melakukan pembunuhan berencana terhadap bos PT Asaba Budyharto Angsono pada 2003.

Putusan itu dikuatkan oleh Putusan Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta pada Agustus 2005 dan putusan Mahkamah Agung No. PUT/34-K/MIL/2006 Pid/2010 tanggal 07 Juli 2006.Su’ud tercatat pernah melarikan diri di masa awal perkara, yang mengaku semata-mata perlakuan yang tidak manusiawi (petugas Rutan Militer), dikencingi oknum yang tidak bertanggung jawab.

Kepada Majelis, Su’ud mengaku perkara pembunuhan terjadi semata-mata atas pengaruh dan perintah atasan yaitu Letda Syam Ahmad Sanusi. Pemohon dikenakan sanksi pidana tersebut dikarenakan dirinya tidak pernah berani mengungkapkan peristiwa sebenarnya. Dia berharap pengajuan grasi yang diajukan tahun 2014 bisa dikabulkan presiden agar tetap diberi kesempatan mengabdi dan berbakti kepada negara.
Tags:

Berita Terkait